AKUNTAN publik sedang digebrak. Untuk mencegah wajib pajak
bermain-main dengan laporan keuangan perusahaan, kata Menteri
Keuangan Ali Wardhana, pemerintah akan memperberat persyaratan
jadi akuntan publik. "Saya akan bertindak bukan hanya terhadap
perusahaan bersangkutan, tapi juga terhadap akuntan publiknya,"
tambahnya.
Pernyataan keras Menteri Ali Wardhana itu, ang disampaikan
pekan lalu pada Kongres Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Balai
Sidang Senayan, Jakarta, sudah dibuktikan. Belum lama ini telah
mencabut izin kerja akuntan publik Budi Utama. Akuntan yang
disumpah itu dianggap turut mendorong perusahaan PMA Jepang PT
Tobusco melakukan manipulasi pajak hingga merugikan negara Rp
1,1 milyar. Manipulasi Tobusco yang melakukan pemeriksaan
keuangan ganda itu diungkapkan Jaksa Agung Ismail Saleh Maret
silam.
Ali Wardhana berjanji pula akan memecat akuntan negara yang
membuat laporan tidak jelas sekalipun hanya menyangkut dana Rp
50 ribu. Petugas pajaknya pun, katanya, juga akan dihajar jika
ketahuan "begini dan begitu" dalam memeriksa laporan keuangan
akuntan. Sikap keras pemerintah semacam itu memang diperlukan
untuk mengejar sasaran penerimaan pajak Rp 2,4 trilyun pada
tahun anggaran berjalan. Beban di pundak Menteri Ali Wardhana
tampak semakin berat mengingat pajak perseroan minyak, sesudah
ekspor minyak menurun, diperkirakan tak akan mencapai sasaran Rp
9,1 trilyun.
Benarkah akuntan publik bisa memberikan laporan keuangan palsu?
Untuk memperoleh pajak kecil, menurut akuntan publik M. Purba
Sibarani, akuntan bisa saja bermain dengan klien (wajib pajak)
dengan memperbesar pos-pos kerugian, dan memperkecil laba.
Sibarani, partner akuntan publik Drs. Utomo, Mulia & Co.,
Jakarta, misalnya, mengaku pernah ditawari Rp 3 juta asal ia
bersedia membubuhkan tandatangannya. "Tapi saya berpikir uang Rp
3 juta itu bisa menyebabkan reputasi saya hancur," kata
Sibarani, yang juga Kepala Seksi Akuntan Publik IAI.
Akuntan publik I A.M. Simatupa bekas anggota DPR, juga mengemu
kakan pendapat serupa. Jika diselaraskan dengan peraturan
perpajakan, katanya, "akuntan publik bisa melakukan penghapusan
pada sejumlah pos, bahkan mau juga untuk tidak memasukkan
sejumlah transaksi."
Wajib pajak, menurut Nahar Zahiruddin Tanjung, Direktur Utama
Indomilk, toh bisa juga memasukkan unsur penyusutan yang
menyebabkan overhead cost tinggi. Pinjaman barang modal
misalnya, bisa dimasukkan untuk mengecilkan perhitungan
keuntungan "Jika laba perusahaan lebih kecil, besarnya pajak pun
bisa ditekan," ujar Nahar. "Kalau hal tersebut sesuai dengan
peraturan pajak, itu bukan berarti suatu penyelundupan pajak."
Untuk memeriksa neraca Indomilk, Nahar mempercayakan pada
akuntan publik Drs. Pamintori Siregar, partner dari Coopers &
Lybrand. Koreksi yang dilakukan dinas pajak biasanya menyangkut
pos sumbangan perusahaan. Menurut dia, pos sumbangan berarti
pengeluaran atau ongkos yang harus dipikul perusahaan. Tapi,
menurut dinas pajak, sumbangan adalah ongkos yang tidak bisa
dihitung sebagai pengeluaran untuk mengurangi laba. "Itulah yang
boleh dikoreksi dinas pajak," kata Sibarani.
Perbedaan penafsiran juga terjadi di pos pengeluaran resepsi
yang sering kali ditolak kehadirannya oleh dinas pajak dalam
hasil auditing. Dinas pajak, kata Nahar, menuduh wajib pajak
berusaha mengurangi laba untuk pengeluaran tak perlu. "Tapi buat
sebuah perusahaan besar, resepsi di hotel mewah seperti
Borobudur cukup pantas. kan?"
Menurut taksiran T.A.M Simatupang dari 36 ribu perusahaan di
sini, baru sekitar 1.600 saja yang menggunakan jasa akuntan
publik. Dan celakanya, tambah Sibarani, belum ada kewajiban
pajak menggunakan jasa akuntan publik untuk memeriksa neraca
perusahaan. Kalaupun wajib pajak sudah mau menggunakan jasa
akuntan publik, kadang-kadang akuntan dimintanya membuat dua
hasil auditing. Satu untuk bank yang menunjukkan keuntungan
besar guna memperoleh kredit, dan satu lagi ke dinas pajak yang
menunjukkan kerugian guna memperoleh keringanan pajak.
Untuk mencegah terjadinya hasil pemeriksaan berbeda kepada bank
dan dinas pajak itu, menurut UU Rahasia Bank, kata Ali Wardhana,
"Menteri Keuangan berhak mencocokkan kedua laporan itu."
Simatupang khawatir intervensi semacam itu hanya akan
dimanfaatkan "untuk pribadi si oknum" bukan masuk ke kas negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini