Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggasak Pengemplang Sampai Kolornya

Pengemplang kredit bank pemerintah mulai menyusun rencana pelunasan utang. Mereka akan dikejar sampai ke harta pribadinya.

19 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG Anggana Danamon seperti jadi markas para miliuner. Dalam dua pekan terakhir ini, puluhan konglomerat? yang sejak krisis ekonomi jarang menampakkan diri?datang silih berganti memasuki gedung tinggi di Jalan Sudirman, Jakarta, itu. Tak percaya? Datanglah ke Kantor Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di lantai 30 gedung itu. Dan jangan kaget kalau suatu kali Anda akan berpapasan dengan Prajogo Pangestu, penguasa industri kayu terbesar Indonesia, PT Barito Pacific Timber, yang belakangan ini jarang muncul di depan umum. Jangan terkejut pula kalau suatu kali Anda bertemu muka dengan Sudwikatmono, atau Ibrahim Risjad. Penampilan dua nama penting dari Grup Salim ini di depan khalayak juga merupakan pemandangan langka. Atau, kalau mujur, Anda bisa kepergok Bambang Trihatmodjo. Anak ketiga bekas presiden Soeharto ini belakangan dikabarkan lebih banyak tinggal di Boston (Amerika Serikat) ketimbang di Jakarta. Ada apa? Apakah para konglomerat ini pindah kantor? Atau, mereka akan membentuk usaha baru? Dua-duanya bukan. Kedatangan pengusaha papan atas ini berkaitan dengan utang mereka di bank-bank BUMN. Sejak awal April lalu, kredit macet di tujuh bank pemerintah telah diserahkan ke BPPN. Dan sejak itulah, para penerima pinjaman ini hilir mudik mengurus kewajiban mereka yang tak terbayar itu. Statistik utang macet (tak membayar cicilan lebih dari sembilan bulan) di bank-bank pemerintah memang menghebohkan. Bayangkan saja, dari sekitar Rp 300 triliun kredit yang disalurkan bank-bank pemerintah, ada Rp 100 triliun lebih yang kini macet total. Apakah sisanya berarti lancar? Tidak juga. Sebagian besar dari Rp 200 triliun sisanya berada dalam kelompok kredit yang kurang lancar (tak bayar cicilan tiga bulan), atau malah diragukan (nunggak enam bulan). Pada saatnya nanti, karena krisis tak akan berakhir dalam waktu dekat, kredit-kredit bermasalah itu juga akan menjadi macet total. Bukan cuma itu. Kehebohan kredit macet di bank pemerintah tak cuma karena besarnya yang segede gajah bengkak, tapi juga lantaran distribusinya yang tidak merata. Bayangkan. Setelah diseleksi berdasarkan nama-nama penanggung jawab utangnya, Rp 100 triliun kredit macet itu cuma dinikmati oleh 200 pengusaha saja. Lebih celaka lagi, hampir 70 persen utang macet itu (sekitar Rp 70 triliun) jatuh pada pada empat atau lima orang kaya saja. Siapakah mereka? "Anda tebak sendirilah, seputar mereka-mereka juga...," kata seorang pejabat BPPN agak sungkan menjawab. Menurut daftar yang diterima TEMPO, para penunggak utang itu memang tak jauh dari nama-nama konglomerat yang selama ini disebut sebagai kroni Soeharto. "Mereka dikenal sebagai pengusaha yang biasa mendompleng kekuatan koneksi politik," kata seorang ekonom. Sebut saja misalnya Bambang Trihatmodjo dan Prajogo Pangestu. Mereka berdua bertanggung jawab atas utang macet US$ 2,7 miliar, yang dicairkan megaproyek petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Center yang sahamnya mereka kuasai. Lalu, Tommy Soeharto. Selain menunggak utang US$ 400 juta untuk proyek mobil nasional Timor, anak lanang bungsu bekas presiden Soeharto ini juga menanggung utang Rp 2,6 triliun untuk pelbagai proyek Humpuss dan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh. Mau lagi? Banyak. Ambil misal Hashim Djojohadikusumo. Tak ketinggalan, ipar Titik Soeharto ini juga menunggak utang. Perusahaannya, Trans Pacific Petrochemical Indotama, telah menunggak cicilan atas kredit senilai Rp 500 miliar dalam sembilan bulan terakhir ini. Melihat besarnya tagihan yang macet itu, BPPN tak ingin "berdamai" begitu saja dengan para penunggak utang kakap ini. Para pengusaha ini diberi waktu sepekan untuk menyusun rencana kerja, baik menyangkut pelunasan utang maupun rencana kerja perusahaannya. Jika mereka gagal menyusun rencana kerja ini, BPPN akan bertindak lebih tegas: menentukan rencana kerja sendiri, atau bahkan mengajukan perusahaan-perusahaan itu ke Pengadilan Niaga untuk dibangkrutkan. Menurut seorang pejabat BPPN, kewajiban menyusun rencana pelunasan utang membuat sejumlah pengusaha terkaget-kaget. Mereka menganggap mustahil menyusun rencana kerja dengan nilai pinjaman triliunan rupiah hanya dalam sepekan. "Itu menunjukkan mereka tak siap, atau malah tak punya niat untuk bayar utang," kata pejabat tadi. Pejabat ini mengamati, di antara pengusaha-pengusaha yang menunggak utang itu, banyak yang sengaja tak mau membayar utang dengan alasan krisis. Padahal, "Arus kas perusahaannya bagus," katanya. Ia memberi contoh. Seorang pengusaha perhotelan tak mau membayar cicilan utang dengan alasan krisis, walau tingkat hunian hotelnya mencapai 70 persen. "Ini tak masuk akal, tapi banyak yang seperti itu," katanya. Dibandingkan dengan tingkat rata-rata hunian hotel yang kini anjlok hingga di bawah 50 persen, penghasilan sang pengutang amat lumayan. Untuk itu, BPPN sudah membuat rencana. Para penunggak utang akan dikelompokkan dalam dua golongan: mereka yang punya niat untuk bayar dan yang tidak. Entah bagaimana kriteria pengelompokan ini, sayangnya, tak bisa diperoleh penjelasan yang lebih rinci. Yang pasti, kelompok pertama akan mendapat prioritas utama agar utang-utangnya bisa direstrukturisasi. Ada banyak jalan. Misalnya, perpanjangan masa pelunasan utang, atau kemungkinan utang diambil alih pemerintah dengan cara debt to equity swap (tukar menukar utang dengan saham). Sebaliknya, untuk yang niatnya mengemplang, perusahaan akan ditutup atawa dilikuidasi. Tentu saja, pemerintah akan mempertimbangkan bagaimana prospek usahanya. Kalau perusahaannya sudah beroperasi dan punya prospek bagus, BPPN akan tetap melanjutkan usaha itu. Tak jarang ada juga proyek yang masih setengah jalan, sudah keburu dihantam krisis. Misalnya, proyek Jalan Tol Kalimalang, yang baru dibangun tiang pancangnya itu. "Meskipun macet, duit yang sudah ditanamkan di sana bisa mencapai Rp 300 miliar sampai Rp 500 miliar," katanya. Untuk proyek-proyek seperti ini, BPPN akan melihat apakah mungkin mencari tambahan financing sehingga proyek bisa diselesaikan. Dengan bentangan persoalan tiap proyek yang sangat beragam, penyelesaian utang macet ini agaknya juga bakal beragam. Pengamat hukum perbankan, Pradjoto, mengusulkan agar debitur itu dikelompokkan dalam tiga golongan. Yang pertama, perusahaan yang layak direstrukturisasi. Menurut Pradjoto, pelunasan utang bisa dilakukan dengan "damai" asal memenuhi tiga syarat berikut: bisnisnya jatuh hanya karena krismon, prospeknya masih cerah, dan tak punya catatan hitam. Misalnya, melakukan penyelewengan kredit (menyalahgunakan duit utang untuk keperluan lain), atau membengkakkan biaya alias mark-up. Kelompok kedua, perusahaan yang patut diambil alih sahamnya sebagai ganti pelunasan utang. Indikasinya: proyeknya masih punya masa depan, tapi sayang, punya catatan hitam. Untuk perusahaan yang akan diambil alih seperti ini, Pradjoto punya syarat: catatan hitam itu harus diputihkan dulu. Maksudnya, kalau pengusahanya melakukan mark-up, mereka harus mengembalikan lebih dulu sehingga investasi di perusahaan bersih. Kelompok ketiga adalah para penunggak utang yang proyeknya tak punya prospek, dan masih melakukan mark-up pula. "Yang seperti ini dijagal saja," kata Pradjoto. Namun, lanjutnya, pemerintah harus tetap meminta pertanggungjawaban pemiliknya. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, para debitur macet bisa saja dituntut sampai ke harta pribadinya. Jika kekayaan perusahaan tak bisa menutup kewajiban, pemiliknya harus menombokinya dengan harta pribadi. Sampai sejauh apa? "Ya, sampai tinggal celana yang melekat di badan?," kata seorang ekonom. Kalau tuntutan ini benar-benar dilakukan, tampaknya memang cukup alasan bagi para konglomerat untuk antre di BPPN, ketimbang cuma tersisa tinggal kolor.?

M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Hendriko L. Wiremer, Wenseslaus Manggut


Para pengutang kakap bank BUMN

Bambang Trihatmodjo (total utang Rp 23,3 triliun)
Nama ProyekStatus ProyekJumlah UtangMasalah
Chandra Asri



Aspac Inti Corpora
proyek berjalan



pabrik berjalan
US$ 2,7 miliar



Rp 900 miliar

merugi karena beban bunga dan rendahnya kapasitas terpakai (60%)


pembayaran utang tersendat meski sudah dijadwal ulang
Hutomo Mandala Putra (total utang Rp 6 triliun)
Nama ProyekStatus ProyekJumlah UtangMasalah
Timor Putra Nasional



BPPC
pabrik setengah jadi, proyek macet


perusahaan sudah bubar
US$ 400 juta dan utang pajak Rp 3,1 triliun
Rp 900 miliar
rebutan aset antara BPPN dan Ditjen Pajak



tak jelas pertanggungjawaban asetnya
Hashim Djojohadikusumo (total utang Rp 500 miliar)
Nama ProyekStatus ProyekJumlah UtangMasalah
Trans Pacific Petrochemical Indotamasetengah jadi dan macetRp 500 miliartak jelas kelanjutannya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus