Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gaya Membendung CPO Impor

Pemerintah memasang proteksi cpo impor dengan menaikkan tarif bea masuk. untuk menstabilkan harga cpo lokal. banyak cpo murah di pasar gelap. harga cpo terlalu tinggi, sehingga ada pabrik yang tutup. (eb)

30 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUSEN minyak goreng kini bagai duduk di atas penggorengan. Setelah harga minyak sawit kasar (CPO) lokal melambung jadi Rp 425 per kg, tiba-tiba pemerintah memasang pagar proteksi dengan menaikkan tarif bea masuk CPO impor hingga 90%. Kini praktis harga CPO impor tidak berbeda jauh dari CPO dalam negeri. Palang pintu ini tampaknya perlu didirikan untuk menjaga agar perkebunan kelapa sawit bisa bertahan terus di masa sulit. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Banyak akal ditempuh produsen minyak goreng untuk mendapatkan CPO murah. Misalnya, ketika harga CPO lokal dipatok Rp 425 per kg, sementara untuk ekspor (fob) Belawan hanya Rp 200 per kg, mendadak bermunculan CPO murah di pasar gelap. Fasilitas harga ekspor yang Rp 200 per kg itu sebenarnya bisa dinikmati produsen pemakai minyak sawit kasar, asal sebagian produknya dipasarkan ke luar negeri. Kata Sekjen Departemen Pertanian, Sjarifudin Baharsjah, "Kebijaksanaan tersebut adalah untuk mendorong ekspor hasil komoditi pertanian ke pasaran internasional." Sejauh ini, imbauan tersebut belum kedengaran gaungnya. Sebab, pengusaha yang bergerak di bidang usaha pemanfaatan CPO belum banyak yang menjual produksinya ke luar negeri. Adalah PT Hari Sawit Jaya memprakarsai usaha itu, kendati secara tidak langsung. Perusahaan tersebut memproduksi 75% minyak goreng, sisanya berupa bahan baku pembuat mentega dan sabun. Hari Sawit pukul rata setiap bulan hanya mampu mengolah 3 ribu ton CPO dari kapasitas terpasangnya sebesar 8 ribu ton. Hasil sampingan bahan baku pembuat mentega dan sabun itu dijual ke perusahaan lain yang kemudian diolah kembali sebelum akhirnya dijual ke Jepang dan India. Bagi Harry Doellah, Direktur Hari Sawit, saat ini harga CPO lokal dan ekspor dirasa sangat tinggi. "Kebijaksanaan harga ganda itu, manfaatnya belum kami rasakan secara langsung," katanya. Karena dengan biaya produksi minyak goreng sekitar Rp 60 per kg, sementara ia masih harus menambah biaya angkut sehingga harga CPO jadi Rp 431 per kg, pihaknya tidak bisa berbuat banyak dengan harga minyak goreng di pasaran yang Rp 500 per kg. "Idealnya harga CPO lokal diturunkan jadi Rp 300 per kg," ujar Harry lebih lanjut. Niat pemerintah memasang harga serendah itu, awal tahun lalu, bukan tanpa alasan. Ketika itu, harga CPO di pasaran internasional berkisar dari US$ 375 hingga US$ 400 per ton. Tak pelak lagi, kelapa sawit disanjung sebagai komoditi pertanian paling menguntungkan. Ternyata, pamornya tidak bertahan lama. Perlahan-lahan harganya merosot sampai ke US$ 200 per ton -- sesudah Eropa dan Amerika berlomba menggenjot produksi minyak kacang-kacangan. Memang, kebijaksanaan menaikkan tarif bea masuk dari 20% menjadi 90% itu cukup ampuh untuk membendung membanjirnya CPO Malaysia, yang sudah menjual di bawah Rp 200 per kg. Tapi dalam situasi sulit seperti itu banyak pengusaha yang mencoba bertahan. Lihat saja pabrik minyak goreng Bintang Tenera di Medan. Perusahaan ini setiap bulan mengolah 500 ton CPO menjadi minyak goren. Dari jumlah itu, 300 ton diperoleh dari Kantor Pemasaran Bersama (KPB) Medan dengan harga Rp 425 per kg. Sisanya diambil dari perkebunan swasta atau lewat jalur lain dengan harga miring. Toh ada juga yang mabok. PT Usaha Pembangunan di Medan memilih tutup pabrik. "Sekarang nggak jalan lagi. Dengan harga CPO setinggi itu, minyak goreng tidak bisa dijual," kata Aceng, kepala pergudangan perusahaan itu, dengan waJah muram. Bukan hanya produsen minyak goreng yang kecipratan minyak panas. Perusahaan penghasil sabun pun ikut terpukul. Filma Utama Soap di Surabaya, yang menjual sabun merk Palmolive, pukul rata setiap bulan memerlukan 2.500 ton CPO. Namun yang dipasok oleh PTP hanya 15%. Sisanya, mencari sendiri di pasaran bebas. "Itu sudah menjadi rahasia umum," kata Tito J. Gozali, Purchasing Manager Filma. Yusroni Henridwwanto Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus