Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Fujian Datangnya Harga

Disuntik insentif dan dijual obral, lapangan gas Tangguh tak juga mencapai target. Terendah di Asia Pasifik.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JARAK bisa tak berarti dalam urusan jual-beli gas. Tengoklah penjualan gas BP West Java ke pembangkit listrik Muara Karang di Jakarta Utara. Dengan jarak tak lebih dari 150 kilometer, PLN mesti membayar US$ 2,65 per kaki kubik (mmbtu) gas yang diproduksi BP West Java di Subang, Jawa Barat.

Tapi pembangkit listrik di Fujian, Cina, hanya membayar US$ 2,4 per mmbtu untuk gas yang dijual BP Indonesia dari Lapangan Gas Tangguh di Sorong, Papua. Bahkan, jika dibandingkan dengan Jepang, yang membeli gas dengan harga US$ 3,5 per mmbtu pada tahun 2000, lapangan gas Tangguh di Papua bak supermarket yang sedang mengobral barang menjelang Lebaran.

Perbedaan harga itulah yang dipertanyakan banyak pihak. "Rendahnya harga jual ke Fujian berbuntut panjang pada kontrak-kontrak berikutnya," kata Kurtubi, pengamat perminyakan yang juga pejabat Pertamina. Akibatnya, Indonesia sulit bergerak ketika bernegosiasi dengan para calon pembeli gas dari lapangan Tangguh, karena acuannya adalah harga Fujian.

Seorang pejabat SK Corp. (Korea Selatan), seperti dikutip AFP, mengakui harga gas Tangguh ke Korea Power adalah yang terendah di Asia Pasifik. Setelah Fujian, BP Indonesia menjual gasnya ke SK Corporation dan Posco, keduanya dari Korea Selatan, dan belum lama ini meneken kontrak dengan Sempra Energy, Amerika Serikat.

Kini BP Indonesia sedang bernegosiasi dengan Japan Power untuk kontrak pembelian 600 ribu ton. Total jenderal, sampai kini BP Migas sudah menjual 7,4 juta ton per tahun. Di luar Sempra, nilai kontrak BP Migas dengan para pembeli gas dari Lapangan Tangguh mencapai US$ 12,5 miliar (sekitar Rp 112,5 triliun).

Daftar pertanyaan kian panjang ketika BP Indonesia mengajukan rencana menaikkan kapasitas produksinya menjadi 8 juta ton per tahun, atau naik satu juta ton dari target sebelumnya. Pemerintah, melalui Badan Pelaksana Migas (BP Migas), sudah menyetujui rencana itu.

Mantan Direktur Manajemen Production Sharing Pertamina, Effendi Situmorang, mengatakan penambahan produksi itu menunjukkan BP Indonesia tidak dapat memenuhi target keekonomian (economies of scale) awal. "Salah perhitungan karena harga jual rendah," katanya.

Akibat rendahnya harga jual, pendanaan proyek Tangguh jadi keteteran, dan dengan target tujuh juta ton, BP Indonesia sulit mencapai target penerimaan. Ditambah lagi produksi pertama mundur ke tahun 2008, padahal mereka sudah harus mengapalkan gas ke Posco tahun depan.

Karena itulah BP Indonesia kemudian menaikkan target produksi menjadi delapan juta ton. Pada angka itulah skala keekonomian Tangguh bisa tercapai. Tapi itu saja belum cukup. "Mereka lalu mencari pihak lain untuk menanggung bunga pembiayaan," kata Kurtubi. Siapa lagi kalau bukan pemerintah Indonesia.

Pekan lalu, pemerintah turun tangan dengan memberikan insentif interest rate cost recovery (ICR), yang besarnya setara dengan LIBOR (suku bunga antarbank di London) plus nol persen. Insentif tersebut biasanya diberikan pada awal eksplorasi, ketika jumlah cadangannya belum jelas benar. Bila sudah masuk dalam tahap komersial seperti Tangguh, fasilitas itu dicabut.

Seorang sumber Tempo mengungkapkan, sebelumnya pengelola Tangguh pernah mendapat insentif ICR flat 9 persen tanpa mempedulikan tingkat bunga LIBOR dan SIBOR (Singapura), tapi belakangan insentif itu dicabut karena dinilai terlalu besar. Kepala BP Migas, Rachmat Sudibyo, juga mengakui adanya hambatan penjualan LNG Tangguh sebagai alasan memberikan insentif.

BP Indonesia sendiri berkali-kali mengatakan, harga yang rendah disebabkan lubernya produsen LNG, sehingga pasar dikendalikan pembeli (buyer market). Benarkah demikian? "Buktinya Indonesia kesulitan membeli gas untuk Aceh," kata Kurtubi. Kelangkaan itu terbukti tidak bisa ditutupi pemerintah, dan akibatnya pabrik pupuk Asean Aceh Fertilizer terpaksa ditutup.

Berbagai data juga menunjukkan, Tangguh seharusnya tidak menyerah pada tekanan pembeli. Menurut laporan Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang tahun 2003, permintaan LNG di pasar Asia minimal tumbuh 3,4-6,5 persen per tahun selama periode 2002-2015, dengan volume pada 2010 mencapai 102 juta ton per tahun.

Dalam kurun waktu yang hampir sama, lembaga Energy Information Administration (EIA) Amerika memperkirakan pada 2010 negara itu akan mengimpor 44 juta ton gas alam per tahun, atau naik lebih dari empat kali dari tahun lalu. Karena itulah, kata ekonom Jeffrey Brown dari FACTS Inc., Hawaii, harga LNG di Asia akan segera mendekati US$ 4-4,5 per mmbtu.

Menurut dia, harga gas alam yang rendah tinggal sejarah. Namun, bagi Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Padahal, seharusnya Indonesia bisa memetik keuntungan dari naiknya harga minyak mentah di pasar internasional. Formula harga gas yang galib berlaku biasanya memperhitungkan naik-turunnya harga minyak (lihat Formula di Belakang Nol Koma).

Nah, untuk gas ke Fujian, Indonesia justru menempuh jalan tak lazim. Bukannya mengikuti fluktuasi harga minyak, penjualan gas ke Fujian justru memakai pola harga minyak yang dipatok maksimal US$ 25 per barel. Juru bicara BP Indonesia, Jakob Kastanja, menolak menjelaskan langkah-langkah perusahaannya.

Di masa lalu, ketika Pertamina menjual gas dari lapangan yang dimilikinya, formula yang dipakai ke Fujian juga tidak dikenal. Bekas ketua tim penjualan LNG Pertamina, Baharuddin, mengatakan dulu Pertamina memakai harga patokan minyak mentah ketika menawarkan gas. "Kita mengikuti harga minyak mentah di pasaran," kata Baharuddin.

Ketika harga minyak mentah di pasar internasional bergerak gila-gilaan belakangan ini, Indonesia hanya bisa gigit jari. Bayangkan saja, harga minyak di pasar dunia kini sudah di atas US$ 50. Harga ini diperkirakan bertahan hingga tahun depan. Indonesia sendiri menetapkan harga minyak rata-rata sepanjang tahun ini US$ 36 per barel.

Menurut Kurtubi, permintaan gas akan meningkat, sehingga pasokan akan makin ketat. Kesimpulannya, "Harga harus direvisi." Hanya, tak mudah memenuhi permintaan Kurtubi. Kontrak jual-beli sudah diteken. Kalau mau memperbaruinya, paling-paling baru bisa dilakukan 15-20 tahun lagi, ketika kontrak pertama habis.

I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus