Siapa yang akan dilucuti hingga tinggal kolornya? Kalau dilihat dari jumlah utang dan prospek proyeknya, pengusaha Hutomo Mandala Putra Soeharto punya peluang terbesar untuk digasak hingga harta pribadinya ludes.
Apa boleh buat. Menurut daftar yang diterima TEMPO, pengusaha yang tenar dengan nama Tommy Soeharto itu menimbun utang macet triliunan rupiah di sejumlah bank pemerintah. Celakanya, hanya sedikit dari proyek-proyek itu yang kini masih jalan dan beroperasi.
Lihat misalnya Timor Putra Nasional. Perusahaan pemegang proyek mobil nasional itu sudah mencairkan utang senilai US$ 400 juta atau sekitar Rp 3,4 triliun. Tapi, hingga kini proyeknya belum kelar. Lebih rumit lagi, Timor juga punya tunggakan pajak senilai Rp 3,1 triliun.
Untuk menyelesaikannya, BPPN bisa-bisa harus berebut dengan Direktorat Jenderal Pajak. Namun, menurut seorang pejabat BPPN, persoalan itu untuk sementara bisa beres berkat keputusan sela pengadilan yang menetapkan urusan pajak akan diselesaikan belakangan.
Tapi, katanya, kalau tak ada investor yang mau membeli dan prospeknya tak terlalu bagus, "Ya, kita hajar saja," katanya. "Kalau harus dipailitkan, kenapa tidak?" Nah, jika jalan ini yang ditempuh, Tommy bisa kalang kabut. Soalnya, likuidasi "rongsokan" pabrik Timor di Cikampek paling banter cuma akan menghasilkan Rp 600 miliar. Dari mana Tommy akan menombok sekitar Rp 2,5 triliun lagi?
Padahal, selain di Timor, Tommy juga menanggung utang macet atas nama Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Badan yang maunya mengatur pasokan cengkeh ini sudah dibubarkan pada 30 Juni 1998. Lembaga itu, menurut seorang pejabat BPPN, masih punya utang Rp 900 miliar ke Bank Exim.
Tapi, menurut salah satu bekas pejabat tinggi BPPC, utang BPPC ke bank pemerintah hanya berupa kredit likuiditas Bank Indonesia. Jumlahnya Rp 759 miliar dan sudah dibayar lunas pada awal 1994. "Mungkin saja Tommy pinjam ke Exim mengatasnamakan BPPC," katanya. Kalau itu benar terjadi, posisi Tommy bisa lebih repot lagi. Soalnya, ini berarti Tommy sudah melakukan tindakan kriminal perbankan.
Dibandingkan dengan Tommy, nasib Bambang Trihatmodjo bisa dibilang lumayan. Kakak kandung Tommy ini memang tercatat sebagai penunggak utang macet terbesar. Bersama Prajogo Pangestu, Bambang menunggak US$ 2,7 miliar di sejumlah bank BUMN untuk membiayai megaproyek petrokimia di Chandra Asri Petrochemical Center. Dengan utang tunggal ini saja, duet Bambang-Prajogo sudah memimpin daftar penunggak utang bank BUMN di tempat teratas.
Bukan itu saja. Bambang juga punya tunggakan utang yang lain. Bersama kelompoknya, Kresna Group (Bambang Yoga Sugama, Wisnu Wardhana), Bambang juga menunggak utang hampir Rp 900 miliar untuk proyek tekstil Apac Inti Corpora.
Tapi, berbeda dengan proyek Tommy yang macet, perusahaan Bambang tetap beroperasi. Apac Centertex, misalnya. Sepanjang 1998, perusahaan tekstil terpadu ini masih bisa meraih penjualan Rp 1,8 triliun, naik satu setengah kali dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di atas kertas, perusahaan ini tak kesulitan membayar cicilan bunga.
Namun, menurut seorang bankir pemerintah, perusahaan ini sering tak mau membayar cicilan bunga. Padahal, utang Apac sudah direstrukturisasi ketika perusahaan ini membeli Apac Inti Corpora?perusahaan yang mengambil alih aset dan kewajiban Kanindotex?empat tahun lalu.
Untuk mengakuisisi Kanindotex, Apac Inti mendapatkan suntikan dana dari BBD dan Bapindo senilai Rp 539 miliar. Sekitar Rp 170 miliar merupakan dana tunai segar. Sisanya merupakan penjadwalan kembali utang Kanindo kepada dua bank itu.
Sebenarnya, Apac sangat diuntungkan karena utang itu akan dibayar dalam jangka delapan tahun dengan bunga sangat rendah, cuma 6 persen. Itu pun dicicil dalam dua bagian: yang harus dibayar segera cukup bunga 2 persen saja. Sisanya, 4 persen, ditangguhkan.
Namun, Dirut Apac Benny Sutrisno membantah perusahaannya tak bayar utang. Benny juga membantah tarif bunga 6 persen itu. "Kita dikenai bunga 45 persen. Itu sebabnya kita sedang meminta restrukturisasi," katanya. Bantahan Benny ini ditangkis balik oleh seorang pejabat BPPN. Menurut dia, utang Apac memang macet total. "Terserah saja kalau ia bilang lancar. Yang jelas, kita tahunya macet," katanya tegas.
Chandra Asri, walaupun tersengal-sengal, juga masih bisa muter. Meskipun mesin-mesinnya berputar cuma 60 persen dari kapasitas produksi maksimal, industri kimia terpadu ini masih mampu memasok kebutuhan bahan baku sejumlah industri plastik di dalam negeri.
Sejak beroperasi komersial pada April 1995 hingga akhir tahun lalu, Chandra Asri sudah rugi US$ 475 juta. Besarnya kerugian itu, menurut Mohammad Syahrial dari Pentasena Securities, disebabkan karena beban bunga Chandra Asri begitu tinggi. Ini gara-gara sebagian besar pinjamannya dalam bentuk dolar maupun yen. Tapi, "Secara operasional," katanya, "Chandra Asri masih bisa jalan dan mencetak untung." Dalam jangka panjang, prospek industri petrokimia juga cerah karena pasarnya masih bagus.
Dengan kondisi Apac Centertex dan Chandra Asri yang terlalu parah, nasib Bambang Tri (kendati jumlah utangnya lebih besar) tampaknya lebih baik ketimbang Tommy. Apalagi, pemerintah sedang menimbang kemungkinan menggabungkan Chandra Asri dengan dua industri petrokimia antara, yakni Petrokimia Nusantara Interindo (Peni) dan Tri Polyta Indonesia.
Peluang ke arah itu bukan tak ada. Sebagian besar saham Tri Polyta dimiliki oleh para pemilik Chandra Asri. Sementara itu, pemegang saham Peni, yakni BP Chemical, merupakan anak perusahaan BP Amoco yang kabarnya berminat berat untuk membeli saham Chandra Asri.
Selain Tommy dan Bambang, pengusaha yang juga akan kerepotan dengan tagihan utang bank pemerintah adalah Hashim Djojohadikusumo. Menurut catatan TEMPO, Hashim mencairkan utang Rp 500 miliar untuk Trans Pacific Petrochemical Indotama. Proyek raksasa di Tuban ini baru setengah jadi dan kini macet total.
Dalam penjelasannya kepada Ahmad Fuadi dari TEMPO, Hashim mengaku sedang membicarakan utang itu bersama BPPN. Namun, ia menolak menjelaskan bagaimana perkembangan negosiasi antara kedua belah pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini