Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hal Mustahil Rekapitalisasi Bank

Program injeksi modal perbankan membebani anggaran pemerintah. Tagihan bantuan likuiditas Bank Indonesia juga akan diikutkan sebagai penyertaan saham. Langkah yang tidak adil?

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maju kena, mundur kepentok. Begitulah nasib yang menghadang bisnis perbankan. Bayangkan keruwetan seperti ini: harga dolar melambung, suku bunga menanjak berlipat-lipat. Akibatnya, bank terseret dalam kubangan kredit macet. Jika dibiarkan, bank-bank ini akan segera mati. Jika bank mati, dunia bisnis bakal sekarat. Itu artinya krisis dan resesi akan terus berlarut-larut. Jadi? Bank-bank harus diselamatkan. Caranya? Bank harus disuntik modal. Tapi, jika itu dilakukan, ongkosnya sungguh amat mahal. Para pemilik bank tak mungkin menanggungnya sendirian. Negara harus membantu. Itu artinya ongkos yang harus ditanggung rakyat sungguh amat mahal. Sulit dibantah, penyehatan perbankan adalah program supermahal. Menurut perhitungan awal, sedikitnya diperlukan dana sekitar US$ 23,5 miliar untuk mendongkrak 62 bank kelas B—yang rasio kecukupan modal alias capital adequacy ratio (CAR)-nya antara minus 25 persen dan empat persen—naik tingkat ke bank kelas A (yang CAR-nya mencapai 4 persen). Dari jumlah biaya itu, 80 persen akan ditanggung pemerintah. Sedangkan pemegang saham bank hanya menambah 20 persen. Di tengah cekaknya kas negara, mencari sumber dana senilai US$ 23,5 miliar hampir sebanding dengan misi yang mustahil alias impossible mission. Memang betul, untuk menutup dana itu, pemerintah akan menerbitkan surat utang jangka panjang (obligasi). Surat utang yang memiliki tiga macam tingkat suku bunga (tiga persen di atas angka inflasi, sesuai dengan bunga SBI berjangka tiga bulan, dan fixed rate) ini sebagian akan dijual kepada investor, sedangkan sebagian lagi akan ditempatkan ke dalam bank. Jadi, bank yang ikut program rekapitalisasi, bukannya menerima duit tunai beneran, cuma menerima surat utang. Ya, semacam duit-duitan yang nanti akan menghasilkan bunga. Nah, untuk tahun ini, diperkirakan pemerintah harus mengeluarkan dana Rp 32 triliun untuk membayar bunga obligasi itu. Dari mana dananya? Anggaran negara tahun 1999/2000 diharapkan akan menyumbangkan Rp 18 triliun. Sisanya direncanakan datang dari hasil penjualan aset bank-bank ini. Apakah cukup? Wallahualam. Yang pasti, besarnya ongkos rekapitalisasi inilah yang menjadi muara keberatan anggota DPR. Pemerintah diminta meninjau ulang sumber dana rekapitalisasi. Bahkan, Fraksi PDI menolak sama sekali program penyehatan perbankan, apa pun alasannya. Fraksi PDI menilai, tidak adil membebankan ongkos penyehatan bank pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). "Ini tidak masuk akal," kata juru bicara Fraksi PDI, Bambang Mintoko. Rasa keadilan tampaknya pantas menjadi perhatian dalam program ekstramahal ini. Maklum, bobroknya bank bukan sekadar karena lonjakan kurs dolar, yang membuat sebagian besar kredit menjadi macet. Lebih dari itu, penyakit bank juga bersumber dari kesalahan manajemen perbankan. Penyakit bank menjadi kian parah karena dilengkapi dengan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang menguntungkan kelompok tertentu. Dengan kondisi seperti itu, program penyelamatan perbankan akan sangat gampang dicap pro-konglomerat pemilik bank sekaligus anti-kepentingan rakyat. Itulah sebabnya Roy Ramos, Kepala Riset Perbankan Asia Goldman Sachs, menilai, "Problem utama rekapitalisasi lebih bersifat politis ketimbang sekadar soal penyediaan dana." Tanda tanya publik barangkali akan bermuara pada soal-soal yang sensitif seperti: mengapa pemerintah begitu ringan mengeluarkan dana ratusan triliun untuk kepentingan pemilik bank? Bukankah, di sisi lain, rakyat kebanyakan sedang kesulitan membeli beras? Sebenarnya, secara obyektif, rekapitalisasi perbankan itu hukumnya wajib: harus, tidak boleh tidak. Perbankan yang sehat—dengan tingkat suku bunga yang wajar—akan sanggup mencairkan kebekuan ekonomi. Pengusaha akan mulai berani melirik kredit perbankan dan menggerakkan sektor riil. Ekonomi Thailand, misalnya, mulai menggeliat setelah langkah restrukturisasi perbankan senilai US$ 19,5 miliar ditempuh. "Nyata terlihat adanya peningkatan ekonomi seiring dengan berjalannya rekapitalisasi perbankan," kata Roy Ramos. Bahkan, dalam riset Goldman Sachs, perbankan Thailand diperkirakan betul-betul sehat dan meraih keuntungan pada tahun 2001. Sayang, kondisi optimistis perbankan Thailand belum menular ke Indonesia. Menurut Pradjoto, seorang konsultan hukum perbankan di Jakarta, penyebab lambannya penyehatan perbankan kita bermacam-macam, tapi semuanya bermuara pada satu hal: kurang transparan dan konsistennya kebijakan pemerintah. Contoh paling gamblang adalah plinplannya skema pengembalian bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Awalnya, tenggat BLBI ditetapkan satu bulan. Bila tak terpenuhi, sang bankir diancam proses pidana. Ternyata, setelah tenggat berlalu, tak ada proses pidana apa pun. Menteri Keuangan Bambang Subianto menyatakan, skema pembayaran BLBI diubah: waktunya diperpanjang lima tahun. Esoknya, ada lagi peraturan baru, yang kali ini datang dari Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri, Ginandjar Kartasasmita: BLBI harus dibayar dalam satu tahun. Masih belum cukup, ada lagi perubahan: BLBI dibayar bertahap selama empat tahun dengan bunga 30 persen. Lepas dari soal maju-mundurnya tenggat, ada satu soal substansial yang lolos dari kasus BLBI, yakni diabaikannya aspek hukum. Sudah bukan rahasia, kucuran BLBI tidak semata karena rush nasabah, tapi justru lantaran pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Sesuai dengan Pasal 49 UU Perbankan tentang prinsip kehati-hatian bank, kredit untuk kelompok sendiri tak boleh melewati 20 persen dari modal bank. Sanksi untuk pelanggaran atas ketentuan tersebut tidak main-main. Mereka akan dikenai denda Rp 15 miliar atau penjara maksimal enam tahun. Benar begitu? Nyatanya tidak. Tak satu pun pelanggar BMPK—beberapa pemilik bank bahkan mengalokasikan 80 persen kreditnya ke kelompok sendiri—dikenai sanksi. Bagi Pradjoto, ini bisa menjadi sumber preseden buruk yang membenarkan pelanggaran. "Kok, bisa pencoleng-pencoleng masih diberi kesempatan lolos dari hukum," katanya sengit. Cerita masih belum tamat. Untuk meringankan beban pemerintah dalam program injeksi modal perbankan, utang BLBI yang diterima bank peserta rekapitalisasi akan dikonversikan sebagai penyertaan modal pemerintah. Jadi, jika jumlahnya cukup, pemerintah tak perlu setor obligasi lagi, cukup dengan klaim BLBI yang sudah ada di bank tersebut. Misalnya begini. Dalam program rekapitalisasi, Bank A membutuhkan suntikan kapital Rp 40 triliun (80 persen akan ditanggung pemerintah, sedangkan sisanya oleh pemilik bank). Sementara itu, Bank A juga punya utang BLBI senilai Rp 30 triliun kepada BI. Klaim BLBI ini akan dianggap sebagai setoran modal, sehingga pemerintah hanya perlu menyuntik dana Rp 2 triliun kekurangannya. Sedangkan pemilik Bank A hanya perlu menyetor Rp 8 triliun. Secara hukum, pengalihan utang menjadi saham seperti itu sebenarnya sah-sah saja. Hanya, menurut Pradjoto, perlu dipertegas lagi apa keuntungan yang diperoleh pemerintah dengan penyertaan modal. Jika memang utang BLBI dikonversikan menjadi penyertaan saham, mestinya pemerintah berhak atas hak suara (voting share). "Jangan sampai statusnya hanya semacam pinjaman subordinasi," kata Pradjoto. Kekhawatiran Pradjoto memang beralasan. Pemberi pinjaman subordinasi tak punya hak suara dan keuntungan komersial. Selain itu, seandainya bank bersangkutan dilikuidasi, pengembalian pinjaman subordinasi ditempatkan di urutan terakhir. Artinya, BLBI—uang milik rakyat—bisa terancam hilang tak berbekas. Sayangnya, belum ada penjelasan resmi bagaimana duduk perkara penyertaan modal ini. Semuanya masih samar-samar. Belum ada data yang pasti bank mana yang utang BLBI-nya dikonversikan dan berapa jumlahnya. "Masih menunggu hasil due diligence," kata Subarjo Joyosumarto, Direktur BI. Yang pasti, menurut Subarjo, utang BLBI untuk bank yang sudah telanjur dibekukan tetap harus dibayar sesuai dengan skema. Kebijakan ini bisa-bisa dipandang miring oleh para bankir pemilik bank yang sudah telanjur dibekukan operasinya. Mereka bisa saja berpikir, "Coba kalau dulu tak dibekukan. Mungkin sekarang tak perlu membayar BLBI." Tapi okelah. Yang penting, uang rakyat di BLBI tak boleh lenyap tak berbekas. Betul kan, Pak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus