Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Matahari perlahan bergerak naik. Maharam Difinubun, nelayan berusia 63 tahun itu, sudah sibuk di dermaga Desa Apara membersihkan ikan balobo (hemiramphidae) untuk dijadikan ikan asin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Maharam tinggal di Desa Apara, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Secara geografis, Desa Apara terletak di sebuah pulau di tengah Laut Arafura yang membelah wilayah perairan Maluku, Timor Leste, Nusa Tenggara Timur dan Australia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Untuk bisa sampai ke Desa Apara, perjalanan hanya bisa ditempuh menggunakan perahu selama lima jam dari Ibu Kota Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Tapi bukan karena tempat tinggalnya yang berada di pulau terluar Indonesia itu yang dikeluhkan oleh Maharam, namun beratnya hidup sebagai nelayan tradisional karena tak punya perahu sendiri.
Maharam Difinubun, 63 tahun, nelayan Desa Apara, Maluku, yang sedang membersihkan ikan balobo, 30 September 2022. Sumber: TEMPO
Maharam menceritakan bertahun-tahun ia menjalani hidup sebagai nelayan numpang. Artinya, perahu yang digunakan milik orang lain, sehingga berapa pun hasil tangkapannya harus dibagi dua dengan si pemilik perahu.
Menurut Maharam, untuk melakukan satu kali perjalanan melaut dibutuhkan 100 liter bahan bakar untuk pulang-pergi. Tak jarang jika hasil tangkapannya minim, seluruhnya diberikan pada pemilik perahu sehingga dia pulang gigit jari.
“Kalau hasi tangkapan sedikit, semua ikan dikasih ke pemilik (perahu). Besok kalau melaut, ya begitu lagi,” kata Maharam kepada Tempo, Jumat, 30 September 2022.
Saat kondisi benar-benar kepepet, dia akan kasbon ke toko sembako yang ada di Desa Apara. Beruntung, pinjaman uang diberikan tanpa bunga.
Selanjutnya: Maharam tak mau ada anaknya yang putus sekolah.
Maharam memiliki 9 anak dan semuanya mengenyam pendidikan. Salah satunya bahkan bersekolah sampai jenjang Universitas di Ibu Kota Ambon. “Supaya kesusahan tidak menurun ke anak. Harus yakin, Allah yang kasih rezeki. Makan atau tidak, yang penting anak sekolah,” kata Maharam mengutarakan alasan tak mau ada anaknya yang putus sekolah.
Gali Lubang Tutup Lubang Nelayan Tumpang
Setelah bertahun-tahun menjalani hidup sebagai nelayan numpang, pada 2021 atau saat umurnya 62 tahun, Maharam akhirnya bisa punya perahu sendiri. Perahu itu dibelinya dengan harga Rp 6 juta dari seseorang yang sedang butuh uang. Ia menyerahkan uang muka Rp 3 juta dari pemberian mertuanya yang berjualan kue dan sisa Rp 3 juta dicicilnya.
Ia menyebutkan salah satu kesulitan terbesarnya sebagai nelayan tradisional adalah tak punya perahu sendiri. Meski begitu, ia terus menjalani kehidupannya ketimbang menganggur.
Beratnya tantangan hidup sebagai nelayan tradisional juga dirasakan oleh Fatimah Difinubun, 53 tahun. Suami Fatimah sudah wafat setelah sakit selama lima tahun dengan meninggalkan dua anak. Agar dapur bisa tetap ngebul, tak jarang Fatima pergi melaut, sebuah tugas yang biasa dilakoni oleh laki-laki.
Karena perahu yang peninggalan suami Fatimah sudah lama rusak dan benar-benar tak bisa diperbaiki, ia harus menjadi nelayan tumpang. Dengan begitu, ia harus membagi hasil tangkapan dengan si pemilik perahu. Perhitungan pembagiannya adalah untuk setiap 5 liter bahan bakar yang digunakan harus ‘dibayar’ dengan 250 ekor ikan hasil tangkapan.
“Pernah kejadian pulang melaut tak membawa apa-apa (karena semua hasil tangkapan untuk si pemilik perahu). Pernah juga enggak mendapatkan ikan sama sekali karena air laut sedang pasang,” kata Fatimah.
Jika kondisi begini, Fatima biasanya ke hutan mencari daun pepaya. Daun itu lalu direbusnya untuk kemudian disantap dengan nasi dan sambal.
Ketika benar-benar tak punya uang dan hasil tangkapan selalu nihil, Fatimah akan kasbon ke toko yang menjual sembako di Desa Apara. “Waktu suami saya sakit, pernah saya terpaksa mencari ikan sampai tengah malam karena sudah tak ada yang bisa di masak di rumah. Untungnya, anak-anak enggak protes,” ujarnya.
Sebagai perempuan nelayan yang pergi melaut, Fatimah acap kali diremehkan oleh para nelayan lainnya. Ada yang pernah nyeletuk ‘perempuan kok melaut’. Tapi ucapan-ucapan itu tak dipedulikannya karena yang terpenting baginya adalah pekerjaan yang dilakoninya halal.
“Saya ada niat membayar utang (ke toko). Semoga sebelum meninggal, utang sudah lunas,” kata Fatima dengan nada lirih tanpa menyebut berapa nilai utangnya di toko sembako.
Profil Kepulauan Aru. Sumber: TEMPO
Selanjutnya: Kondisi ekonomi mayoritas nelayan tradisional memprihatinkan.
Sudah jadi rahasia umum kalau kondisi ekonomi sebagian besar nelayan tradisional di Indonesia memprihatinkan. Para nelayan tradisional di Desa Apara, misalnya, membutuhkan modal sekitar Rp 500 ribu untuk satu kali melaut.
Lantaran kondisi geografisnya terpencil, harga bahan bakar di Desa Apara dibandrol Rp 15 ribu per liter. Untuk sekali melaut menggunakan perahu dengan mesin GS200 dibutuhkan setidaknya 10 liter bahan bakar agar bisa melaut dikejauhan 50 kilometer dari bibir pantai.
Sedangkan untuk perbekalan makanan selama di tengah laut, butuh Rp 100 ribu untuk perjalanan dua hari. Biaya tersebut belum termasuk rokok bagi nelayan yang merokok.
Setelah ikan balobo diperoleh dari laut, proses pengolahannya menjadi ikan asin, para nelayan butuh tambahan modal untuk membeli garam sekitar Rp 150 ribu. Setelah usaha keras mencuci ikan dan menjemurnya hingga tiga hari, satu kilogram ikan asin balobo atau 45 ekor ikan, dihargai Rp 50 ribu.
Akan tetapi, kenyataan kadang tak sesederhana itu. Para nelayan tradisional di Desa Apara pada umumnya tak punya alat pengering ikan karena daerah tersebut belum teraliri listrik. Walhasil, mereka sangat bergantung pada sinar matahari untuk mengeringkan ikan.
Jika sering hujan, maka ikan asin akan sulit dikeringkan. Bila dalam tempo tiga hari tak kunjung kering, ikan akan rusak dan tak ada pilihan lain selain dibuang. Artinya, harapan untuk mendapatkan fulus sirna seketika.
Kian Terhimpit karena Tak Bermodal
Bertahun-tahun para nelayan tradisional di Desa Apara bekerja sebagai nelayan numpang ternyata semakin terhimpit karena hasil tangkapan yang diperoleh masih harus dibagi-bagi. Semakin banyak nelayan yang menumpang dalam suatu perahu, maka kian besar pula pembagian hasil tangkapannya, termasuk dengan si pemilik perahu.
Kehidupan mereka juga semakin mengenaskan bila akhirnya masuk perangkap tengkulak dan rentenir. Tak sedikit dari nelayan yang tak kunjung selesai urusannya dengan rentenir. Kejadian ini lazim karena hingga kini belum ada bank yang masuk Desa Apara.
Soal ini, Ica Lainong punya cerita tersendiri. Perempuan berusia 71 tahun tersebut lebih suka menyebut dirinya sebagai pengumpul ikan. Setiap satu atau dua bulan sekali, dia akan ke Desa Apara membeli ikan asin para nelayan sekaligus memberikan pinjaman modal usaha pada yang membutuhkan.
Ica tak mematok bunga dari uang yang dipinjamkannya. Hanya saja, ikan asin milik para nelayan itu nantinya harus dijual kepadanya dengan harga yang juga sudah ditentukan olehnya.
Selanjutnya: Pemda tak tinggal diam menanggapi kekalutan para nelayan tumpang.
Kekalutan para nelayan tumpang ini bukan tak diketahui oleh pemerintah daerah. Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, Alo Tabela, menyatakan pihaknya tak berdiam diri melihat nasib para nelayan di wilayah kerjanya.
Salah satu yang dilakukannya adalah memberikan pelatihan mendiversifikasi hasil pengolahan ikan ke kampung-kampung nelayan. Para nelayan juga diajarkan mengolah hasil tangkapan agar bisa digunakan untuk meningkatkan gizi anak-anak mereka.
Soal permodalan, kata Alo, hingga kini masih jadi masalah yang paling sering diadukan nelayan. Namun ia tak bisa berbuat banyak karena Dinas Perikanan yang dipimpinnya tak memberikan permodalan khusus nelayan tradisional. Pasalnya, masalah permodalan masuk ke ranah Dinas Koperasi.
Adapun Sekertaris Dinas Koperasi dan UMKM Kepulauan Aru Rusli Goulap menyatakan siapa pun berhak mengajukan pinjaman. Hanya saja, mereka yang mengajukan kredit sebelumnya harus berstatus sudah memiliki usaha yang dibuktikan lewat surat keterangan dari kelurahan.
Berikutnya, Tim dari Dinas Koperasi dan UMKM akan mengecek usaha tersebut benar-benar sudah berjalan. Untuk lebih meyakinkan lagi, calon peminjam juga harus membuat proposal kemana alokasi dana jika pinjaman dikucurkan. “Kami sekarang ini belum ada (program) pinjaman khusus nelayan,” ujarnya.
Namun sayangnya, dalam perjalanannya, penyaluran bantuan koperasi itu masih belum benar-benar dirasakan oleh banyak nelayan. Rita Garapara, staf Desa Apara bidang Kesejahteraan Sosial, misalnya, menilai bantuan koperasi masih terkesan 'pilih-pilih' berdasarkan kedekatan dengan pejabat.
Rita, yang juga nelayan, menyatakan bantuan khusus nelayan perempuan pun belum pernah ada. Padahal kerja nelayan perempuan di Desa Apara itu tak kalah keras agar bisa menggerakkan roda perekonomian keluarga.
Rita berharap di masa mendatang akan ada perhatian lebih dan tidak ada diskriminasi dalam penyaluran kredit bagi nelayan. Dengan begitu nelayan tak lagi harus terus-menerus gali lubang tutup lubang untuk menyambung hidup.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini