Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Fasilitas Tak Jelas Tuntas

Menteri Keuangan Boediono memberi diskon utang bagi pengusaha kecil dan menengah eks BPPN?menjelang habis masa jabatan.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR mengejutkan meluncur dari Lapangan Banteng, pekan lalu. Menteri Keuangan Boediono membuat kebijakan baru bagi debitor usaha kecil dan menengah (UKM) bekas Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional (BPPN) yang belum melunasi utangnya. Intinya, pemerintah akan mengatur penyelesaian utang itu secara damai.

Beleid itu tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 461/KMK.01/2004 tentang prosedur standar kebijakan perdamaian penanganan aset negara beperkara. "Keputusan ini berlaku surut sejak 1 Mei 2004," kata Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan, Maurin Sitorus.

Tak pelak lagi, muncullah kritik tajam DPR. Didik Rachbini dari Fraksi Partai Amanat Nasional menganggap Menteri Keuangan bertindak kurang etis karena membuat keputusan penting di tengah masa transisi menuju pemerintahan baru. Selain itu, sebagian utang UKM ditengarai merupakan kewajiban debitor besar yang dipecah-pecah sehingga jadi kecil.

Pemecahan itu dilakukan agar kredit besar bisa dimasukkan dalam kategori UKM. Kecurigaan lain: utang tersebut bukan digunakan untuk kegiatan produktif, melainkan berbelanja seperti membeli mobil dan rumah mewah.

Bubarnya BPPN setahun lalu memang menyisakan bom waktu bagi pemerintah. Ketika itu Departemen Keuangan menerima limpahan sejumlah aset maupun tagihan yang ternyata beperkara dari sang dokter perbankan. Beberapa debitor mengajukan gugatan ke pengadilan karena menganggap utang itu bukan tanggung jawab mereka.

Tim Pemberesan Aset BPPN yang diketuai Menteri Keuangan langsung meneliti aset-aset itu. Mereka menemukan, bila perkara dilanjutkan ke pengadilan, bisa memakan waktu 10-20 tahun. Itu pun, kata Maurin, "Tak tertutup kemungkinan kita kalah di pengadilan, dan jika pun menang, ketika ditagih, orang yang berutang sudah meninggal."

Berbekal analisis itu, tim kemudian menganjurkan pemerintah menyelesaikan perkara secara damai, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Caranya dengan memberi diskon utang. Cara ini dinilai lebih menguntungkan negara. "Uang negara lebih cepat kembali," ujar Maurin.

Adapun beleid bosnya, menurut Maurin, mengacu pada keputusan presiden (keppres) tentang pembentukan Tim Pemberesan Aset BPPN. Pasal 6 ayat 1c dalam keppres itu memang mengatur tugas kelompok kerja penanganan masalah hukum. Di sana, antara lain, tertera soal penyelesaian utang melalui jalan damai.

Landasan beleid Boediono makin kuat karena, sesuai dengan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan diberi wewenang menghapus utang sampai dengan Rp 10 miliar. "Kalau di atas Rp 100 miliar, harus dengan persetujuan DPR," kata Maurin. Hanya, ya itu tadi, masa jabatan Boediono berakhir pekan ini.

Para pengutang yang ingin menempuh jalan damai harus lebih dulu meneken perjanjian kesepakatan perdamaian. Untuk memikat para debitor itu, mereka ditawari potongan utang. Bila mampu membayar dalam waktu tiga bulan, debitor kredit produktif maupun konsumtif dengan nilai di bawah Rp 5 miliar diberi diskon utang pokok 50 persen serta diskon bunga dan denda 100 persen.

Untuk penyelesaian di atas tiga sampai lima bulan, atau berakhirnya masa tugas tim pemberesan BPPN, debitor akan mendapat diskon 40 persen dari utang pokok serta diskon bunga dan denda 100 persen.

Debitor dengan utang pokok di atas Rp 5 miliar, atau US$ 581.390, bila mampu membayar dalam waktu tiga bulan, akan mendapat diskon utang pokok 35 persen serta diskon bunga dan denda 100 persen. Bila mereka menyelesaikan utangnya dalam tempo tiga hingga lima bulan, diskon utang pokoknya menjadi 25 persen, sedangkan diskon bunga dan denda tetap 100 persen.

Mengenai utang pokok di atas Rp 10 miliar, menurut Maurin, akan diatur kemudian. Namun, Menteri Keuangan Boediono secara tegas mengatakan, "Di atas Rp 10 miliar, kami tak akan memberikan diskon." Sejauh ini, kata Maurin, sudah 30 UKM yang akan diusulkan menerima diskon utang senilai Rp 52,9 miliar dan US$ 4,6 juta. Nilai itu terdiri dari utang pokok, bunga, dan denda.

Boediono berkilah, pemberian potongan utang itu, selain untuk memudahkan penyelesaian aset yang kini ditangani Tim Pemberesan, juga untuk menghindari susutnya nilai aset. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tak baik juga pada asetnya sendiri," katanya. Penanganan kredit UKM ini diharapkan bisa tuntas sebelum masa tugas Tim Pemberesan berakhir pada Januari 2005.

Kalaupun nanti urusan tak selesai, penanganannya akan diteruskan ke unit-unit organik di Departemen Keuangan, misalnya Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, atau Biro Hukum. "Kita upayakan dulu dalam masa ini bisa kita selesaikan," ujar Boediono.

Untuk menghindari penyalahgunaan, Boediono berjanji mencarikan mekanisme yang aman dalam pemberian diskon utang UKM tersebut. "Supaya jangan timbul moral hazard," ujarnya. Setelah urusan utangnya beres, Boediono berharap UKM akan kembali memiliki ruang gerak ke perbankan, sehingga akhirnya sektor riil bisa bergerak kembali.

Bagi perekonomian nasional, peran UKM memang tak bisa dipandang sebelah mata. UKM dikenal sebagai sektor usaha yang tahan banting menghadapi krisis ekonomi 1998. Survei yang dilakukan Kementerian Negara Koperasi dan UKM kala itu terhadap 225 ribu UKM menunjukkan, hanya empat persen yang terpaksa menghentikan usaha. Sisanya, satu persen malah berkembang, 64 persen mampu mempertahankan omzetnya, dan 31 persen hanya berkurang penjualannya.

Tiga tahun kemudian, survei Bank Pembangunan Asia terhadap 500 UKM di Medan dan Semarang menunjukkan, 78 persen dari mereka sama sekali tak terkena dampak krisis ekonomi.

Kelebihan UKM lainnya adalah kemampuannya yang luar biasa dalam menyerap tenaga kerja. Setiap tahun UKM diperkirakan bisa menyerap 4,1 persen stok tenaga kerja. Saat ini UKM diperkirakan telah menyerap 79 juta pekerja. Besarnya kemampuan menyerap tenaga kerja jelas sangat membantu upaya mengatasi kemiskinan, yang kini membelit 37,5 juta orang.

Apa mau dikata, kebijakan Boediono tetap mengundang kritik. Pokok soalnya terkait dengan transparansi UKM yang menerima fasilitas sedap itu. Eko Santoso Budianto, bekas Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Kredit, mempertanyakan pemberian potongan utang UKM hingga Rp 10 miliar. Soalnya, ketika ia masih di BPPN saja, jumlah utang UKM yang boleh mendapat diskon maksimal hanya Rp 5 miliar. "Zaman itu kan tak banyak bank yang menyalurkan kredit ke UKM," ujarnya. Eko juga menggariskan kebijakan, debitor kredit pemilikan rumah (KPR), dan kartu kredit tak bisa dimasukkan dalam kategori UKM.

Ekonom Dradjad Wibowo saat itu pernah mempertanyakan penetapan kriteria kredit UKM yang mencapai Rp 5 miliar. Dradjad berpendapat, bila mengikuti patokan Badan Pusat Statistik (BPS), sebuah usaha tergolong kategori UKM bila asetnya mencapai Rp 1 miliar. Nah, perusahaan dengan aset sebesar itu paling banter hanya memiliki utang Rp 400 juta.

Ketakjelasan definisi UKM warisan BPPN inilah yang membuat Dradjad?sekarang anggota DPR?menolak beleid Boediono. Rekan Dradjad, Didik Rachbini, malah menantang Boediono: bila memang tak ada yang disembunyikan dalam pemberian fasilitas itu, maka daf-tar para penerima sebaiknya diumumkan kepada publik. "DPR nanti akan minta daftar itu," ujarnya.

Menanggapi kekhawatiran itu, Maurin menyatakan, kredit UKM yang ditangani tim pemberesan merupakan kredit yang sedang beperkara di pengadilan. "Saya jamin bukan utang debitor besar yang dipecah-pecah," katanya. Anehnya, Maurin menolak usul supaya membuka saja identitas kreditor yang mendapat fasilitas diskon utang itu. Ia beralasan hal itu terkait dengan nama baik UKM yang bersangkutan. "Tak etis kalau diumumkan," ujarnya.

Boediono sendiri mengisyaratkan keberatan atas keinginan DPR mencampuri urusan penerima diskon utang UKM. "Ini kan aspek eksekutif. Jadi, aturan umumnya saja dilihat," katanya. "Nanti kalau ada penyelewengan, ya tentunya akan ada semacam audit." Soalnya adalah, selama ini audit sering cuma menghamburkan biaya, sedangkan hasilnya tak pernah maksimal.

Nugroho Dewanto, Bagja Hidayat, S.S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus