Seperti bedol puluhan desa untuk pembangunan waduk. Demikian gambaran merger BBD, BDN, Bappindo, dan Bank Exim menjadi Bank Mandiri. Yang akan hilang tidak sekadar fisiknya, tapi juga komunitasnya. Puluhan ribu karyawan bank BUMN akan tercerai-berai entah ke mana rimbanya.
Menurut rencana, dari sekitar 26.000 karyawan keempat bank itu, cuma sepertiga yang akan terpakai di Bank Mandiri. Dua pertiga lagi, sekitar 18.000 karyawan, nasibnya sudah hampir pasti: digusur. Mereka akan diberhentikan dan terlempar ke dalam kelompok pengangguran terdidik.
Menurut para analis perbankan, rasionalisasi karyawan—kendati amat pahit—tak mungkin dihindarkan. Bayangkan. Dengan tingkat kredit bermasalah di atas 70 persen, aset Bank Mandiri kelak paling besar hanya separuh dari gabungan aset keempat bank BUMN itu saat ini. Mau tak mau, karena asetnya menyusut, jumlah karyawan harus dikurangi.
Persoalannya, bagaimana menggelar pemutusan hubungan kerja alias PHK masal seperti itu. Bagaimana sistem pembayaran pensiunnya? Apakah proses seleksi untuk mencari karyawan baru Bank Mandiri kelak dijamin akan berlangsung adil?
Soal-soal itulah yang agaknya masih sulit dijawab. Kepada TEMPO, Direktur Utama Bank Mandiri, Robby Djohan, hanya berani menggaransi bahwa program rasionalisasi kelak akan sangat menguntungkan karyawan. Caranya, karyawan bebas memilih, akan tetap tinggal atau pergi.
Robby yakin, dengan tawaran sukarela itu pun tetap saja bakal banyak karyawan yang akan mengundurkan diri. Apa rahasianya? Gampang. Bank Mandiri akan memberi goldenshake hand dengan iming-iming yang menggiurkan. Bagaimana rinciannya, memang belum ada bocoran yang sahih.
Tapi Robby menjamin, program pensiun itu sedikitnya akan sama seperti yang terjadi di Garuda Indonesia, perusahaan penerbangan yang sempat ia pimpin. Kalau mau pukul rata, katanya, di Garuda uang pesangon diberikan minimal 40 kali gaji terakhir (lihat boks). Kalaupun bisa bekerja di tempat lain, mereka masih bisa tetap mendapat hak pensiun. "Enak, bukan?" kata Robby, "Saya saja mau pensiun seperti mereka."
Tapi, repotnya, niat dan rencana Robby ini kedengaran seperti janji-janji belaka—bukan mustahil akan diingkari. Para karyawan bank-bank BUMN tampaknya masih belum melupakan bagaimana janji Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng ketika melantik Direksi dan Komisaris Bank Mandiri, tiga bulan lalu. Saat itu Tanri menegaskan, merger bank-bank BUMN ini akan dilakukan tanpa harus memecat karyawan. Tapi buktinya? Ini membuat sejumlah karyawan merasa ragu, apa benar janji Robby Djohan bakal ditepati.
Keraguan makin besar karena penjelasan dari manajemen secuil pun tak ada. Karyawan seperti dibiarkan dalam kebingungan. "Pengetahuan saya hanya dari koran," kata seorang pegawai bank BUMN. Apalagi, dalam cetak biru rancangan dasar Bank Mandiri yang disusun oleh Deutsche Bank itu, urusan PHK tak dibahas secara khusus. Persoalan ini cuma dimasukkan dalam "faktor-faktor yang sensitif terhadap merger".
Barangkali karena kekhawatiran inilah, semangat kerja karyawan bank BUMN terlihat loyo. Menurut berbagai cerita yang dikumpulkan TEMPO, kelesuan ini sangat kentara. Gerombolan pegawai yang seharian cuma ngerumpi sudah menjadi pemandangan sehari-hari. "Hampir tidak ada hari tanpa membicarakan PHK," kata seorang karyawan bank.
Memang ada sekelompok karyawan bank yang mencoba memperjuangkan kepentingannya. Di Bank Exim, misalnya, ada Posko PHK-wan. Posko yang bermarkas di lantai 17 Wisma Bank Exim ini mengajak karyawan menolak pesangon. Sebagai ganti, mereka menuntut adanya imbalan yang pantas berupa kontraprestasi.
Kelompok karyawan yang sama juga muncul di Bappindo. Tapi, berbeda dengan rekan-rekan mereka di Bank Exim, karyawan Bappindo minta pesangon yang cukup besar. Seberapa besar? Entahlah, "Yang pasti, kalau dideposito dengan bunga 20 persen hingga 25 persen, bunganya sama dengan gaji setiap bulan," kata seorang "pengurus" pergerakan memberi ancar-ancar. Itu artinya, mereka menuntut pesangon minimal 50 kali gaji.
Akan berhasilkah upaya mereka? Tak ada yang berani memberi jawaban yang pasti. Yang jelas, tuntutan "perlawanan" seperti itu tak pernah mendapat tanggapan. Yang muncul justru pelbagai isu bahwa pesangon yang akan diterima sangat kecil. Di Bank Bumi Daya, misalnya, muncul gosip bahwa pesangon pensiun tak akan diberikan semuanya. Sebagian—entah berapa persen—akan diberikan dalam bentuk obligasi, yang baru bisa dicairkan setelah tiga tahun.
Bina Bektiati, Wenseslaus Manggut, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini