Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Menunggu Zakat Versi Masdar

Kubangan sekularisme dianggap sebagai biang pemisahan pajak dari spirit zakat. Mestinya, zakat dan pajak ibarat roh dan badan.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap Ramadan mendekati akhir, umat Islam beramai-ramai berzakat, berulang setahun sekali (haul). Namun, secara ide, semangat untuk melihat konsep zakat secara "kontekstual" selalu terjadi, seperti konsep yang ditawarkan cendekiawan Islam, Masdar F. Mas'udi, tentang zakat dan pajak. Bagi dia, zakat dan pajak ibarat roh dan badan. Tapi, sampai saat ini, idenya belum memperoleh lahan untuk bersemi. Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat itu melontarkan kembali ide tentang rekonstruksi pemikiran zakat dan pajak dalam acara "Musyawarah Kerja Nasional Lembaga Pengelola Zakat, Infak, dan Sedekah" yang diselenggarakan Forum Zakat di Hotel Indonesia, Jakarta, 7-9 Januari lalu. Dihadiri sekitar 120 pengurus baitulmal (lembaga pengelola dana agama) se-Indonesia, musyawarah itu lebih menekankan pentingnya peningkatan manajemen zakat dan perlunya undang-undang menyangkut sistem pengelolaannya, daripada menekankan pemikiran yang lebih mendasar yang ditawarkan oleh Masdar. Yang terdengar malah—salah satunya—komentar negatif dari Prof. K.H. Ali Yafie, Ketua Majelis Ulama Indonesia. "Itu pandangan yang aneh," kata Ali Yafie. Memang, seperti gagasan pembaruan lain, gagasan Masdar keluar dari arus utama pemikiran ulama. Dalam buku Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Masdar mengatakan bahwa pemikiran dan praktek zakat di kalangan umat Islam mengandung kelemahan dasar selama rentang waktu 12 abad. Kelemahan itu menyangkut filosofi dan epistemologinya, struktur dan kelembagaan, serta segi manajemen operasionalnya. Kebanyakan ahli fikih, dari kalangan modernis pun, masih memandang bahwa zakat adalah dana agama kewenangan ulama, sedangkan pajak adalah dana negara otoritas pemerintah. Zakat masih dipandang tidak lebih sebagai ibadah ritual (mahdah) dan kehilangan pesan universalnya. Bias dari pengertian itu, penggunaan dana zakat hanya dapat diterima oleh masyarakat sejauh diarahkan untuk hal-hal yang mikro, bersifat santunan (karitas) belaka, dan eksklusif hanya untuk kalangan muslim. Dikotomi semacam itu dan kecenderungan komunal zakat (hanya untuk kelompok sendiri), di mata Masdar, sejatinya cenderung melecehkan Islam, yang berprinsip "rahmatan lil `aalamiin" (rahmat untuk semua). Bagi Masdar, pandangan dikotomis tersebut dianggap secara sadar atau tidak telah terjebak ke dalam kubangan sekularisme yang menendang agama dari gelanggang negara. Buntutnya, ya, terjadinya berbagai reduksi filosofi zakat itu. Maka, ia mencoba merekonstruksi cara pandang baru: bahwa zakat pada tataran filosofis adalah ajaran keadilan, dan pada tataran kelembagaan adalah ajaran kenegaraan. Itu berimplikasi sosial dan politis yang luas. Di antaranya, pajak tidak lagi dipahami sebagai keharusan sekuler, dan karenanya memiliki pesona ubudiah (hubungan vertikal). Dan negara, sebagai administrator pajak, terikat oleh moral agama untuk mendistribusikannya sebaik mungkin demi kemaslahatan publik dan keadilan semesta. Namun, ada problem. Seperti kata Ketua PB Nahdlatul Ulama K.H. Abdurrahman Wahid dalam pengantar buku Agama Keadilan, memahami konsep kelembagaan zakat pada sosok pajak membawa implikasi pada kebutuhan rekonstruksi banyak ajaran yang selama ini justru dianggap tabu. Yakni tentang jenis-jenis kekayaaan yang harus dikenai zakat (pajak), kadar tarif zakat (pajak), siapa-siapa yang menjadi mustahik (beneficiaries) dari dana zakat (pajak), dan sebagainya. Tapi Masdar punya saran. "Biarlah itu semua diijtihadi rakyat atau wakil-wakilnya," kata Masdar. Zakat itu ibarat pintu masuk bagi umat Islam untuk menjalankan amanat kekhalifahannya dengan menegakkan keadilan dalam kehidupan sosial. Namun, pintu itu sampai sekarang masih terhalang "palang", ya, berupa kubangan sekularisme itulah. Kelik M. Nugroho, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus