GRUP perusahaan Liem Sioe Liong di luar negeri, First Pacific yang bermarkas di Hong Kong, diam-diam terus melebarkan sayapnya. Sayap bisnis perbankannya, First Pacific Holdings (FPH), dalam hari-hari ini sedang merampungkan transaksi pembelian Hong Nin Bank di Hong Kong. Sementara ini, FPH juga sedang mengincar sebuah bank di Filipina dan sebuah di Muangthai. Sedangkan Hibernia Bank di California (AS), yang dibeli oleh FPH pada 1982, awal tahun ini juga telah membeli United Savings Bank (USB) dan tujuh cabang bank Crocker National. Sayap bisnis dagang First Pacific International (FPI) juga, ternyata, tidak tinggal diam. Baru-baru ini, FPI membeli sebuah pabrik kertas dan sebuah pabrik kosmetik di Filipina. Kini, FPI juga tengah mengincar beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang distribusi dan penjualan di Filipina untuk menyalurkan produk pabrik-pabrik tadi. Jauh sebelum ini, FPI telah membeli perusahaan dagang besar Hagemeyer NV yang berpusat di Belanda (1983). Tahun silam, Hagemeyer telah dikawinkan pula dengan perusahaan kelontong raksasa di AS, Sears. Awal tahun ini, FPI juga menjual sebagian sahamnya di pasar modal Amsterdam. Langkah-langkah yang diambil sejak tahun 1985, menurut para eksekutif First Pacific yang diwawancarai majalah Asia Week yang beredar pekan lalu, merupakan strategi baru. "Kerajaan Liem di Indonesia bergerak di berbagai bidang bisnis dengan luar negeri -- impor, ekspor, dan keuangan. Semula diduga semua itu akan disalurkan lewat First Pacific," tutur Manuel Pangilinan, Direktur Pelaksana First Pacific Group. Ternyata, First Pacific yang didirikan di Hong Kong 1981, dengan saham sekitar 60% milik Liem Sioe Liong dan putranya Anthony Salim, Djuhar Sutanto dan putranya, Tedy Djuhar, serta Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono, tidak untuk menampung bonanza Liem dari Indonesia. Ekspor kopi dari Indonesia memang pernah ditangani Hagemeyer, tapi itu dianggap kesalahan manajemen. Tahun 1983 harga kopi jatuh, sehingga Hagemeyer rugi US$ 12,5 juta, sekitar 10% kerugian dari stok kopi asal Indonesia. Menurut Pangilinan, baru sejak 1984 menjadi jelas bahwa langkah-langkah First Pacific harus lepas dari bisnis (Liem) di Indonesia. Sejak 1985, First Pacific menyusun strategi baru, yakni melepaskan perdagangan komoditi dari Indonesia dan memperluas usaha dengan membeli perusahaan-perusahaan baru tadi. Kini perusahaan bergerak di 25 negara dengan kekayaan sekitar US$ 2,7 milyar. Pembelian perusahaan-perusahaan baru itu, agaknya, dilakukan manajemen First Pacific tanpa menunggu resolusi para bos dari Jakarta. Suatu langkah pembelian yang tidak dilakukan serampangan, kendati mencengangkan. Menurut beberapa pengamat di Hong Kong, pembelian dilakukan "bak menggosok permata": Yang dicari bukanlah perusahaan yang sudah kemilau, tapi perusahaan yang umumnya dinilai rendah. Hibernia, misalnya, sedang merugi sewaktu dibeli, tapi setelah dikelola FPH, pada tahun pertama saja sudah untung US$ 4 juta. Hong Nin Bank, yang baru dibeli dengan harga US$ 19 juta, tidak dalam tempo singkat. Sudah sejak 1985 Hong Nin ditawarkan kepada FPH, tapi baru Juli lalu terjadi kesepakatan. Transaksi mungkin baru selesai Oktober depan. Kebijaksanaan First Pacific dewasa ini adalah membuat jaringan federasi bank Asia Pasifik. Strategi ini memberi jalur bisnis otonom mengharuskan pejabat pribumi yang menguasai pasar lokal. "Ini beda dengan model Barat, yang mengharuskan bank cabang menunggu persetujuan pusat sebelum mencairkan kredit," ujar Vicente Tinsay. Selain membeli sejumlah perusahaan baru, First Pacific kini lebih menekankan usaha membantu perekonomian Asia, khususnya di Asia Tenggara. Hagemeyer, misalnya, dulu biasa mendistribusikan barang impor, tapi kini gencar mempromosikan produk ekspor Asia. Sedang FPH bergerak untuk menarik investasi ke ASEAN, antara lain untuk memasarkan saham dari bursa Hong Kong dan Manila.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini