Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Penyebab Iklan Media Massa Tergerus Media Sosial

Kue iklan media kian tergerus media sosial dan platform digital. Perlu terobosan untuk bersaing di medan yang tak seimbang.

6 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Iklan di media cetak, televisi, dan radio tergerus oleh influencer di media sosial.

  • Pengiklan memilih platform iklan yang lebih murah tapi jangkauannya luas.

  • Perusahaan media perlu merambah bisnis baru untuk menambah pendapatan.

BULAN Oktober selalu menjadi periode sibuk bagi Randy Wijaya. Pria 29 tahun itu bergumul dengan rapat sejak pagi hingga malam. Randy, yang bekerja di perusahaan agensi periklanan ternama di bilangan Senayan, Jakarta Selatan, selalu menghadapi permintaan klien yang menumpuk menjelang akhir tahun. “Banyak perusahaan dan brand yang menjadikan periode ini momentum untuk meluncurkan produk baru, menggelar event, atau mendorong penjualan di kuartal akhir,” katanya pada Rabu, 2 Oktober 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alih-alih memesan slot iklan di media konvensional, mayoritas perusahaan saat ini memanfaatkan kanal alternatif seperti media sosial dan platform aplikasi digital. Menurut Randy, preferensi klien berubah dan makin kentara seusai masa pandemi Covid-19. Beriklan di televisi, radio, koran, majalah, hingga situs berita tak lagi menjadi pilihan utama. “Iklan di media sosial dominan karena jangkauannya luas, prosesnya cepat, dan biayanya relatif lebih murah,” ucapnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TikTok, YouTube, dan Instagram adalah tiga platform media sosial yang paling digandrungi untuk beriklan. Tak jarang, menurut Randy, kliennya memesan paket iklan yang menggandeng pemengaruh atau influencer ternama. Sasarannya adalah kaum muda yang akrab dengan aktivitas promosi melalui gawai. “Produk fashion dan beauty industry biasanya meminta partisipasi influencer karena ada kebutuhan membuat video review dan testimoni pengalaman menggunakan produk mereka.” 

Aktivitas iklan di media sosial dan platform digital terus meningkat, berbanding terbalik dengan belanja iklan di media konvensional yang menyusut. Menyitir data Belanja Iklan (Advertising Expenditure) yang dirilis lembaga riset Nielsen, pada 2022, stasiun televisi masih menjadi pilihan utama pengiklan dengan porsi belanja mencapai 79,2 persen dari total belanja iklan sebesar Rp 107,5 triliun berdasarkan gross rate card. Iklan media cetak turun menjadi 4,8 persen dan radio 0,3 persen. Sedangkan porsi platform digital 15,2 persen atau naik lebih dari 6 persen daripada tahun sebelumnya. 

Beralihnya pengiklan ke platform digital mengancam kelangsungan bisnis media konvensional. Dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Makroen Sanjaya, memperkirakan porsi iklan yang masuk ke media konvensional terus tergerus akibat supremasi media sosial dan platform digital. Makroen mengatakan terjadi persaingan tak seimbang antara media konvensional dan media sosial atau platform digital. “Media terkena regulasi sangat ketat dalam memproduksi kontennya, sementara platform digital cenderung bebas,” tuturnya. 

Media konvensional harus merelakan porsi iklannya menyusut karena pergeseran preferensi yang terjadi di kalangan pengiklan mengikuti perubahan perilaku konsumen. Belum lagi adanya aliran belanja iklan yang masuk ke kantong para pemengaruh dan kreator konten online. “Pembayaran kepada influencer cenderung tidak terdeteksi karena biasanya masuk langsung ke kantong pribadi,” kata Makroen. 

Kondisi media konvensional yang tersisih ini pun sempat diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo. Tatkala memberi sambutan pada peringatan Hari Pers Nasional di Medan, Sumatera Utara, pada Februari 2023, Jokowi menyebutkan 60 persen porsi belanja iklan kini diambil oleh platform asing. “Artinya apa? Sumber daya keuangan media konvensional makin berkurang,” ucapnya.

Di sisi lain, upaya media konvensional untuk merengkuh iklan dibayangi sederet indikator kuantitatif. Sebagai contoh, nilai jual sebuah media cetak di mata pengiklan kerap ditentukan berdasarkan oplah harian. Di televisi ada sistem rating, sementara di situs berita daring dikenal istilah trafik atau frekuensi pembaca dan pengguna yang berlangganan.

Wartawan melakukan liputan konferensi pers Jessica Kumala Wongso di Senayan Avenue, Senayan, Jakarta Pusat setelah dinyatakan bebas bersyarat dari rumah tahanan (rutan) Pondok Bambu pada Minggu 18 Agustus 2024. TEMPO/Ilham Balindra

Anggota Badan Pertimbangan dan Pengawas Organisasi Asosiasi Media Siber Indonesia, Wenseslaus Manggut, mengatakan kriteria tersebut sering menafikan kualitas informasi dan konten jurnalistik yang diproduksi. “Celakanya, angka-angka ini menjadi benchmark di bisnis media. Itulah kenapa iklan pada akhirnya bisa berlabuh di mana saja,” katanya. 

Meski demikian, Wenseslaus menambahkan, media konvensional memiliki keunggulan dari sisi kredibilitas dan integritas dalam menyampaikan suatu informasi. “Bisa dipercaya dengan roh jurnalisme untuk membangun citra dan positioning di mata pengiklan,” ujarnya. Kreativitas dan inovasi juga menjadi kunci, di antaranya dengan mengeksplorasi penggunaan berbagai platform, termasuk media sosial, untuk menghasilkan konten audio visual, tak melulu teks atau tulisan.

Konsolidasi media konvensional dengan platform digital dalam penempatan iklan bukan tidak mungkin akan makin kuat seiring dengan kebutuhan pemasaran yang masif. Pengamat media dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, Dadang Rahmat Hidayat, mengatakan strategi multiplatform dapat menjadi jalan tengah untuk mewadahi kepentingan pengiklan. “Nanti tidak bisa lagi dikotak-kotakkan karena sekarang media cetak atau online juga sudah membuat konten di Instagram, podcast di YouTube,” ucapnya. 

Fenomena diversifikasi wadah promosi pun terus meluas. Praktisi periklanan dan partner digital T&Pm, Arnold Kauntu, mengatakan definisi media digital tak lagi sebatas dalam lingkup media sosial sehingga memberikan banyak pilihan kepada perusahaan atau merek yang ingin menempatkan iklan. “Shifting tidak melulu ke media sosial, ada juga preferensi beriklan, misalnya, ke platform e-commerce bagi brand yang distribusi produknya mengandalkan penjualan online,” tuturnya. 

Tujuan beriklan pun, Arnold menambahkan, sering sejalan dengan life stage atau tahap bisnis sebuah perusahaan, yang turut mempengaruhi pertimbangan dalam memilih saluran promosi. Semua faktor tersebut yang kemudian diolah untuk menentukan strategi pemasaran yang cocok dan efektif. “Pada akhirnya, strateginya bisa macam-macam, bisa mixed media atau mixed channel.”  

Konsolidasi antarmedia juga diyakini sebagai sebuah solusi untuk bertahan di tengah persaingan yang ketat. Selain gempuran platform digital, jumlah entitas media konvensional seperti stasiun televisi dan media siber yang bertambah membuat perebutan kue pendapatan iklan makin sengit. “Penting untuk media mengetahui siapa audiensnya karena periklanan sekarang tak selalu menyasar publik yang homogen dan besar, ada kebutuhan untuk menyasar niche market dengan target audiens yang spesifik,” ucap peneliti Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten, Ignatius Haryanto. 

Strategi lain yang bisa ditempuh adalah melakukan diversifikasi pos pendapatan selain yang berasal dari iklan dan konten berbayar. Haryanto memberi contoh, penggerakan event organizer untuk menyelenggarakan diskusi, seminar, pameran, atau riset bisa menjadi pilihan untuk menggali pendapatan di luar bisnis utama. “Dibutuhkan kreativitas dan ketajaman dalam melihat peluang-peluang,” katanya. 

Di sisi lain, ada perubahan dalam ekosistem industri media. Salah satu inisiatif yang tengah digencarkan adalah implementasi kebijakan publisher rights atau hak penerbit. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan keadilan secara ekonomi bagi perusahaan media dalam distribusi konten jurnalistik di platform digital.

Pada Agustus 2024, Dewan Pers telah menetapkan 11 anggota komite pelaksana peraturan presiden tersebut yang berisi praktisi media, pakar, dan perwakilan pemerintah. Anggota komite, Sasmito, mengatakan selama ini platform digital seperti Google dan Meta kerap mendistribusikan konten berita dan produk jurnalistik. Walhasil, dia melanjutkan, diperlukan kerja sama dan pembagian keuntungan yang adil antara perusahaan media dan platform tersebut. Komite berperan memberikan pendampingan, sosialisasi, dan konsultasi. “Ini bisa menjadi opsi sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan media, khususnya dari iklan digital."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Caesar Akbar berkontribusi pada artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Seturut Iklan Berlabuh"

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus