BAGI yang sering ber "halo-halo" jarakjauh ini kabar gembira
sejak 20 September Perumtel memberi reduksi 50% untuk mereka
yang menggunakan jasa sambungan langsung jarakjauh (SLJ) antara
pukul 10 malam sampai 6 pagi Kecuali untuk hubungan
internasional yang masih tetap dikenakan tarif normal. "Ini
bukan penurunan tarif, tapi reduksi biaya percakapan, " kata
Willy Moenandir, 45 tahun, Dir-Ut Perumtel kepada TEMPO. Tapi
sulit dibantah bahwa keputusan yang diumumkan Willy di depan
komisi V DPR 15 September itu merupakan penurunan tarif pulsa.
Sekalipun secara tidak langsung.
Misalnya untuk pembicaraan SLJJ dari Jakarta ke Jayapura yang
termasuk dalam zone 5 (pembicaraan di atas jarak 1000 km).
Setiap 2 detik dihitung 1 pulsa dan kena tarif Rp 40. Setelah
pemberian reduksi. tarif tiap pulsa tetap Rp 40, tapi pencatat
pulsa di sentral telepon baru bergerak setelah setiap
percakapan mcncapai 4 detik. Artinya untuk tarif baru itu setiap
detik percakapan harganya hanya Rp 10. Turun 50% dibanding Rp
201 detik sebelumnya.
Untuk pelaksanaan reduksi tarif malam itu 86 Sentral Telepon
Otomat (STO di seluruh Indonesia memasang alat pengukur
periodik pulsa meter (GZM) pada instrurnen pencatat pulsa.
Secara otomatis setiap pukul 22.00 WIB alat itu akan mengubah
cara menghitung mesin pencatat pulsa. Alat itu secara otomatis
pula akan menggeser pencatat pulsa pada posisi semula (seperti
sebelum ukul 22.00 malam itu) begitu Jarum Jam menunjukkan
lewat pukul 6 pagi.
Alat pengukur periodik pulsa meter itu sebelumnya sudah
terpasang ketika mesin pencatat pulsa diimpor dari Eropa. Hanya
selama
ini belum dipergunakan. "Jadi dalam menghadapi ketentuan baru
itu kami tak terlalu repot," kata Musyafri, humas Perumtel.
Jam sibuk
Setelah berbagai perbaikan jaringan yang dilakukannya, pemasukan
Perumtel menunjukkan peningkatan yang berarti. Tahun 1974
omsetnya baru Rp 29, 5 milyar, sedangkan dalam tahun 1981 ini
angka itu diperkirakan akan melonjak menjadi Rp 280 milyar.
Namun pelaanan yang mudah dan murah rupanya rnasih belum bisa
dicapai perusahaan milik negara itu. Sebab reduksi yang 50% itu
misalnya hanya dinikmati para pelanggan (yang punya pesawat
telepon) di kota-kota yang memiliki STO. Sedangkan untuk kota
kecil, apalagi pedesaan, dengan sistem telepon manual reduksi
tersebut sama sekali belum bisa dinikmati. Bahkan di kota yang
memiliki STO pun pemakai jasa telepon jarak jauh melalui kamar
bicara umum (KBU) tetap membayar penuh.
Menurut Willy pelanggan telepon sistem manual atau pemakai jasa
lewat KBU memerlukan pelayanan pegawai telkon. Pemberian reduksi
kepada golongan ini berarti tambahan tenaga.
Jumlah pembicaraan jarak jauh dengan sistem manual tak ada
artinya dibanding SLJJ," kata Willy. Sedang tujuan reduksi itu
menurut dia untuk meringankan beban saluran pada siang hari.
Menurut penelitian yang dilakukan Perumtel sejak 15 Desember
1980, saluran SLJJ padat antara pukul 8 pagi sampai 2 siang
del)gan titik puncak antara pukul 9 sampai 11. Beban saluran
akihltnya me]ebihi kapasitas dan permintaan sambungan jadi
terganggu. "Berkalikali putar nomor, telepon tak juga nyambung,
orang lantas marah dan menuduh pelayanan Perumtel brengsek.
Padahal peralatan kita yang sudah tak mampu," ulas Willy.
Menurut penelitian tadi pada jamjam sibuk sentral telepon STO
seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya harus melayani
permintaan lebih dari kapasitas. Di malam hari arus pembicaraan
anjlok. "Malahan beberapa STO di beberapa kota kecil satu malam
bisa tak melayani satu pembicaraan pun," kata Saladin, salah
seorang anggota tim peneliti.
"Dengan memberi reduksi kita merangsang langganan untuk
menggunakan telepon pada malam hari," ujar Willy. Maksudnya agar
kesibukan siang hari bisa dialihkan ke malam hari. Di samping
meringankan beban saluran, tindakan ini juga diharapkan
berfungsi menyerap permintaan hubungan telepon yang tak
terlayani pada jam-jam sibuk.
Berdasarkan perkiraan itu Willy membantah anggapan bahwa
pemberian reduksi itu bakal mengurangi pemasukan Perumtel. Dia
mencontoh "ilmu" tukang sepatu: "Lebih baik menjual Rp 75 tapi
satu hari bisa laris 100 pasang daripada menjual Rp 100 tapi
yang laku cuma 50 pasang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini