Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Empat tahun mendalangi pma & pmdn

Badan koordinasi penanaman modal (bkpm) di bawah pimpinan suhartoyo cukup memuaskan. tapi perlu penyederhanaan mengingat birokrasi masih pelik dan otoritasnya masih kecil. (eb)

29 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir empat tahun, Suhartoyo memimpin BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Sejak masuk di badan itu, Februari 1981, hingga kini, lebih dari Rp 20 trilyun nilai penanaman modal lolos dari mejanya. Wajar bila pria bertubuh gempal 58 tahun, yang disebut-sebut bakal segera memangku jabatan lain, itu menyatakan kepuasannya. "Di sana saya bis mengerjakan banyak gagasan dan hasilnya cukup memuaskan," katanya di Yogya, pekan lalu. Memang, banyak usah perbaikan dilakukan pejabat yang suka mendalang ini, selama berada di gedung berlantai enam di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, itu. Baru beberapa bulan duduk di belakang meja BKPM, misalnya, dia mendadak mengeluarkan daftar hitam ratusan PMA dan PMDN yang belum lengkap melaporkan realisasi investasi mereka. Dari situ kemudian terungkap, banyak perusahaan ternyata menggunakan alamat palsu, dan membatalkan rencana proyek mereka secara diam-diam. Untung, setelah diteliti, tidak banyak pengusaha terkena hukuman dicabut fasilitas dan perizinannya. Supaya penanam modal mantap berusaha, ketua BKPM itu kemudian menyusun sebuah Daftar Skala Prioritas (DSP) mengenai bidang industri mana saja yang sudah tertutup, karena dianggap jenuh, dan yang masih terbuka. Di sini pria bekas tentara pelajar Brigade 17 itu dianggap secara konsisten melaksanakan ketentuan tadi, hingga tak jarang menimbulkan konflik terbuka. Misalnya keuka (1982) dia menolak usaha beberapa perusahaan masuk ke industri pengolahan susu yang sudah tertutup - sekalipun di situ Gabungan Koperasi Susu akan ikut serta sebagai pemegang saham minoritas. Jika dalam DSP itu dia agak ragu-ragu, maka konsultasi dengan departemen teknis sering dilakukannya. Tapi kritik tak kurang pula tajamnya. Dalam soal pengurusan izin investasi, misalnya, pengusaha asing masih merasakan peliknya birokrasi: sejak berurusan dengan departemen teknis sampai usaha memasukkan barang modal di pelabuhan. Mereka mengeluh, untuk mendapatkan surat persetujuan sementara (SPS) saja, sampai perlu enam bulan. Selain harus berhubungan dengan Departemen Perindustrian, seorang penanam modal harus pula berurusan dengan Departemen Kesehatan, untuk masuk ke industri pengolahan makanan. Kalau sektor industri yang akan dimasuki termasuk prioritas, urusan biasanya cepat selesai. Tapi, jika tidak, urusan bisa makan waktu berbulan-bulan. Karena alasan itu, maka James Castle, penasihat pada Business Advisory Indonesia, Jakarta, menyatakan perlunya penyederhanaan birokrasi itu. "Agar pihak penanam modal kelak cukup berhubungan dengan satu lembaga saja," katanya. Dengan kata lain, James, bekas wakil presiden American Chamber of Commerce (Amcham) Jakarta ini, menilai otoritas BKPM sesungguhnya masih kecil. Katanya, kini masih terlalu banyak pihak yang bisa mengatakan "ya" atau "tidak". Dalam pandangan dia, BKPM seharusnya berfungsi seperti Pertamina, yang mengurus minyak dari sejak eksploatasi, pengilangan, sampai pemasaran. "Jadi, untuk mengembangkan sektor agribisnis, misalnya, tak perlu Departemen Pertanian ikut menentukan kebijaksanaan," katanya. "Mereka cukup diminta memberikan panduan saja." Penyederhanaan rupanya masih diperlukan - sekalipun BKPM sesungguhnya sudah memulai usaha pelayanan sekali jalan (one stop service). Dengan perbaikan itu, SPS kini bisa diperoleh dalam tempo sebulan. Tapi, menurut Yukio Oshima, ketua Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (jetro) di Jakarta, birokrasi memang tak bisa dihindari. "Di negara maju sekalipun birokrasi ada, juga di Jepang," katanya. Tapi birokrasi bukan merupakan soal benar bagi pengusaha Jepang. Buktinya, investasi Jepang, yang disetujui hingga November, hampir US$ 5 milyar. Atau sekitar 32% dari seluruh permohonan PMA, di luar migas, yang mencapai US$ 15,25 milyar. Menurut pengalaman Suhartoyo, pengusaha Jepang dianggapnya paling cepat mengambil keputusan. Tidak seperti kebanyakan pengusaha lain, yang mewujudkan proyeknya dua-tiga tahun sesudah mendapat izin. Sampai kini, investasi PMDN dan PMA paling banyak dilakukan di sektor manufacturing. Dalam waktu dekat, sektor ini akan mulai jenuh. Karena itu, Suhartoyo, bekas dirjen Industri Logam Dasar, menganjurkan agar pengusaha mau mengarahkan investasinya ke pengembanan sumber daya alam seperti perkebunan, perikanan, dan pertambangan. Sayang, sebelum usaha itu dilakukan, faktor pengganjal mulai muncul: dolar makin kuat, dan penanam modal lebih suka berpaling ke AS, karena prospek bisnis di sana lebih menarik. Pengusiran para pekerja asing juga sedikit membuat gentar PMA. "Tapi itu akibat kurang jelas saja," ujar Suhartoyo. Dalam keadaan kepepet seperti itu, BKPM masih dititipi pesan agar pengusaha diharuskan sebanyak-banyaknya menggunakan barang modal bikinan dalam negeri. Karena itu, kini, makin banyak jumlah barang modal yang sudah dikeluarkan dari daftar induk untuk dapat fasilitas bebas bea masuk. Instansi ini diminta pula berkonsultasi dengan pihak Departemen Tenaga Kerja, jika sebuah PMA diketahui akan banyak memakai pekerja asing. Tentu, bukan salah Suhartoyo, jika tahun ini investasi kelihatan menurun tajam. Pengusaha lokal menahan diri karena keadaan kini berbeda dengan ketika rezeki minyak masih melimpah - empat tahun lalu. Apalagi depresiasi rupiah berjalan cepat. Kata Teddy Rachmat, presiden direktur PT Astra International, kalau mau sehat berusaha di sini, PMA harus bisa mengambil laba lebih cepat dibandingkan depresiasi rupiah. Karena kemungkinan itu kecil dilakukan, pengusaha akhirnya mengerem melakukan ekspansi. Maklum, "Yang sekarang saja sudah susah dapat laba," katanya. Ini tantangan bagi ketua BKPM baru, yang disebut-sebut akan datang dari Setneg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus