DI Desa Jogonatan, Bantul, 1 km arah selatan Yogyakarta, sebuah kompleks gedung baru, baru saja berdiri. Pada tanah seluas hampir 85.000 m2 berdiri sekelompok bangunan hampir 18.000 m2 dengan 170 ruangan. Biaya yang dikeluarkan membangun kompleks hampir Rp 3 milyar. Di sinilah calon-calon senirupawan, penari, dan pemusik dididik. Rabu pekan lalu, kompleks itu diresmikan oleh Menteri P & K Nugroho Notosusanto dengan nama Sekolah Menengah Seni Mardawa Mandala, Yogyakarta. "Mardawa Mandala artinya kelembutan atau rasa yang paling halus," kata Menteri. Maka. tiap sekolah menengah kesenian di Yogyakarta yang selama ini tersebar di tiga tempat, dikumpulkan. Apa artinya? "Para siswa dari tiga bidang seni itu masing-masing bisa memanfaatkan keahlian satu sama lain," kata But Muchtar, rektor Institut Seni Indonesia (ISI). But, seorang pematung juga pelukis, tampaknya bisa melihat prospek yang menguntungkan dari pengumpulan sekolah seni ini. Ia, sebagai rektor ISI, pernah mengatakan, "Apa salahnya mahasiswa seni rupa mendapat kuliah sejarah musik." (TEMPO, 28 Juli). Dengan kata lain, But melihat beradanya bermacam sekolah seni dalam satu kompleks bisa meluaskan horison apresiasi para siswa. Memang, tiga sekolah seni yang berdiri pada awal 1950-an dan 1960-an itu - Sekolah Menengah Musik (SMM), Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), dan Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) - tetap berdiri sendiri-sendiri tak ada hubungan akademis dan administrasi. Tapi pelajaran praktek kesenian masing-masing, tentunya, akan memberikan pengaruh satu sama lain. "Melihat anak-anak SMKI menari atau mendalang, saya yakin bisa memberikan inspirasi baru dalam seni lukis," kata Sugiyantoro, siswa kelas II Jurusan Seni Lukis SMSR. Saling memberikan ilham memang bukan hal baru dalam berbagai cabang kesenian Indonesia. Entah sudah berapa puluh kali Pelukis Affandi merekam gerak tari Bali. Lalu, sebuah komposisi musik karya Trisutji Djuliati Kamal diolah dalim bentuk balet oleh Farida Feisol. Bahkan, Sardono W. Kusumo sengaja menggabungkan tari, musik, seni rupa, sastra, dan film, jadi sebuah pertunjukan berjudul Yellowe Submarine (1977). Mungkin, selain mengintip siswa lain sedang praktek, apresiasi antarsiswa sekolah kesenian ini akan berlangsung dl perpustakaan. Sebab, tiga sekolah dalam satu kawasan ini ruang perpustakaannya satu dipakai bersama. Berapa koleksi bukunya, masih sedang ditata kembali. Bagi sekolah itu sendiri, kompleks baru bisa jadi alat promosi. Diharapkan lulusan SMP yang tertarik masuk sekolah kesenian makin banyak. Bukan karena selama ini sekolah-sekolah itu kekurangan siswa. Tapi, "Peminat berbakat yang masuk sekolah seni sedikit," kata Dimyati, direktur SMM. Jadi, selama ini tes bakat - tes utama untuk menyaring calon siswa - agak dilonggarkan. SMKI misalnya, yang punya daya tampung sekitar 150 siswa baru, hanya menerima sekitar 300 calon siswa. Bandingkan dengan SMA-SMA di Yogyakarta yang mempunyai daya tampung dua kali lipat, dan calon siswa yang mendaftar ribuan. Tapi yang mungkin jadi pertanyaan, yaitu untuk apa sebenarnya sekolah menengah kesenian ini. Bisa saja lulusan SMSR, misalnya, kemudian melanjutkan ke Fakultas Seni Rupa ISI. Tapi dibandingkan dengan lewat SMA, ia akan rugi satu tahun - pendidikan di sekolah menengah kesenian empat tahun. Benar, dalam soal praktek, yang dari sekolah kesenian unggul. "Di Jurusan Tari ISI, misalnya, lulusan SMKI bisa tak usah mengikuti pelajaran Tari I dan II, karena sudah diberikan di SMKI," tutur Supardjan, direktur SMKI. Cuma, kemudian, mahasiswa Jurusan Tari yang dari SMA akhirnya bisa mengejar kelebihan praktek yang dari SMKI. Juga di Fakultas Seni Rupa ISI (dahulu Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI), misalnya, pada tahun-tahun pertama mahasiswa dari SMSR jauh kelihatan lebih unggul karya-karyanya. Toh, di akhir tahun kuliah, mana karya mahasiswa dari SMA, mana dari SMSR tak lagi bisa dibedakan. Jadi? Sebenarnya lulusan sekolah menengah kesenian diharapkan langsung terjun ke masyarakat. Ini sekolah kejuruan sejenis STM Pembangunan yang empat tahun itu. Kelebihan satu tahun dari sekolah menengah biasa, direncanakan untuk lebih mematangkan kerja praktek siswa. Celakanya, dalam mencari kerja mereka harus bersaing dengan lulusan perguruan tinggi kesenian. Untuk desainer tekstil misalnya, kebanyakan adalah alumnus perguruan tinggi. Hanya lulusan SMSR yang sangat berbakat biasanya bisa bersamg dengan keterampllan lulusan perguruan tinggi. Dan ini memang jarang terjadi. Maka, kesempatan terbaik bagi lulusan sekolah menengah kesenian tampaknya hanya mengajar seni di SMPSMP. Repotnya, tak semua SMP membutuhkan guru khusus ini. Kenyataannya, banyak guru kesenian dirangkap oleh guru bidang lain. Paling beruntung mungkin lulusan SMSR. Lapanan kerja untuk mereka sekarang ini banyak. Biro reklame, penerbitan yang membutuhkan ilustrator, misalnya - meski, seperti sudah disebutkan, mereka harus pula bersaing dengan yang dari perguruan tinggi seni rupa. Tapi, memang, kebanyakan para siswa bercita-cita jadi seniman bebas. Dan untuk itu, pendidikan nyaris tanpa arti. Dede Eri Supria, pelukis realisme baru itu, misalnya, adalah jebolan dari SMSR. Soalnya kini, berapa banyak siswa sekolah kesenian yang memang berbakat seni dan wiraswasta yang seberuntung Dede? Digabungkan atau tak digabungkan pertanyaan itu tampaknya belum terjawab. Agak susah dilacak ke mana saja lulusannya (300-an dari SMKI, 200-an dari SMM, dan 900-an dari SMSR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini