Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ramai-Ramai Tekstil

Beberapa pabrik tekstil di Bandung & Ja-teng (a.l. PT. Bintang Agung, PT. Perintex, PT. Sakuratex) mengalami kemacetan dalam pemasarannya, penurunan SE (sertifikat ekspor) & bea masuk biang keladinya. (eb)

26 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG banjir tekstil. Berita itu semakin menarik kalau saja diingat tekstil yang menumpuk itu kuran lebih sepanjang tiga kali Pulau Jawa. Menumpuk di gudang-gudang PT Bintang Agung dan selebihnya di PT Perintex, keduanya di Kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung. "Sejak sebelum Lebaran situasi pasar memang lesu," ujar Teddy Wiriasugara, slah seorang direksi Perintex. Mempekerjakan 925 buruh, Perintex yang sepuluh tahun lalu diresmikan oleh Menteri Perindustrian M. Jusuf, setiap bulan rata-rata memproduksi 600.000 yard tekstil jenis polyester texture, rayon dan katun Hankam juga langganan di situ. Antara lain untuk tahun 1981/1982 departemen yang kini dipimpin Jenderal M. Jusuf itu memesan 486.000 meter bahan untuk pakaian seragam. Sedang PT Bintang Agung yang punya kapasitas produksi 1,2 juta meter sebulan lebih suka membuat kain blue denim dan kurdoroi. Kedua pengusaha pabrik itu menuding penurunan Sertitikat ekspor (SE) sebagai biang kesulitan. Demikian pula penurunan bea masuk yang terutama dinikmati jenis kurdoroi impor. Adakah kelebihan itu juga dialami pabrik-pabrik tekstil lain? PT Sakuratex di Bandung yang mengeluarkan tekstil merk Sakura dan La Ricci sedikit banyak merasakan kemacetan itu. Begitu pula kabarnya beberapa pabrik tekstil di Ja-Teng. Tapi Ketua Umum Kadin Ja-Bar Sukar Samsudi berpendapat soalnya agak "dibesarkan". Dia menilai kelebihan tekstil yang 2 juta meter d Bintang Agung itu sama artinya denga penyediaan stok bagi seluruh pabrik yang berkapasitas 1,2 juta meter sebulan. "Kemacetan begitu sebenarnya sering terjadi, tapi tak pernah diberitakan sehesar sekarang ini," kata Sukar. Tapi yang menarik adalah komentar Nunung Komarudin, Humas PT Kanebo Tomen Sandang Sintetis Mills (KTSM) di Banjaran, Bandung. "Kami tak pernah menimbun stok barang di gudang. Begitu barang selesai diproses terus dikirim ke Jakarta untuk dipasarkan di seluruh Jawa dan Nusa Tenggara," katanya. Mempekerjakan 1.380 buruh, patungan PMA Jepang di Jawa Barat itu setiap bulan rata-rata menghasilkan 2,7 juta yard kain tetoron. Selera Pasaran Kabar buruk dari Bandung itu pun sampai juga ke telinga Ketua Asosiasi Pemintalan Indonesia, Musa. Mulanya dia tak habis pikir bisa terjadi kelebihan tekstil sebanyak itu. Sebab di pabriknya, PT Daya Manunggal, tak ada tekstil yang menumpuk. "Saya tidak merasakan adanya keresahan, mungkin karena produk yang kami hasilkan sudah termasuk standar," kata Dir-Ut PT Daya Manunggal itu kepada TEMPO. Dia mengakui terjadi penurunan harga, akibat pasaran yang rada lesu. "Tapi itu kan soal biasa," katanya. Namun begitu orang yang makan garam di bisnis tekstil itu tak mengelak adalah penurunan SE itu yang membuat jantung para pengusaha tekstil berdebar. "Sejak dari mula saya menentang kebijaksanaan pemerintah yang menekan SE ini, bahkan saya sampai mundur dari jabatan ketua harian Asosiasi 'Pertekstilan Indonesia (API), karena mereka tak bereaksi terhadap penuruuan SE itu," kata Musa. Masalah penurunan SE itu pula yang diulas oleh Sumedi Wignyosumarto, direktur evaluasi dan standardisasi Ditjen Aneka Industri. Kepada Farida Sendjaja dari TEMP0, Sumedi menjelaskan penurunan bonus bagi eksportir itu memang dilakukan karena beberapa jenis barang, termasuk tekstil ada yang dianggap terlalu tinggi SF.-nya. Tapi ada juga produk-produk lain yang tadinya ada SF-nya ternyata belum masuk di dalamnya, sehingga tak memiliki SE. "Nah, ini yang bikin heboh," katanya. Direktur Sumedi lalu menjelaskan kesalahan komunikasi itu juga terjadi pada penurunan bea masuk, misalnya dalam impor kurdoroi. Menurut dia, pemerintah rupanya tak banyak mengetahui bahwa ada pabrik di Indonesia yang sudah pandai bikin bahan kurdoroi. "Kalau pengusaha memproduksikan barang tertentu, mbok ya beritahu pada lembaga atau instansi yang bersangkutan," katanya. Semula bea masuk kurdoroi setinggi 30% dari harga barang, kemudian pemerintah memotong separuh menjadi 40%. Menurut Sumedi, masalah bea masuk ini kini sedang ditinjau kembali. Toh Sumedi, yang bersama Dirjen Aneka Industri pekan lalu menginspeksi kedua pabrik yang dilanda kelebihan tekstil itu, tak menutup kemungkinan "produk yang dibuat itu tidak memenuhi selera pasaran." Ini menurut pejabat tekstil itu tak terlepas dari soal mutu. "Mungkin sekarang ini bagi mereka yang stoknya menumpuk, disebabkan mesin-mesinnya tak sesuai lagi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus