Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Uni Eropa mewajibkan komoditas yang masuk ke wilayahnya mematuhi EUDR.
EUDR dianggap sebagai instrumen proteksi perdagangan.
Eropa mempertimbangkan pengunduran pemberlakuan EUDR menjadi pada 2025.
DINGINNYA suhu Kota Rotterdam, Belanda, pada pekan kedua September 2024 tak menyurutkan langkah Arif Havas Oegroseno. Mengenakan setelan jas berkelir perak, Selasa, 10 September 2024, Duta Besar Indonesia untuk Jerman itu keluar dari ruang konferensi Rotterdam Ahoy Convention Centre, menyusuri jalan bersama Andri Prasetyo Nugroho, Menteri Konselor Bidang Ekonomi Kedutaan, dan kemudian mencegat taksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa menit sebelumnya, Havas membuat panas ruang konferensi. Ketika berbicara sebagai panelis diskusi berjudul “How to Ensure Effective Implementation of EUDR Including the Inclusivity of Smallholders?”, Havas menuding Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) sebagai bentuk imperialisme modern. Sebab, kata dia, EUDR hanya mendiskriminasi komoditas yang berasal dari luar Uni Eropa. Sedangkan minyak nabati buatan Eropa seperti minyak rapa, minyak bunga matahari, dan minyak zaitun bebas dari aturan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Havas, EUDR bukan sekadar upaya Uni Eropa menekan deforestasi di seluruh dunia—terutama dari negara-negara pemasok komoditas—melainkan juga bagian dari proteksi perdagangan. “Jika kolonialisme orangnya datang untuk menduduki wilayah negara lain, ini imperialisme. Cukup aturannya yang datang dan harus diikuti,” ucapnya. “EUDR bertentangan dengan prinsip dasar hukum Uni Eropa yang biasanya clear dan precise.”
Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, saat menjadi panelis di SVOC Ke-3 di Rotterdam, Belanda, pada Selasa, 10 September 2024. Credit: CPOPC.
Pembahasan EUDR mengemuka dalam Konferensi Minyak Nabati Berkelanjutan atau Sustainable Vegetable Oil Conference (SVOC) Ke-3 yang berlangsung di Rotterdam. EUDR, yang akan berlaku mulai 30 Desember 2024, mewajibkan komoditas dari luar Uni Eropa seperti minyak sawit dan produk turunannya dihasilkan melalui proses atau lahan yang tidak berasal dari hasil penggundulan hutan atau deforestasi.
Ketika aturan ini berlaku, produsen dan eksportir produk atau komoditas tersebut harus melampirkan bukti dalam sistem informasi yang dirancang Komisi Eropa. Di sisi lain, Uni Eropa tak lagi mengakui sertifikat keberlanjutan yang diakui di negara lain seperti Indonesia Sustainable Palm Oil dan Roundtable Sustainable Palm Oil.
EUDR tidak hanya berlaku buat minyak sawit dan produk turunannya, tapi juga bagi komoditas yang ditanam di dekat kawasan hutan seperti kopi, kakao, dan karet. Uni Eropa mewajibkan lahan tanam komoditas tersebut bisa dilacak sampai ke titik koordinatnya dan diperiksa auditor. Ini yang membuat negara-negara pemasok komoditas perkebunan, termasuk Indonesia, meradang.
Konsil Negara Produsen Minyak Nabati Dunia atau Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) kemudian menggelar SVOC Ke-3 di Rotterdam sebagai respons atas rencana pemberlakuan EUDR pada akhir Desember mendatang. Rotterdam adalah kota pelabuhan yang menjadi gerbang perdagangan Eropa dengan dunia luar berkat statusnya sebagai perbatasan eksternal Uni Eropa. Barang-barang yang keluar dari Pelabuhan Rotterdam dapat dengan bebas masuk ke negara-negara anggota Uni Eropa. “Kami cukup percaya diri menggelar SVOC Ke-3 di sini, di jantung perdagangan Eropa,” ujar Rizal Affandi Lukman, mantan Deputi Kerja Sama Ekonomi Kementerian Koordinator Perekonomian yang kini menjabat Sekretaris Jenderal CPOPC, pada Senin, 9 September 2024.
Rizal boleh saja percaya diri. Pada kenyataannya, penyelenggara CPOPC sempat waswas. Sebab, hingga sehari sebelum konferensi, Uni Eropa belum memberi kepastian kedatangan perwakilan mereka. Padahal agenda utama konferensi itu membahas EUDR. “Sampai hari ini kami belum dapat konfirmasi siapa yang akan bicara besok dari Uni Eropa,” kata Datuk Nageeb Wahab, Direktur Eksekutif Asosiasi Minyak Sawit Malaysia yang menjadi wakil Rizal di CPOPC, pada 9 September 2024.
Pada hari pelaksanaan konferensi, masih tak ada nama perwakilan Uni Eropa di papan daftar pembicara. Baru beberapa jam menjelang sesi panel “How to Ensure Effective Implementation of EUDR Including the Inclusivity of Smallholders?” digelar, kepastian itu datang. Itu pun hanya berupa video rekaman presentasi Henriette Faergemann, Penasihat Pertama Lingkungan, Aksi Iklim, dan Kerja Sama Digital Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia. Tidak ada sesi tanya-jawab.
Suasana 3rd Sustainable Vegetable Oils Conference (SVOC) di Rotterdam, Belanda, Selasa (10/9/2024). FOTO/CPOPC
“Saya ingin menyampaikan kekecewaan besar ini. Sebagai warga negara Eropa, perwakilan Uni Eropa memilih tidak hadir secara fisik,” tutur Frans Claassen, Direktur Pelaksana Industri Minyak dan Lemak Belanda (MVO), saat menutup konferensi. Padahal jarak antara lokasi konferensi dan kantor pusat Komisi Eropa di Brussels, Belgia, hanya dua jam perjalanan mobil. Menurut Claassen, ketidakhadiran perwakilan Uni Eropa sebetulnya tidak mengejutkan karena pemangku kepentingan industri di Belanda punya pengalaman serupa. “Tapi tetap mengecewakan karena kita membutuhkan dialog dan kerja sama.”
Bukan hanya perwakilan Indonesia dan Malaysia yang hadir dalam konferensi ini. Perwakilan negara lain, seperti Honduras, Nigeria, dan Amerika Serikat, yang merupakan penghasil minyak kedelai terbesar dunia, juga hadir. Mereka semua ingin menanyakan sekaligus memastikan aturan-aturan yang dibuat Uni Eropa dalam EUDR. Sebab, bagi mereka, sebagian besar ketentuan dalam EUDR sulit dipenuhi.
Dalam rekaman video yang ditayangkan di arena konferensi, Henriette Faergemann mengakui minyak nabati yang diproduksi negara-negara anggota Uni Eropa, seperti minyak rapa dan minyak bunga matahari, tak masuk EUDR. Menurut dia, komoditas yang tunduk pada EUDR hanya daging (dari peternakan sapi), kedelai, kayu, kopi, karet, kakao, dan kelapa sawit serta turunannya. Komoditas ini dipilih sejak 2020. “Dipilih secara hati-hati berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Ini sudah disetujui oleh negara-negara di seluruh dunia,” katanya.
Ucapan Faergemann berbeda dengan pernyataan Komisi Eropa seperti tercantum dalam bagian Pertanyaan yang Sering Diajukan (FAQ) tentang Implementasi EUDR Versi 3-Oktober 2024. Dalam berkas itu, Komisi Eropa mengklaim komoditas yang diproduksi di kawasan tersebut juga tunduk pada EUDR.
•••
PARLEMEN Eropa menyetujui penerbitan Regulasi Deforestasi Uni Eropa pada 29 Juni 2023. Dengan peraturan itu, Uni Eropa menghendaki warganya tidak terpapar produk-produk yang berasal dari deforestasi atau penggundulan hutan. Uni Eropa memakai regulasi ini untuk menekan praktik deforestasi yang menurut mereka masih banyak terjadi di negara produsen komoditas.
“Sebelas persen emisi gas rumah kaca buatan manusia disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan,” ujar Henriette Faergemann, Penasihat Pertama Lingkungan, Aksi Iklim, dan Kerja Sama Digital Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, dalam rekaman presentasinya di Konferensi Minyak Nabati Berkelanjutan Ke-3, Selasa, 10 September 2024. “Dan jumlah konsumsi Uni Eropa mencapai 10 persen dari konsumsi deforestasi global,” dia melanjutkan.
Faergemann mengatakan, ketika Uni Eropa berbicara tentang deforestasi, maksudnya adalah konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan. Setiap perubahan hutan primer atau hutan alam menjadi bentuk lain, kendati masih dalam bentuk “hutan”, masuk kategori konversi. Sebagai contoh, istilah konversi berlaku pada hutan primer yang diubah statusnya menjadi hutan tanaman industri atau hutan monokultur.
Dengan mendorong tingkat konsumsi produk-produk bebas deforestasi, Uni Eropa berharap bisa menurunkan emisi gas rumah kaca dan menekan risiko hilangnya keanekaragaman hayati. Menurut Uni Eropa, pendorong utama deforestasi adalah perluasan lahan pertanian dan peternakan untuk produksi daging sapi, kayu, kakao, kedelai, kelapa sawit, kopi, karet, dan produk-produk turunannya, seperti kulit, ban, serta mebel.
EUDR mewajibkan setiap produsen, pedagang, eksportir, dan importir yang ingin memasukkan produk ke pasar Uni Eropa membuktikan produknya tidak berasal dari lahan yang baru saja digunduli atau berkontribusi terhadap pengurangan lahan hutan. Sejak EUDR terbit pada 29 Juni 2023, Uni Eropa memberikan tenggat 18 bulan atau sampai 30 Desember 2024 bagi produsen dan pelaku perdagangan komoditas untuk memenuhi aturan tersebut. Tenggat 30 Desember 2024 itu berlaku bagi usaha berskala besar. Usaha berskala mikro dan kecil mendapat toleransi waktu adaptasi enam bulan lebih lama serta ketentuan khusus lain.
Kendati telah mendapat toleransi waktu, negara-negara pemasok komoditas ke Uni Eropa tetap keberatan terhadap EUDR. Menurut Datuk Nageeb Wahab, Direktur Eksekutif Asosiasi Minyak Sawit Malaysia sekaligus Deputi Sekretaris Jenderal Konsil Negara Produsen Minyak Nabati Dunia, salah satu perbedaan mendasar antara Uni Eropa dan negara lain ada pada soal definisi hutan. Eropa, dia menjelaskan, mengacu pada definisi Organisasi Pangan dan Agrikultur Dunia (FAO) dan peta Joint Research Centre Komisi Eropa. “Sedangkan kami punya definisi dan peta sendiri,” ucapnya.
Petani memindahkan kelapa sawit yang baru dipanen di Nagari Katapiang, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Senin 2 September 2024. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Selain masih menyoal definisi hutan dan peta acuan, Uni Eropa dan negara-negara penghasil komoditas belum sepakat mengenai pelacakan dan geolokasi asal komoditas. Uni Eropa menginginkan produsen komoditas menyetor geolokasi asal produk lengkap dengan petanya. Menurut Uni Eropa, penelusuran sampai ke lahan tempat komoditas dipanen diperlukan untuk menunjukkan tidak ada penggundulan hutan di lokasi tersebut.
Dalam EUDR, operator wajib mengumpulkan dan memberikan koordinat geografis sebidang tanah tempat komoditas diproduksi atau dipanen dalam pernyataan uji tuntas yang kemudian harus diserahkan ke Sistem Informasi Uni Eropa. Jika operator memperoleh informasi atau mengetahui adanya risiko produk tidak mematuhi peraturan, hal itu harus disampaikan kepada otoritas yang berwenang.
Ketentuan ini bertentangan dengan peraturan di beberapa negara asal komoditas, seperti Indonesia. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki, Edi Martono, eksportir minyak sawit mentah Indonesia tak bisa sembarangan menyetor geolokasi dan peta kebun karena pemerintah melarang informasi geospasial izin hak guna usaha kebun sawit disebar. Larangan itu mengacu pada Pasal 49 Undang-Undang Informasi Geospasial yang melarang setiap orang menyebarluaskan, mengumumkan, dan memperdagangkan informasi geospasial yang berkaitan dengan obyek vital dan batas negara.
Menurut Edi, data geolokasi hanya bisa diminta langsung ke Badan Pertanahan Nasional. Biasanya, dia menambahkan, data ini diminta untuk kebutuhan perbankan atau ketika ada rencana masuknya pemegang saham baru. Sebagai jalan tengah, Gapki mengusulkan kepada pemerintah agar yang dibagikan kepada Uni Eropa adalah peta geolokasi area tertanam dan area tanam yang menghasilkan (bukan kebun secara keseluruhan). “Kami menunggu respons pemerintah terhadap usulan ini,” kata Edi pada Senin, 30 September 2024.
Edi mengatakan usulan itu juga telah mereka sampaikan kepada Komisi Eropa. Sehari setelah SVOC 2024, rombongan CPOPC, Gapki, dan delegasi dari Malaysia bertandang ke kantor Komisi Eropa di Brussels. Diterima oleh Direktur Jenderal Lingkungan Komisi Eropa Florika Fink-Hooijer, mereka kemudian mengadakan rapat dengan Komisi Eropa, meminta sejumlah persyaratan tentang geolokasi EUDR dikompromikan dengan aturan di negara masing-masing. “Pertemuan seharian dari pagi sampai sore,” ujar Edi.
Tidak mendapatkan komitmen apa pun dari Komisi Eropa, delegasi kemudian pulang ke negara masing-masing. Namun, sebulan kemudian, Rabu, 2 Oktober 2024, datang kabar yang menyebutkan Komisi Eropa mengumumkan telah mengusulkan penundaan penerapan EUDR selama setahun. Menurut Komisi Eropa, usulan itu merupakan respons atas tanggapan dan seruan dari mitra global mereka.
Mitra-mitra dagang Uni Eropa, termasuk Indonesia, menolak dan meminta pengunduran serta penyesuaian aturan di sana-sini. “Jika disetujui Parlemen Eropa dan Dewan Eropa, undang-undang tersebut (baru) akan berlaku pada 30 Desember 2025 untuk perusahaan besar dan 30 Juni 2026 bagi perusahaan mikro dan kecil,” demikian pernyataan Komisi Eropa di situs web resmi mereka. “Karena semua perangkat implementasi secara teknis sudah siap, tambahan waktu 12 bulan dapat berfungsi sebagai periode tahap-tahap untuk memastikan implementasi yang tepat dan efektif.”
Meski Uni Eropa tak akan mundur dengan tetap memberlakukan regulasi itu, negara produsen seperti Indonesia masih punya waktu setahun untuk bersiap, entah untuk memenuhi aturan Uni Eropa entah mencari pasar ekspor baru. Uni Eropa masih menjadi salah satu pasar terpenting ekspor sawit nasional kendati volumenya terus turun dari tahun ke tahun. Tahun lalu, angka ekspor sawit ke Uni Eropa masih mencapai 3,7 juta ton. Belanda, Spanyol, dan Italia menjadi pasar terbesar.
Selain dua opsi tersebut, Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, mengusulkan Indonesia bersiap-siap menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) serta European Court of Justice alias Mahkamah Konstitusi Uni Eropa. “Sebab, yang bisa mengubah aturan hukum hanya hukum yang lain, bukan lobi.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Protes Sawit di Jantung Dagang Eropa"