Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARA-DARA ayu semampai tampak gemulai membawakan tarian lancang kuning. Di hari lain, ada penari yang meliukkan serampang dua belas atau penyanyi yang melantunkan lagu-lagu khas Melayu. Suguhan kesenian tradisional semacam itulah yang menjadi ciri Riau Televisi (RTV) di Pekanbaru saat membuka siarannya.
Warna khas daerah juga ditampilkan Jawa Timur Televisi (JTV) di Surabaya. Bedanya, JTV meramu kesenian tradisional dengan nuansa metropolis. Hasilnya? Acara kentrung diberi tajuk "kentrung funky", sedangkan ludruk disebut "pasukan humor".
Kedua stasiun televisi milik kelompok Jawa Pos itu memang getol menampilkan muatan lokal dalam siaran mereka. Belakangan, Televisi Papua Network (TPN) di Jayapura ikut meniru pendekatan tersebut.
Warna lokal diperkaya dengan acara-acara talk show, yang biasanya diikuti pejabat pemerintah, politisi, atau pengusaha setempat. Tatkala membahas masalah pedagang kaki lima di Surabaya, misalnya, JTV mengundang kepala satuan polisi pamong praja, kepala polisi, dan wakil rakyat kota buaya itu.
Apakah kiat warna lokal berhasil mendatangkan duit? Ternyata belum berhasil. Pihak JTV mengakui hidupnya belum ditopang iklan. "Pemilik masih harus merogoh kocek Rp 3,5 miliar hingga Rp 4,5 miliar setiap bulannya," kata manajer umumnya, Agus Mustofa. Nasib RTV di Pekanbaru tak lebih baik.
Padahal berbagai cara sudah dilakukan, dari iklan standar hingga reklame dalam bentuk ucapan selamat, dukacita, undangan, dan sejenisnya. RTV bahkan membuka iklan berupa running text yang cuma dikenai pungutan biaya Rp 250 ribu-Rp 400 ribu per bulan. Juga menayangkan siaran tunda sejumlah prosesi acara pelantikan pejabat ataupun politisi yang berbau komersial. Toh, pemasukan tetap seret. Apa sebabnya?
Menurut kalangan pengusaha, mereka enggan beriklan di stasiun TV daerah karena jangkauan siarannya sangat terbatas sehingga penontonnya sedikit. Hal itu dibenarkan M. Anis. Warga Surabaya yang tinggal di Nyamplungan, dekat Masjid Ampel, yang jaraknya cuma 7 kilometer dari Graha Pena (stasiun pemancar JTV), itu mengaku tak bisa menerima siaran JTV. Begitu pula kawasan lain seperti Perak, Ketintang, Kutisari, Kenjeran, dan bilangan utara Surabaya.
Itu tak berbeda dari RTV, yang hanya ditonton oleh warga yang tinggal dalam radius satu kilometer dari menara pemancarnya di Jalan Raya Bangkinang, Pekanbaru. Hal yang sama terjadi pada siaran TPN di Papua.
Di luar keterbatasan daya jangkau siaran, Henry Subiakto, Ketua Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Airlangga, menyebutkan bahwa kurangnya profesionalisme awak televisi daerah ikut membatasi iklan. Ia menunjuk paket acara di JTV yang terkesan masih coba-coba. Program seakan dilempar begitu saja ke pasar. Kalau ada respons dari publik, ya, bagus. Bila tidak? Ya, tinggalkan saja. Tidak ada riset terhadap acara-acara yang ditayangkan, padahal memantau minat dan selera pasar biasa dilakukan oleh stasiun TV besar.
Salah satu acara yang dikritik Henry adalah Kuis Imajikata. Kuis ini dinilainya sangat buruk. "Para peserta dan pembawa acara asyik sendiri, tertawa sendiri, tanpa melibatkan penonton," ujarnya. Demikian pula talk show semacam Healthy Life yang terkesan kaku. Presenter dan narasumbernya tidak meng-hidupkan suasana siaran.
Padahal warna lokal yang ditampilkan TV daerah sebenarnya sudah tepat. Programnya bisa merupakan alternatif bagi siaran TV Jakarta, yang sarat dengan suasana kota besar dan sering mengundang rasa bosan. "Jika publik terus dicekoki sesuatu yang berbau pusat, itu tidak kondusif untuk pembangunan bangsa ke depan," Henry berkomentar.
Namun, agar TV daerah bisa merebut hati masyarakat, mereka perlu berbenah diri. Langkah pertama adalah memperbaiki prasarana, kemudian meningkatkan profesionalisme kerja dan merancang programnya dengan matang. Jika publik suka pada acara televisi tersebut, pemasang iklan pun berdatangan. "Tapi," kata Henry, "jika televisi daerah digarap asal-asalan, jangan harap iklan akan datang." Pihak pengelola TV daerah bukannya tak memikirkan pembenahan itu. Mulai 20 Mei mendatang, RTV akan menggunakan menara pemancar baru setinggi 85 meter yang terletak di Kelurahan Kulim, Pekanbaru. Dengan menara itu diharapkan jangkauan siaran bisa diluaskan dalam radius 1 sampai 1,5 kilometer. JTV pun sibuk membangun menara pemancar baru.
Direktur Utama JTV Imawan Mashuri dan Direktur Utama RTV Rida K. Liamsi juga berupaya meningkatkan profesionalisme awak dan terus berinovasi menjaring iklan. Atas dasar itu, mereka optimistis stasiun televisinya akan mampu bertahan. Setidaknya tak mengikuti nasib stasiun TV Pematangsiantar, Sumatera Utara, yang gulung tikar lantaran sumber dana dan sumber daya manusianya pas-pasan.
Nugroho Dewanto, Sunudyantoro (Surabaya), Jupernalis Samosir (Pekanbaru), Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo