BANDUNG banjir tekstil. Berita itu semakin menarik kalau saja
diingat tekstil yang menumpuk itu kuran lebih sepanjang tiga
kali Pulau Jawa. Menumpuk di gudang-gudang PT Bintang Agung dan
selebihnya di PT Perintex, keduanya di Kecamatan Ujungberung,
Kabupaten Bandung.
"Sejak sebelum Lebaran situasi pasar memang lesu," ujar Teddy
Wiriasugara, slah seorang direksi Perintex. Mempekerjakan 925
buruh, Perintex yang sepuluh tahun lalu diresmikan oleh Menteri
Perindustrian M. Jusuf, setiap bulan rata-rata memproduksi
600.000 yard tekstil jenis polyester texture, rayon dan katun
Hankam juga langganan di situ. Antara lain untuk tahun 1981/1982
departemen yang kini dipimpin Jenderal M. Jusuf itu memesan
486.000 meter bahan untuk pakaian seragam.
Sedang PT Bintang Agung yang punya kapasitas produksi 1,2 juta
meter sebulan lebih suka membuat kain blue denim dan kurdoroi.
Kedua pengusaha pabrik itu menuding penurunan Sertitikat ekspor
(SE) sebagai biang kesulitan. Demikian pula penurunan bea masuk
yang terutama dinikmati jenis kurdoroi impor.
Adakah kelebihan itu juga dialami pabrik-pabrik tekstil lain? PT
Sakuratex di Bandung yang mengeluarkan tekstil merk Sakura dan
La Ricci sedikit banyak merasakan kemacetan itu. Begitu pula
kabarnya beberapa pabrik tekstil di Ja-Teng. Tapi Ketua Umum
Kadin Ja-Bar Sukar Samsudi berpendapat soalnya agak
"dibesarkan". Dia menilai kelebihan tekstil yang 2 juta meter d
Bintang Agung itu sama artinya denga penyediaan stok bagi
seluruh pabrik yang berkapasitas 1,2 juta meter sebulan.
"Kemacetan begitu sebenarnya sering terjadi, tapi tak pernah
diberitakan sehesar sekarang ini," kata Sukar.
Tapi yang menarik adalah komentar Nunung Komarudin, Humas PT
Kanebo Tomen Sandang Sintetis Mills (KTSM) di Banjaran,
Bandung. "Kami tak pernah menimbun stok barang di gudang. Begitu
barang selesai diproses terus dikirim ke Jakarta untuk
dipasarkan di seluruh Jawa dan Nusa Tenggara," katanya.
Mempekerjakan 1.380 buruh, patungan PMA Jepang di Jawa Barat itu
setiap bulan rata-rata menghasilkan 2,7 juta yard kain tetoron.
Selera Pasaran
Kabar buruk dari Bandung itu pun sampai juga ke telinga Ketua
Asosiasi Pemintalan Indonesia, Musa. Mulanya dia tak habis pikir
bisa terjadi kelebihan tekstil sebanyak itu. Sebab di pabriknya,
PT Daya Manunggal, tak ada tekstil yang menumpuk. "Saya tidak
merasakan adanya keresahan, mungkin karena produk yang kami
hasilkan sudah termasuk standar," kata Dir-Ut PT Daya Manunggal
itu kepada TEMPO. Dia mengakui terjadi penurunan harga, akibat
pasaran yang rada lesu. "Tapi itu kan soal biasa," katanya.
Namun begitu orang yang makan garam di bisnis tekstil itu tak
mengelak adalah penurunan SE itu yang membuat jantung para
pengusaha tekstil berdebar. "Sejak dari mula saya menentang
kebijaksanaan pemerintah yang menekan SE ini, bahkan saya sampai
mundur dari jabatan ketua harian Asosiasi 'Pertekstilan
Indonesia (API), karena mereka tak bereaksi terhadap penuruuan
SE itu," kata Musa.
Masalah penurunan SE itu pula yang diulas oleh Sumedi
Wignyosumarto, direktur evaluasi dan standardisasi Ditjen Aneka
Industri. Kepada Farida Sendjaja dari TEMP0, Sumedi
menjelaskan penurunan bonus bagi eksportir itu memang dilakukan
karena beberapa jenis barang, termasuk tekstil ada yang dianggap
terlalu tinggi SF.-nya. Tapi ada juga produk-produk lain yang
tadinya ada SF-nya ternyata belum masuk di dalamnya, sehingga
tak memiliki SE. "Nah, ini yang bikin heboh," katanya.
Direktur Sumedi lalu menjelaskan kesalahan komunikasi itu juga
terjadi pada penurunan bea masuk, misalnya dalam impor kurdoroi.
Menurut dia, pemerintah rupanya tak banyak mengetahui bahwa ada
pabrik di Indonesia yang sudah pandai bikin bahan kurdoroi.
"Kalau pengusaha memproduksikan barang tertentu, mbok ya
beritahu pada lembaga atau instansi yang bersangkutan," katanya.
Semula bea masuk kurdoroi setinggi 30% dari harga barang,
kemudian pemerintah memotong separuh menjadi 40%. Menurut
Sumedi, masalah bea masuk ini kini sedang ditinjau kembali. Toh
Sumedi, yang bersama Dirjen Aneka Industri pekan lalu
menginspeksi kedua pabrik yang dilanda kelebihan tekstil itu,
tak menutup kemungkinan "produk yang dibuat itu tidak memenuhi
selera pasaran." Ini menurut pejabat tekstil itu tak terlepas
dari soal mutu. "Mungkin sekarang ini bagi mereka yang stoknya
menumpuk, disebabkan mesin-mesinnya tak sesuai lagi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini