Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Kerugian PGN Akibat Gas Impor Pertamina

PGN terancam merugi karena gas yang diimpor Pertamina. Ada potensi denda besar.

1 Oktober 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penandatangan penjualan LNG antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk sebagai Subholding Gas Pertamina dan Gunvor Pte Ltd di Jenewa, Swiss, pada 23 Juni 2022. Dok.PGN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • PGN menjual LNG impor Pertamina dengan harga rendah.

  • Pertamina membatalkan pengiriman gas sehingga PGN harus mencari sumber lain.

  • PGN terancam denda jika tak mengirim gas pada 2024.

TUGAS berat mesti dilakoni Arief Setiawan Handoko. Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN ini mesti mencari pasokan gas alam cair (LNG) dalam jumlah besar dengan harga miring untuk dijual kepada perusahaan Singapura, Gunvor Pte Ltd. Sampai saat ini PGN belum mendapatkan LNG yang seharusnya dikirim pada Maret tahun depan itu. Jika gagal, perseroan akan terkena penalti. "Kami masih mencari suplai," katanya kepada Tempo pada Jumat, 29 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arief, yang menempati kursi bos PGN sejak Mei lalu, memang ketiban sampur. Pada 23 Juni tahun lalu, PGN meneken kontrak penjualan LNG kepada Gunvor sebanyak 0,5 juta ton per tahun. Awalnya pasokan LNG untuk Gunvor berasal dari perusahaan Australia, Woodside Petroleum Ltd. Gas itu dibeli PT Pertamina (Persero), yang sejak 2018 menjadi induk usaha PGN. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi, alih-alih mengalir sesuai dengan target, pasokan LNG dari Woodside malah ditarik kembali oleh Pertamina. Harga beli LNG itu juga ternyata lebih tinggi ketimbang nilai dalam kontrak yang disepakati PGN dengan Gunvor. Walhasil, PGN menghadapi dua ancaman sekaligus: denda karena gagal mengirim LNG dan kerugian lantaran menjual komoditas tersebut di bawah harga beli. Kini PGN mesti berjibaku. 

Kontrak bermasalah ini pun terekam dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan yang laporannya terbit pada April lalu. Lembaga auditor negara itu menyebutkan, gara-gara kontrak dengan Gunvor, PGN bisa merugi hingga US$ 376 juta atau sekitar Rp 5,8 triliun. Masalah yang dihadapi PGN pun menambah panjang daftar persoalan yang disebabkan oleh kontrak jual-beli segitiga yang melibatkan Pertamina.

•••

PADA 23 Mei 2022, sejumlah pejabat Perusahaan Gas Negara yang menghadiri Konferensi Gas Dunia di Korea Selatan bertemu dengan perwakilan Gunvor, perusahaan dagang minyak dan gas internasional yang berbasis di Singapura. Dalam pertemuan itu, Gunvor menawarkan kerja sama kepada PGN untuk mengikuti tender suplai LNG ke Otoritas Pasar Energi Singapura periode Maret 2023-Desember 2027. Gunvor meminta PGN memasok LNG 1 juta ton per tahun. 

PGN melihat tawaran Gunvor itu sebagai peluang. Kesempatan terbuka lebar tatkala Pertamina mengalihkan bisnis LNG mereka kepada PGN sejak 11 Maret 2022. Pertamina diketahui memiliki LNG impor uncommitted cargo atau belum punya pembeli. 

Direksi PGN pun bergerak cepat. Dalam rapat steering committee pada 6 April 2022, PGN diminta bersiap memasarkan LNG Pertamina yang kebanyakan berasal dari impor. Gas itu sedianya digunakan untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) serta operasi kilang-kilang Pertamina dan dijual ke pasar internasional. 

Dalam rapat itu, PGN menyampaikan rencananya mengikuti beberapa tender suplai LNG. Salah satunya tender pengiriman gas untuk perusahaan Filipina, First Gen (FGEN). Dalam kontrak itu, PGN berniat menggunakan LNG milik Pertamina yang berasal dari Woodside Energy Trading Singapore Pte. Ltd. Gas itu rupanya dibeli oleh Pertamina dari Woodside Australia melalui kontrak pada 5 Juni 2017. 
 
Dalam rencana awal, Pertamina membeli gas itu untuk operasi Kilang Cilacap, Jawa Tengah, seusai renovasi. Pasokannya datang secara bertahap, yaitu 0,57 juta ton LNG per tahun pada 2019-2033, lalu 0,50 juta ton per tahun pada 2024-2033, dan 1,07 juta ton per tahun pada 2034-2038. Namun pengembangan Kilang Cilacap sampai sekarang tak terwujud. Pertamina pun kudu putar otak melepas LNG yang sudah kadung dipesan. 

Di tengah kondisi ini, PGN akan melepas LNG tersebut kepada pembeli di luar negeri, seperti FGEN. Namun PGN kalah dalam tender sehingga LNG yang dibeli Pertamina dari Woodside harus dijual kepada pihak lain. Maka, ketika ada tawaran dari Gunvor, PGN melihatnya sebagai peluang mendulang cuan. Pada 3-20 Juni 2022, PGN dan Gunvor membahas perjanjian pokok jual-beli dan kesepakatan komersial. 

Pada 14 Juni 2022, Group Head GLS PGN mengirim nota dinas kepada Direktur Strategis dan Pengembangan Bisnis PGN Heru Setiawan. Group Head memohon persetujuan Heru untuk melanjutkan kerja sama dengan Gunvor. PGN akan menyuplai Gunvor maksimum 8 kargo atau setara dengan 0,5 juta ton gas LNG pada 2024-2027. Formula harganya 11,28 persen dari harga acuan minyak Brent plus US$ 0,52 per million British thermal unit (MMBTU).  

Berselang sehari, Heru menyetujui nota dinas anak buahnya tersebut dan mengirim surat persetujuan kepada Direktur Utama PGN, yang saat itu dijabat Haryo Yunianto Honggowongso. Haryo juga menyetujuinya. Sepekan kemudian, kesepakatan yang setara dengan perjanjian jual-beli itu diteken di Jenewa, Swiss. Heru menandatangani perjanjian tersebut dengan disaksikan Haryo dan Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini. "Berpartner dengan Gunvor memungkinkan kami untuk masuk ke pasar baru," ujar Heru ketika itu. 

Tak sampai sepekan setelah penandatanganan kontrak, arah angin berbalik. Pada 6 Juli 2022, Pertamina menggelar rapat dengan PGN yang hasilnya memutuskan penundaan pengalihan bisnis LNG dari Pertamina ke PGN, dari semula pada 27 Juli 2022 menjadi 31 Desember 2022. Hal itu tertuang dalam surat Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati kepada Direktur Utama PGN. "Dengan terbitnya surat itu, PGN jadi tidak eligible atas LNG yang diperjanjikan dengan Gunvor," demikian petikan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan. 

Menurut laporan BPK, PGN mengajukan penambahan klausul novasi kontrak, tapi Gunvor belum bersedia menyetujuinya. Dari situ muncul risiko kegagalan pengiriman LNG dari PGN ke Gunvor dengan nilai risiko inheren mencapai US$ 376,9 juta. Angka tersebut merupakan akumulasi potensi denda yang harus dibayar PGN jika gagal mengirim LNG. 

Pukulan kedua bagi PGN datang dari struktur harga. Rupanya, harga yang disepakati dengan Gunvor di bawah harga pasar dan harga beli Pertamina dari Woodside. Sebagai perbandingan, harga jual kepada Gunvor 11,28 persen dari acuan Brent plus US$ 0,52 per MMBTU. Sedangkan harga pasar gas alam cair adalah 13 persen dari acuan Brent plus US$ 0,5 per MMBTU untuk kontrak 2022 dengan pengiriman pada 2025. Walhasil, ada selisih harga US$ 1,356 per MMBTU atau US$ 4,068 juta per kargo. 

Jika angka itu dikalikan dengan jumlah kargo yang harus dikirim per tahun lalu dikalikan empat tahun, potensi kerugian dari selisih harga tersebut sebesar US$ 117,972 juta atau Rp 1,825 triliun. PGN pun dijepit dua kemungkinan: menanggung denda gagal kirim atau menderita kerugian harga jual. Menurut audit BPK, tidak ada negosiasi antara PGN dan Gunvor dalam penentuan harga tersebut. 

Saat dimintai tanggapan tentang hal ini, Heru Setiawan menolak berkomentar. "Sejak Juni 2023 saya sudah tidak menjabat di PGN lagi," tuturnya pada Jumat, 29 September lalu. Adapun Haryo Yunianto sempat menjanjikan wawancara, tapi kemudian batal karena dia mengaku harus ke luar negeri. 

Haryo dan Heru diberhentikan dari direksi PGN pada 30 Mei lalu. Satu tim di bawah Heru juga dirombak total gara-gara masalah kontrak gas Gunvor. Kini beban ada di pundak pengganti Haryo, Arief Setiawan Handoko, yang harus mencari pengganti LNG Woodside dengan harga murah. "Kepada calon pengganti suplai, kami sudah membuka harga kontrak ke Gunvor. Kalau bisa kasih di bawah itu, kami ambil," ujar Arief.

Arief mengaku ada perusahaan Rusia yang menawarkan pasokan LNG dengan harga murah. Namun direksi Pertamina menampik tawaran tersebut. "Pertamina selaku holding khawatir, kalau mengambil gas dari Rusia, global bond yang diterbitkan Pertamina terancam," ucapnya. Hal ini berhubungan dengan sanksi negara-negara Barat, negara asal para pemegang global bond, terhadap Rusia yang memerangi Ukraina. 

Sikap Gunvor sebetulnya sempat melunak dengan menaikkan harga dari semula 11,28 persen dari nilai acuan Brent plus US$ 0,52 per MMBTU menjadi 12,5 persen dari harga acuan Brent. Tapi buntutnya lebih berat, dari awalnya hanya untuk pasar Singapura, pasokan gas menjadi buat pasar Asia. Gunvor juga menghendaki perubahan terminal penerima gas tanpa persetujuan PGN. "Ini malah memberatkan," ujar Arief.

PGN sempat berharap Pertamina mau mengalihkan pasokan LNG dari sumber lain, yaitu perusahaan Amerika Serikat, Corpus Christi. Namun harapan itu menipis karena gas Corpus Christi sudah dibeli pihak lain sampai 2025. Belakangan, transaksi LNG Corpus Christi menjadi perkara hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan bekas Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan LNG Corpus Christi. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Retno Sulistyowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Transaksi Teledor Gas Impor"

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus