Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan telah membekukan izin usaha PT Indobuilco milik pengusahan Pontjo Sutowo dalam pengelolaan Hotel Sultan. Pembekuan itu, kata Bahlil, dilakukan dua pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Syarat memberikan izin tempat usaha itu harus ada hak alas. Nah, begitu sertifikatnya sudah mati dan tidak diperpanjang, maka izin itu tidak memenuhi syarat lagi untuk diterbitkan," kata Bahlil ketika ditemui di kantor Kementerian Investasi, Jumat, 20 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Bahlil pun membuka peluang pencabutan izin jika pembekuan izin tidak cukup membuat Pontjo Sutowo meninggalkan Hotel Sultan. Ia tak mau ambil pusing, kendati keputusan itu kembali diprotes perusahaan tersebut. "Kalau masih melawan, kami buat keputusan. Ya, terserah saja mau protes," kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Sekretariat Negara melalui Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPK GBK) memang meminta perusahaan Pontjo Sutowo itu hengkang dari Hotel Sultan. Musababnya, hak guna bangunan (HGB) yang diberikan untuk perusahaan itu sudah habis. Namun PT Indobuilco bergeming hingga PPK GBK akhirnya berupaya mengosongkan paksa Hotel Sultan pada 4 Oktober 2023.
Lantas, siapa sebenarnya Pontjo Sutowo yang berpolemik dengan pemerintah di kasus Hotel Sultan? Simak fakta-faktanya.
Pernah jadi adik kelas Megawati Soekarnoputri
Mengutip buku ‘Pontjo Sutowo: Pengusaha yang Terpanggil’, Pontjo Sutowo merupakan pengusaha yang lahir pada 17 Agustus 1950 di Palembang, Sumatera Selatan. Pontjo memiliki nama lahir Pontjo Nugro Susilo. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari pasangan Ibnu Sutowo dan Zaleha. Ayahnya adalah seorang dokter lulusan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya di Martapura sementara ibunya adalah guru tamatan MULO Palembang.
Pontjo tinggal di Palembang sampai berusia enam tahun, ketika ayahnya masih menjadi tentara dan menjabat sebagai Panglima Teritorium Dua, sekarang Kodam Sriwijaya. Pontjo menempuh pendidikan Sekolah Rakyat (SR) Santo Xaverius di Palembang.
Pada 1956, dia dan keluarganya pindah ke Jakarta untuk mengikuti sang ayah yang ditempatkan sebagai Staf Umum Angkatan Darat. Pontjo lalu melanjutkan pendidikannya di Perguruan Cikini hingga SMA. Di sini, ia menjadi adik kelas Megawati Soekarnoputri sebelum kemudian pindah ke SMA Katolik Pangudi Luhur.
Lulus SMA, ia melanjutkan studinya di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Mesin. Kala itu Pontjo tidak menyelesaikan kuliahnya karena alasan kesehatan. Setelah itu, dia memilih pindah dan melanjutkan studinya di Universitas Trisakti pada Fakultas Teknik.
Mulai berbisnis di usia 20 tahun
Sepak terjang Pontjo dalam dunia bisnis dimulai saat dirinya berusia 20 tahun. Saat itu, dia meyakinkan ayahnya yang menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina untuk mengizinkannya terjun ke dunia bisnis.
Kecintaan Pontjo pada bidang kemaritiman membuatnya memutuskan untuk mendirikan perusahaan galangan kapal dengan nama PT Adiguna Shipyard sebagai perusahaan pertamanya. Kala itu dia menjual motor tempel kapal impor merek Mercury di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat.
Bermula dari membuat tongkang kecil, melalui perusahaannya, Pontjo berhasil membuat kapal dengan berbagai ukuran. Pada 1972, PT Adiguna Shipyard bahkan mampu membuat 500 kapal tanker dengan bobot 3.500 DWT. Jumlah galangan kapalnya pun bertambah menjadi empat galangan. Tak hanya itu, perusahaan ini juga menjadi yang pertama kali membawa teknologi fiberglass ke Indonesia.
Mendirikan HIPMI bersama Abdul Latief
Pada tahun yang sama, Pontjo bertemu dengan Abdul Latief yang kemudian menggaetnya untuk mendirikan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Pada kepengurusan pertama tahun 1972-1973, ia menjabat sebagai Ketua Sektor Keuangan dan Perbankan. ia kemudian menduduki posisi sebagai Ketua II pada kepengurusan 1973-1975. Ia akhirnya menjadi Ketua HIPMI pada periode 1979-1983.
Merambah ke usaha perhotelan
Setelah sukses di bisnis perkapalan, Pontjo kemudian melebarkan sayapnya ke usaha perhotelan. Dia mengambil alih manajemen operasional Hotel Hilton (kini Hotel Sultan) milik ayahnya pada 1982 setelah mengalami masalah. Hotelnya tersebut sudah berdiri sejak 1976.
Pontjo juga memimpin bisnis konglomerasi milik ayahnya melalui PT Nugra Santana atau Group Nugra Santana. Grup yang berdiri pada 1973 ini memiliki banyak anak perusahaan di berbagai sektor, seperti bidang keuangan, farmasi, pelayaran, dan energi. Kemudian pada 1986, Pontjo terpilih sebagai Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) hingga 2001.
Mulai menguasai Senayan sejak pembangunan GBK
Perusahaan ayah Pontjo mulai menduduki Senayan ketika Presiden Sukarno membangun Komplek Gelora Bung Karno (GBK) untuk Asian Games 1962. Saat itu, Yayasan Gelora Senayan diberi tugas untuk membebaskan lahan tersebut. Namun, tanah yang dibebaskan tidak segera dibuat sertifikat.
Kemudian jelang konferensi internasional terkait pariwisata sekitar 1973, pemerintah DKI Jakarta kemudian memberi mandat PT Indobuildco untuk membangun gedung konferensi dan hotel bertaraf internasional. Hak Guna Bangunan (HGB) di lahan seluas 13,7 hektar pun terbit melalui Surat Keputusan Mendagri untuk jangka waktu 30 tahun terhitung sejak 13 September 1973 hingga 4 Maret 2003 atas nama Indobulidco yang dipecah menjadi dua.
Setelahnya, Kantor Subdirektorat Agraria Jakarta Pusat (kini Kantor Pertanahan Jakarta Pusat) menerbitkan sertifikat HGB. Badan Pertanahan Nasional (BPN) lalu mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pemberian Hak Pengelolaan kepada Sekretariat Negara c.q. Badan Pengelola Gelanggang Olah Raga Bung Karno pada 1989.
HATTA MUARABAGJA | ANDIKA DWI | RADEN PUTRI