Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saat membuka Tanwir I Pemuda Muhammadiyah di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta, Kamis, 21 November 2024, Gibran Rakabuming Raka mewanti-wanti bonus demografi tak datang dua kali. Wakil Presiden berusia 37 tahun itu mengklaim, Presiden Prabowo Subianto telah membuka kesempatan besar bagi anak muda usia produktif untuk berkiprah membangun negeri. Buktinya, kata dia, bisa dilihat di kabinet pemerintahan saat ini. “Saya hitung ada sepuluh anak muda seumuran saya di Kabinet Merah Putih,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lain pejabat, lain rakyatnya. Klaim putra sulung Presiden ke-7 Joko Widodo itu tak serta-merta mewakili kondisi anak muda. Faktanya kini, menapaki usia produktif, banyak anak muda justru menganggur. Misalnya saja, generasi Z (Gen Z), yang lahir antara 1997–2012, kebingungan memperoleh sumber penghasilan setelah menuntaskan pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus 2023, 22,25 persen dari 44,7 juta penduduk usia 15–24 tahun tak sedang sekolah, bekerja, dan mengikuti pelatihan. Artinya, 9,89 juta Gen Z menganggur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak semua Gen Z pontang-panting mencari pekerjaan. Tapi bukan berarti kesejahteraan mereka terjamin. Angka pengangguran, menurut BPS, turun dari 7,14 juta orang pada 2014 menjadi 6,89 juta orang pada 2019. Melonjak hingga 8,74 juta orang setelah pandemi Covid-19 pada 2021, angka itu berangsur-angsur menipis menjadi 7,86 juta orang pada 2023—42,62 persen di antaranya berusia 15-24 tahun.
Dari tenaga kerja yang terserap itu, kebanyakan dari mereka justru terjebak di sektor informal. Per Agustus 2024, BPS mencatat 57,95 persen atau 83,8 juta dari total 144,64 juta penduduk bekerja berada di sektor informal. Yang dimaksud sektor informal termasuk mereka yang berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas (freelancer), dan pekerja keluarga tak dibayar. Tak ada jaminan kesejahteraan bagi pekerja di sektor ini. Sedangkan jumlah pekerja formal sebanyak 42,05 persen atau 60,82 juta orang.
Jejak langkah Gen Z mencari pekerjaan mapan juga dibayangi stigma generasi. Direktur Bina Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) Siti Kustiati mengklaim, perusahaan saat ini sulit mencari tenaga kerja Gen Z yang kompeten. Hal ini mengakibatkan perputaran karyawan (turn over) di perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan Gen Z amat tinggi. Perusahaan, kata dia, merasa terbebani lantaran masih harus mendidik para pekerja Gen Z.
Gen Z juga dianggap bermasalah dalam hal sikap. Siti mengatakan, banyak perusahaan angkat tangan menghadapi masalah sikap Gen Z. Kendati sarat akan ide inovatif dan melek teknologi, banyak anggapan Gen Z sulit untuk beradaptasi di lingkungan baru, bekerja sama dalam tim, dan lancang terhadap atasan. “Sepintar apa pun Anda, ketika sikap Anda jelek, perusahan tidak akan mau,” ujarnya di Kantor Tempo, Kamis, 10 Oktober 2024.
Sawitri, Country Head of Marketing Jobstreet by SEEK Sawitri, tak setuju dengan anggapan ini. Ia mengatakan, sulitnya Gen Z memperoleh pekerjaan merupakan persoalan struktural. Ada kegagalan negara menjamin pendidikan secara memadai untuk menyiapkan Gen Z memasuki ambang dunia kerja. Pasalnya, kebanyakan pelamar kerja yang sulit menembus pasar tenaga kerja adalah lulusan SMA dan SMK. “Ini bukan masalah generasi, melainkan kesenjangan keterampilan (skill gap),” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Ketika anak muda melimpah ruah, pemerintah masih gagap menyulap mereka menjadi sumber daya unggul melalui pendidikan. BPS mencatat pada Agustus 2024, jumlah penduduk bekerja didominasi lulusan SD ke bawah, yakni sejumlah 35,80 persen dari total 144,64 penduduk bekerja. Hanya 10,50 persen penduduk bekerja yang tamat mengenyam bangku pendidikan tinggi.
Tak usah jauh-jauh soal kualitas kurikulum, pemerintah masih memiliki segudang pekerjaan rumah dalam pemerataan pendidikan. Sawitri mengungkap, masih banyak sekolah di pelosok dengan akses jalan payah dan infrastruktur seadanya. Ia juga menemukan ada dari sekolah-sekolah itu yang tak punya buku teks. Di sesama sekolah negeri, kemampuan guru belum merata di sekolah favorit dan tak favorit. Boro-boro membekali peserta didik bahasa Inggris untuk bersaing dengan negara lain.
Dwi Tamara, pegiat Koaksi Indonesia, juga mempersoalkan tak meratanya akses pendidikan. Ketika sektor-sektor pekerjaan baru tumbuh, kualifikasi tenaga kerja justru seolah berjalan di tempat. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka yang mau bekerja di sektor energi terbarukan harus berlayar ke Surabaya untuk memperoleh sertifikat keahlian di kota itu. Pasalnya, di kota asal mereka tak ada. Di Bali, tempat sektor energi terbarukan tumbuh, hanya 2 dari 177 SMK yang punya jurusan energi terbarukan.
Tak meratanya akses pendidikan mengakibatkan Gen Z melahirkan jalan pintas menuju pekerjaan masa depan. Walhasil, banyak dari mereka kini lebih tertarik ke sektor informal atau digital. Rachma Tri Widuri, pengajar Politeknik Tempo, mengakui banyak anak didiknya kini ingin menjadi content creator karena lebih fleksibel dan menjanjikan secara materi. “Dalam sehari live bisa minimal Rp 2 juta sehari,” ujarnya, Kamis, 10 Oktober 2024.
Dari pendidikan yang belum menjamin masa depan, Gen Z dihadapkan dengan pasar tenaga kerja yang terseok-seok. Industri manufaktur yang belum bangkit setelah dihantam badai pemutusan hubungan kerja (PHK) beberapa waktu belakangan mengakibatkan minimnya Gen Z terserap di sektor ini. Sedangkan sektor agrikultur masih tertatih-tatih mengatasi fenomena aging farmer, petani yang kian menua.
Muhammad Andri Perdana, ekonom Bright Institute, mengungkap sektor ekstraktif dan hilirisasi yang selama ini dianakemaskan pemerintah, ternyata hanya menyerap sekitar 5 persen dari tenaga kerja. Padahal, sektor ini paling banyak mendulang investasi. Sedangkan sektor padat karya, yang paling banyak menyerap tenaga kerja, investasinya sangat kecil. “Sangat jomplang perbandingannya,” ujarnya, Jumat, 20 Desember 2024.
Tim Jurnalisme Konstruktif Tempo mengedarkan survei pada 1–7 November 2024 untuk mengetahui alasan Gen Z merasa sulit memperoleh pekerjaan. Dari 53 responden yang menjawab, 81,1 persen di antaranya menilai lowongan pekerjaan saat ini belum mewadahi kebutuhan pencari kerja. Alasannya beragam. Yang paling dominan: kriteria tak masuk akal, terutama batasan usia yang kelewat rendah dengan prasyarat pengalaman berjibun.
Sayangnya, respons pemerintah terhadap persoalan ini tak memadai. Muhammad Faisal, peneliti senior YouthLab, menilai ada tokenisme dalam cara pemerintah memahami persoalan anak muda. Kecenderungan ini misalnya tampak dari cara-cara kantor badan usaha milik negara (BUMN) mengubah bilik-bilik kantor menjadi ruang kerja bersama (coworking space) untuk menarik Gen Z, lengkap dengan bean bag dan rumput sintetis.
Apa jadinya jika kondisi ini berlarut hingga masa bonus demografi usai? Andri mengatakan, paling sedikit jalan menjadi negara maju dengan pertumbuhan ekonomi jumbo akan sulit tercapai. Sebab, bonus demografi seharusnya sejalan dengan lapangan-lapangan pekerjaan baru yang mampu menggerakkan ekonomi. Yang terjadi, sektor manufaktur dibiarkan sunsetdan sektor agrikultur terus susut. Gen Z terpaksa berbondong-bondong bermigrasi ke sektor informal yang minim perlindungan sosial, apa pula penghasilan.
Dalam jangka panjang, kegagalan memanfaatkan bonus demografi akan berdampak kepada generasi selanjutnya yang minim penduduk usia produktif. Walhasil, mereka yang berusia senja akan terus mempertahankan pekerjaan mereka untuk terus mengais penghasilan. Pekerjaan yang mereka lakoni belum mampu mendatangkan kesejahteraan, sedangkan kelas menengah stagnan. “Generasi ini harus berada di kelas menengah mayoritas agar bisa menopang ekonomi setelah negara ini melewati masa bonus demografi,” ujar Andri.
Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.