Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengklaim penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) akan menggerus daya saing industri. Cukai disebut akan menjadi beban bagi para konsumen karena kenaikan biaya dibebankan ke konsumen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menurunkan daya saing di tengah industri masih berjuang menuju normal, setelah pandemi Covid-19," katanya ketika dihubungi Tempo pada Senin, 26 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah akan menerapkan pungutan cukai untuk minuman berpemanis pada 2024, setelah sebelumnya pernah ditunda. Pemerintah menargetkan penerimaan cukai dari MBDK senilai Rp 4,39 triliun tahun ini.
"(Aturan cukai MBDK) sudah sampai tahap final, tinggal sosialisasi, tinggal nanti kemudian diterapkan," kata Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono pada 29 Januari 2024, dilansir dari Antara.
Dante mengatakan, saat ini peraturan tersebut tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait. Salah satunya dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk merumuskan besaran cukai yang akan dikenakan.
"Ini kami akan eksekusi sesegera mungkin, nggak ada kendala sebenarnya, disahkan tahun ini, sudah diserahkan. Segera disahkan kalau sudah ditandatangani, karena kajian akademisnya sudah kami buat," ujar Dante.
Sejauh ini, kata Adhi, GAPMMI belum diundang secara resmi oleh pemerintah terkait rencana cukai MBDK. Hanya saja, GAPMMI telah berdiskusi dengan sejumlah lembaga pemerintah karena melihat berita ihwal kebijakan tersebut.
"Kami belum diundang secara resmi oleh pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu yang mengeluarkan aturannya. Namun kami sudah diskusi dengan beberapa lembaga pemerintah karena ada berita," ujarnya.
Namun pada intinya, GAPMMI menilai wacana kebijakan tersebut sangat tidak tepat.
"Apalagi kalau tujuannya untuk menurunkan PTM (penyakit tidak menular akibat gula)," ujar Adhi.
Perihal proyeksi penurunan omzet di kalangan industri minuman berpemanis, GAPMMI masih mengkaji besarannya. Namun berdasarkan kajian tahun 2012 dalam hal minuman berkarbonasi berpemanis, elastisitasnya sekitar 1,7 persen. Setiap satu persen kenaikan harga akan menurunkan penjualan sebesar 1,7 persen.
"Elastisitas minuman berkarbonasi berpemanis sekitar 1,7 persen. Kenaikan harga 1 persen akan menurunkan penjualan 1,7 persen. Kali ini, kami belum dapat secara resmi berapa rencana cukainya," kata dia.
ANNISA FEBIOLA | ANTARA