Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Gugatan di Ujung Jabatan

Marimutu Sinivasan menggugat Laksamana Sukardi dan Syafruddin Temenggung. Rentan terhadap perubahan.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari di ujung masa jabatan ternyata tak mudah bagi Laksamana Sukardi. Setelah Ikatan Alumni ITB dan Universitas Indonesia meminta Kejaksaan Agung mencekalnya, kini giliran bos Grup Texmaco, Marimutu Sinivasan, hendak membawa Menteri Negara BUMN ini ke pengadilan.

Selain Laks, bekas Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, juga dituntut. Dua orang ini, kata Sinivasan, gagal merestrukturisasi utang Texmaco hingga perusahaannya menuju kehancuran. Banyak pesanan dibatalkan karena tak ada duit untuk menggerakkan roda produksi.

Sinivasan mencontohkan gagalnya order truk sebanyak 1.000 unit dari Arab Saudi. Dari pesanan sebanyak itu, hanya bisa dipenuhi 150 unit. Itu pun karena pemesan berbaik hati memberikan uang muka. Pembatalan pesanan dan penangguhan transaksi dagang menyebabkan Texmaco rugi Rp 15 triliun dalam lima tahun ini.

Belum lagi pemutusan hubungan kerja yang terpaksa dilakukan terhadap 20 ribu karyawan. Sekitar 8.000 lagi nasibnya terkatung-katung, saat ini dirumahkan tanpa batas waktu yang jelas. Kalaupun ada unit yang masih jalan, kata Sinivasan, lebih karena upayanya melakukan akrobat keuangan untuk mengatasi seretnya pinjaman bank.

Industri tekstil masih bisa jalan karena pelanggannya di Bandung memberikan uang muka untuk produksi. Sejumlah perusahaan di luar negeri memberikan bahan baku. Texmaco kemudian mengolahnya menjadi barang jadi. "Semua hancur karena Laksamana," kata Sinivasan.

Empat tahun ditangani BPPN, persoalan utang perusahaan tekstil dan alat berat kategori raksasa itu makin rumit. Utang yang sebelum krisis berjumlah Rp 4,5 triliun, membengkak menjadi Rp 29 triliun akibat fluktuasi dolar terhadap rupiah. Di dalamnya sudah termasuk bunga dan denda yang angkanya mencapai 40 persen dari utang pokok.

Restrukturisasi utang disepakati dengan membentuk dua perusahaan baru atau new company (newco), yaitu Bina Prima Perdana untuk tekstil dan PT Jaya Perkasa Engineering untuk mesin berat. Kedua perusahaan induk ini kemudian menerima pengalihan utang dan aset-aset Texmaco. Sebagai gantinya, newco menerbitkan surat utang yang bisa ditukar dengan aset, atau exchangeable bonds, senilai Rp 29,04 triliun.

Bina Prima menerbitkan surat utang senilai Rp 5,28 triliun dan US$ 284,83 juta, sementara Jaya Perkasa menerbitkan surat utang senilai Rp 5,71 triliun dan US $ 1,47 miliar. Seluruh utang itu bisa dicicil selama 11 tahun. Namun restrukturisasi ternyata tak semulus yang direncanakan.

Texmaco dinyatakan gagal membayar utang (default) setelah kupon bunga senilai Rp 139 miliar, yang jatuh tempo 18 Agustus 2003, tak bisa dilunasi. Pemerintah lalu berencana menjual aset Texmaco sebagai penutup utang. Masalah menjadi tak mudah karena terbentur Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang memutuskan aset Texmaco tak bisa dijual tanpa seizin Sinivasan.

BBPN, yang beberapa kali menawarkan Texmaco, gagal mendapatkan pembeli. Para investor yang berminat pun menawar dengan harga sangat rendah. Terakhir, Farallon Capital Asia hanya menawar satu persen atau hanya Rp 290 miliar. Di luar soal pengadilan, Texmaco juga masih punya utang pajak, listrik, dan gas sebesar US$ 52 juta, pinjaman kepada kreditor asing sekitar US$ 1,4 miliar, dan utang kredit perdagangan US$ 89 juta kepada Bank BNI, yang pembayarannya ditalangi BPPN.

Pemerintah akhirnya mengajukan opsi yang cukup berani, dua pekan lalu, yaitu melakukan paksa badan alias kurungan terhadap Sinivasan. Pilihan lain yang tak kalah serunya, karena belum pernah dilakukan dalam sejarah pengembalian utang negara, adalah mengeksekusi jaminan pribadi sang konglomerat.

Sinivasan mengatakan belum pernah diberi tahu ancaman itu. Menurut dia, tidak ada alasan kuat bagi pemerintah memasukkannya ke penjara. Tersendatnya penyelesaian utang Texmaco bukan kesalahannya. "Mereka yang tidak menepati perjanjian yang sudah disepakati," katanya.

Didampingi kuasa hukumnya, Mohammad Assegaf dan Eggi Sujana, Jumat siang pekan lalu Sinivasan mengatakan, petaka berawal ketika kredit Divisi Tekstil Texmaco di BNI dinyatakan macet. Laksamana, yang waktu itu baru dilantik menjadi Menteri Negara BUMN, menurunkan level utang Texmaco dari kategori tiga (ragu-ragu) menjadi lima?alias macet.

Kredit di Divisi Engineering, yang proyeknya masih dalam proses penyelesaian dan belum jatuh tempo, juga dinyatakan bermasalah. Semua utang itu dipindahkan ke BPPN. Waktu itu, kata Sinivasan, dibuat perjanjian bahwa restrukturisasi utang Texmaco akan dilakukan dengan cepat, dan dibantu mencari modal kerja.

Semuanya dengan cita-cita yang sama, yaitu membuat perusahaan hidup kembali. Kenyataannya, empat tahun berjalan, penyelesaian utang tak kunjung selesai. Menurut dia, pemerintah tidak pernah memberikan dana untuk modal kerja. Dan, ujung-ujungnya, Texmaco malah menuju jurang.

Upaya penghancuran itu, menurut Sinivasan, sangat kasat mata. Kepada wartawan di Bali, Laksamana mengingatkan bank pemerintah dan bank yang sudah direkapitalisasi agar hati-hati memberikan kredit kepada Texmaco. Akibatnya, mereka tak hanya membekukan pencairan utang ke Texmaco, tapi juga menghentikan kredit kepada pemasok bahan baku dan pembeli produk perusahaan tersebut.

Laksamana juga dinilai menyiarkan kebohongan dengan mengatakan mesin Texmaco sudah jadi barang rongsokan. Jika dijual, tak akan laku bahkan dengan harga satu sen dolar sekalipun. Menurut Eggi, pernyataan itu bertentangan dengan semangat restrukturisasi di negara mana pun. "Kalau rongsokan, kenapa kami masih bisa ekspor ke Amerika dan Eropa?" kata Sinivasan, dengan wajah tenang.

Syafruddin, yang ikut digugat, dinilai lalai dan diskriminatif terhadap Texmaco. Penyelesaian utang terbengkalai, bahkan terkesan dihambat. Pada masa Ketua BPPN sebelumnya, proses penyelesaian lebih maju dibanding pengutang lainnya. Perjanjian tidak dilaksanakan justru ketika dia memimpin lembaga penyehatan itu.

Ketua tim pemberesan BPPN ini juga dinilai kerap memberikan pernyataan yang merugikan dan merusak citra Sinivasan. Padahal sebelumnya BPPN menyebut Texmaco sebagai obligor yang bisa diajak kerja sama.

Sinivasan tak mengerti kenapa Laksamana begitu getol ingin menghancurkan perusahaannya, yang sejak 1992 sudah berkembang menjadi proyek terpadu. "Saya tidak kenal dia dan tidak punya persoalan pribadi," katanya. Ketika baru dilantik menjadi Menteri Negara BUMN, Laksamana menyiapkan data tentang Texmaco ke Kejaksaan Agung. Karena tidak cukup kuat dijadikan bukti, Kejaksaan Agung kemudian menerbitkan surat penghentian penyidikan pada Mei 2002.

Mantan Ketua BPPN, I Putu Gede Ary Suta, mengatakan restrukturisasi Texmaco memang agak alot. Keputusan sangat lama diambil karena kurangnya kerja sama antara debitor dan BPPN. "Jadi kehilangan momentum," katanya. Pada masa dia menjadi Ketua BPPN, prinsip perjanjian restrukturisasi telah ditandatangani.

Setelah itu, dia tak mengikuti lagi secara mendalam. Namun dia melihat persoalan bertambah runyam karena konfrontasi antara debitor dan kreditor makin runcing. Padahal, salah satu syarat restrukturisasi adalah kerja sama dan komitmen terhadap perjanjian. Baik pemerintah maupun debitor harus menaatinya.

Texmaco, katanya, memang berusaha mendapatkan modal kerja yang konon sudah dijanjikan. Dia tak tahu kenapa kemudian tak jadi dikucurkan. "Restrukturisasi Texmaco terkatung-katung lebih dari empat tahun. Ini pelajaran sangat berharga buat siapa pun," ujarnya.

Laksamana membantah semua yang dituduhkan Sinivasan kepadanya. Melalui pesan singkat, Menteri Negara BUMN itu mempertanyakan dasar hukum yang digunakan Texmaco menggugat dirinya. Menurut dia, tiap bank memiliki risk management yang sangat independen dan tidak bisa didikte.

"Apa dasarnya mereka menuntut saya?" katanya. Tanggapan Syafruddin tak bisa didapat. Sekretarisnya, Silvia, mengatakan bosnya sibuk rapat sepanjang hari. Bisa jadi kasus ini bakal panjang. Sinivasan toh tak bisa menimpakan semua kesalahan kepada pemerintah. Bagaimanapun, ekspansinya yang kelewat berani di sektor rekayasa industri dengan bertumpu pada pinjaman bank membuat bisnisnya rentan terhadap perubahan sekecil apa pun.

Leanika Tanjung, Erwin Dariyanto (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus