Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tuan Amerika atau Londo di Niaga

Pemilik Bank Niaga tak sanggup menyetor modal. Bank papan atas ini akan segera jatuh ke pemodal asing. Tak apa, asal lebih bisa dipercaya.

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Bank Indonesia, main-main atau serius tampaknya sulit dibedakan lagi. Lihat saja program penyuntikan modal bank yang biasa disebut sebagai rekapitalisasi itu. Proyek besar yang disiapkan oleh puluhan konsultan asing dengan biaya ratusan triliun rupiah itu ternyata mesti mencang-mencong ke sana-kemari, untuk meladeni sejumlah kepentingan. Contoh yang paling baru adalah Bank Niaga. Pemilik bank papan atas ini ternyata tak sanggup menyuntikkan tambahan modal. Padahal, seperti disepakati sebelumnya, para juragan Niaga ini telah berjanji akan menginjeksikan tambahan kapital Rp 740 miliar dari Rp 3,7 triliun yang diperlukan Niaga. Tapi ternyata, hingga tenggat 21 April lewat, mereka tak pernah memenuhi kewajiban. Akibatnya, seluruh beban penyuntikan modalnya kini jadi tanggungan negara. Istilahnya kemudian, Niaga diambil oper pemerintah. Posisi Niaga saat ini sama persis dengan bank-bank swasta lain yang sudah di-take over pemerintah, seperti Bank Duta, Bank Nusa Nasional (BNN), Bank Risjad Salim, atau Bank Pos. Kasus ''pemogokan" para pemilik Niaga mestinya sudah bisa diendus sejak awal. Jauh sebelum program rekapitalisasi berlangsung, para pemilik bank papan atas ini terlihat ogah menyetor modal tambahan. Rashid Hussain Berhad (RHB), misalnya. Perusahaan keuangan Malaysia yang menguasai 20 persen saham Niaga ini sejak lebih dari setahun lalu telah berusaha menjual saham Niaga miliknya. Sayang, tak ada yang tertarik. Para pemegang saham lain hingga saat-saat terakhir juga masih pikir-pikir. Auric Pacific, misalnya. Perusahaan Singapura yang sebagian sahamnya dikuasai Lippo ini, hingga menjelang pengumuman seleksi rekapitalisasi, belum bisa memastikan apakah akan setor modal atau tidak. Pemegang saham lain, seperti Hashim Djojohadikusumo dan keluarga Julius Tahija, tak pernah diketahui bagaimana komitmennya. Namun, ketika pemerintah meloloskan Niaga dari seleksi rekapitalisasi, publik serta-merta percaya: Niaga pasti beres. Apalagi di layar televisi telihat jelas para juragan Niaga bersama-sama pemilik delapan bank lain ikut meneken kesepakatan penyuntikan modal. Masyarakat makin yakin, para pemilik yang semula ragu-ragu itu pasti sanggup menyetor Rp 740 miliar. Atau, jika tidak, ada investor lain yang bakal masuk menggantikan para pemilik lama ini. Ternyata janji tinggal janji. Para pemilik lama dan calon investor yang sudah mulai melirik-lirik, kabarnya, ngeper melihat isi perut Niaga yang tak sebersih dulu. Kewajiban bank yang dari dulu terkenal konservatif ini agak mengkhawatirkan. Selain ada kewajiban pinjaman antarbank hampir Rp 1 triliun (10 persen dari dana pihak ketiga), Niaga juga punya utang ke Bank Indonesia senilai Rp 700 miliar lebih. Kewajiban yang sebagian besar berupa bantuan likuiditas ini, beban bunganya bisa dua kali lipat suku bunga antarbank. Ini semua tentu saja akan menohok peruntungan Niaga di masa depan. Betul, pembelotan ini tak akan menimbulkan soal besar. Pemerintah, yang ketiban tambahan kewajiban finansial Rp 740 miliar, agaknya juga tak menggangap berat soal ini. Gampang saja. Dengan menutup seluruh beban injeksi modal Niaga, pemerintah kini menguasai 100 persen saham bank beraset Rp 12 triliun ini. Kelak, toh, kepemilikan ini bisa saja dijual dan menghasilkan duit. Namun, dari sudut pandang kepercayaan publik, ketidakpastian ini bisa amat mengganggu. Lebih dari itu, sikap para pemilik yang semaunya tak setor modal, meski sudah menyatakan kesanggupan, bisa dinilai sebagai potret kesembronoan program rekapitalisasi. Apakah kesanggupan para pemilik bank memang benar-benar diteliti saat itu? Atau sekadar dikira-kira? Dengan kejadian ini, sedikitnya publik bisa kembali lagi bertanya-tanya: lo, kalau para juragan Niaga bisa gampang bilang ciao, apakah ada jaminan pemilik bank-bank lain akan menepati janjinya? Apakah ada jaminan rekapitalisasi ini meningkatkan kepercayaan publik terhadap perbankan? Rekapitalisasi bank sebenarnya sudah ditetapkan dengan pola-pola yang baku. Untuk memenuhi persyaratan modal minimal, perbankan yang lagi tersapu badai krisis diwajibkan menambah kapital. Para pemilik bank harus menyetor seperlima dari kebutuhan modal itu, sisanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Sebenarnya, setoran modal pemerintah ini bukan dalam bentuk tunai, yang bebas digunakan untuk apa saja. Setoran modal ini diikat. Caranya, dengan mewajibkan bank membelanjakan seluruh setoran modal pemerintah dengan membeli obligasi yang diterbitkan pemerintah. Singkat kata, pemerintah bukan menyuntikkan duit, tapi surat utang. Jadi, bank-bank ini hanya akan menikmati bantuan modal itu dalam bentuk bunga obligasi. Jika kepepet, bank-bank ini boleh saja menguangkan surat utang ini, tapi hanya sampai batas yang ditetapkan. Nah, khusus bagi Niaga atau bank lain yang di-take over, pemerintah tak hanya menginjeksikan surat utang. Pemerintah, sebagai pemegang saham tunggal, juga harus menyuntikkan setoran tunai, minimum 20 persen dari kebutuhan modal. Dengan kata lain, untuk Bank Niaga, pemerintah harus menyetor kontan Rp 740 miliar, selain surat utang senilai Rp 3 triliun. Apa boleh buat. Pemerintah tampaknya tak punya pilihan lain. Bank dengan 75 kantor cabang ini punya basis nasabah yang tangguh. Hampir setengah juta rekening ada di Niaga. Dan yang paling penting, masa depannya bisa diandalkan. Menurut proyeksi, Niaga bisa beroperasi menguntungkan dengan tingkat pengembalian modal 25,3 persen. Selain itu, bank yang semula dikuasai Keluarga Julius Tahija ini terkenal memiliki barisan manajemen yang tangguh. Dan di atas semua itu, Niaga punya citra, brand name yang terjaga baik. ''Bank ini bagus, mengapa harus ditutup? Bodoh sekali," kata Subarjo. Dibandingkan dengan tujuh bank lain yang juga diambil alih pemerintah, Bank Niaga memang lebih punya nilai jual. Kalau Bank Duta (milik keluarga Soeharto), BNN (milik Bakrie), Bank Jaya (milik Ciputra), atau Bank Risjad Salim diselamatkan, mengapa Niaga tidak? Apalagi, meskipun kualitas aset dan posisi kewajibannya tak segemilang dulu, sejumlah lembaga keuangan asing diketahui naksir berat kepada Niaga. Menurut Subarjo, setidaknya ada dua raksasa keuangan, yaitu GE Capital (Amerika) dan ABN AMRO (Belanda) yang sudah mulai melirik-lirik Niaga. Setelah gagal meminang Bank Bali (yang akhirnya ''dikawin" Standard Chartered), kedua perusahaan ini langsung berpaling ke Niaga. Melihat besarnya animo investor asing, keengganan para pemilik saham Niaga menyetor tambahan modal sebenarnya bisa dipertanyakan. Apalagi, begitu Niaga 100 persen diambil alih pemerintah, peran dan hak-hak mereka langsung terbabat habis. Memang betul, mereka masih bisa comeback dengan memborong saham baru yang diterbitkan Niaga dalam rangka penambahan modal, kelak. Cuma, para pemilik lama tak lagi dinomorsatukan. Sebagai pemegang saham lama, semula mereka memperoleh opsi pertama untuk menginjeksi Niaga. Tapi kini, setelah 100 persen saham berada di tangan pemerintah, Rashid Hussain, Lippo, Tahija, dan Hashim dalam posisi sejajar dan harus bersaing ketat dengan para pemodal Londo alias bule itu jika ingin merebut kembali Niaga. Mampukah mereka? Entahlah. Bagi konsumen, sebenarnya tak penting siapa yang akan menjadi juragan bank. Asal, mereka mampu mengelola sebuah bank sesuai dengan prinsip kehati-hatian, keamanan. Pendek kata, asal bisa menjaga kepercayaan publik. Kalau tidak, ngapain lagi ngurusin bank? M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Ardi Bramantyo, dan Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus