Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKACAUAN tata niaga gas bumi yang sudah lama terjadi terus saja melahirkan persoalan demi persoalan. Tanpa data yang kredibel, impor gas sering mendatangkan masalah seperti yang kini menimpa PT Pertamina (Persero).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penahanan mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi gambaran terbaru bagaimana kekacauan negara mengelola sumber daya yang cadangannya berlimpah tersebut. KPK menahan Karen pada 19 September 2023, berselang setahun dari penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi impor gas alam Corpus Christi pada 2013-2014. KPK menuduhnya bermain mata dengan anak usaha Cheniere Energy, perusahaan gas alam asal Texas, Amerika Serikat, tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuduhan korupsi terhadap Karen bermula saat Pertamina mendapat lampu hijau mengimpor gas alam setelah terbit data pasokan dan suplai gas yang tidak valid tapi dipercayai pemerintah. Menurut data tersebut, Indonesia bakal defisit gas sepanjang 2009-2040 sehingga pemerintah menugaskan Pertamina mengimpor gas guna memenuhi kebutuhan domestik.
Gas bumi impor itu dipasok ke sejumlah pembangkit listrik berbahan batu bara yang akan diubah menjadi berbahan bakar gas. Selain itu, gas untuk memenuhi kebutuhan kilang minyak Pertamina, seperti Kilang Cilacap dan Kilang Balongan yang akan diremajakan. Dua pasar besar diklaim siap melahap gas impor Pertamina mulai 2019.
Nyatanya, Indonesia tidak pernah kekurangan gas bumi. Pasar domestik hanya sanggup menyerap separuh produksi nasional. Data British Petroleum menyebutkan pada 2021 jumlah konsumsi gas mencapai 37,8 miliar meter kubik, sementara produksinya 59,29 miliar meter kubik. Bahkan, pada 2019, ketika produksi gas nasional turun menjadi 67,58 miliar meter kubik, pasar dalam negeri hanya menyerap 44,04 miliar meter kubik. Itu adalah tahun pertama gas bumi Corpus Christi dikirim ke Pertamina.
Fakta lain: bahkan jika semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dikonversi menjadi berbahan bakar gas bumi dan semua kilang Pertamina menggunakan gas, impor gas alam tetap tak dibutuhkan. Pasar domestik hanya sanggup menyerap dua pertiga produksi gas bumi nasional dan sisanya harus diekspor.
Kekacauan ini merupakan dampak langsung buruknya sistem data jumlah produksi dan kebutuhan dalam negeri gas bumi. Sudah menjadi kebiasaan centang-perenangnya data neraca komoditas menjadi celah bagi pemburu rente untuk mendapatkan cuan besar dari pembelian komoditas alam kepada pihak ketiga.
Baca liputannya:
- Apa Saja Kontrak Impor Gas Pertamina yang Bermasalah
- Kerugian PGN Akibat Membeli Gas Impor Pertamina
Maka alasan impor gas alam makin terlihat akal-akalan belaka. Sejumlah pembangkit listrik batu bara batal dikonversi menjadi berbahan bakar gas. Kilang Cilacap dan Balongan pun tak jadi-jadi direnovasi. Dampaknya, Pertamina kelimpungan menjual kembali gas alam impor yang telanjur dibeli.
Sembari buru-buru merapikan data neraca gas nasional yang selama ini kusut masai, Pertamina perlu memeriksa ulang semua kontrak pembelian gas impor dan menyerahkan temuannya kepada lembaga penegak hukum. Siapa saja yang terbukti melakukan transaksi kongkalikong harus mendapat sanksi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tulah Buruknya Tata Kelola Gas"