CUKUP tinggi kegemaran orang Indonesia bersolek. Ini bisa
dilihat dari jumlah konsumsi kosmetika yang mencapai Rp 8
milyar per bulan. Pasaran alat kecantikan itu menemukan
kejayaan sejak 1979. "Dalam dua tahun terakhir omset kami naik
800%," ucap V. Nico Waworuntu, manajer pemasaran PT CedeF Indo
(penyalur merk Lancome). Dari pasaran kosmetika tadi produk asal
Prancis ini diperkirakan mengambil bagian sekitar Rp 0,5
milyar/bulan.
Lancome mencapai prestasi itu rupanya karena konsumen kelas
menengah yang tergoda dengan nama Prancis sebagai pusat mode
dan kecantikan. Namun daya beli kalangan yang lebih bawah dari
yang menjadi target kosmetika dari Eropa itu ternyata jauh lebih
besar.
Untuk kalangan ini Viva kelihatannya tak tergoyahkan.
Perusahaan ini semula membuat obat APC. Setelah banjir obat dari
luar negeri tahun 1967, dia memusatkan perhatian pada
kosmetika. Kalau lipstik moon drops buatan Lancome mencapai
Rp 4.000, maka produk perusahaan swasta nasional yang berpusat
di Surabaya itu harganya cuma Rp 450. Maka tak heran Viva
merebut omset sampai Rp 1 milyar/bulan. Dengan sarana konsumen
yang sama pula Unilever bisa mengaet sekitar Rp 1,3 milyar,
hanya dari produk sabun wangi.
Namanya kosmetika, sekali mencoba, lama-lama orang ingin
meningkatkan selera. Pilihan mereka pun bersih dari barang yang
murah kepada yang harganya beberapa lipat lebih mahal dari
buatan lokal orang mau mencoba yang diimpor.
Kalau dulunya orang memakai lipstik, bedak, deodorant dari
viva, sementara shampoo buatan lidah Boeaya dan minyak rambut
keluaran Japarco, sekarang mereka mulai mencoba hasil adonan
Max Factor. Revlon Stendals, Mary Quant atau Elizabeth Arden.
Atau paling tidak mencoba merk asing buatan lokal Barclay yang
lipstiknya Rp 500-an. "Tendensi inilah yang membuat kosmetika
impor mendapat-bagian pasar yang lebih besar. Dari penjualan
yang mencapai Rp 8 milyar itu 60% menampikan bagian dari
kosmetika impor," ulas Yos E. Hudyono, Sekjen Perkosmi
(Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia).
Kosmetika impor itu meliputi 30 merk dan masuk dengan berbagai
cara. Ada yang resmi diimpor utuh, ada yang setengah jadi.
Banyak pula yang masuk secara gelap, sebagaimana yang dikatakan
beberapa pengusaha. Harganya bisa lebih murah 30%. "Sebaiknya
polisi khusus yang dibentuk Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan juga mengawasi bidang ini," kata Hudyono.
Selain selundupan dalam partai besar maupun yang kecil-kecil
berupa cangkingan orang yang baru datang dari luar negeri,
produsen resmi juga menghadapi saingan dari pengusaha "gelap"
dalam negeri yang meniru pola Taiwan. Mereka mencaplok nama-nama
merk terkenal.
Pengusaha "gelap" ini memukul beberapa produksi dalam negeri
yang memang lagi naik namanya. "Salah satu produk kami
dibikinnya anjlok sekitar 25%," ucap H. Mohamad Taha, direktur
PT Madame Iki, produsen kosmetika yang namanya berasal dari
seorang wanita warganegara Malaysia, Madame Iki yang pernah
bekerja sebagai tenaga ahli di situ.
Lulur 100% Lokal
Perkembangan pasaran kosmetika yang paling ramai adalah untuk
wangi-wangian, rias dan perawatan kulit yang mencapai 40%.
Disusul kemudian kosmetika untuk bayi, rias mata, kebersihan
badan dan kuku sebanyak 30%. Beberapa merk lokal maupun impor
juga menghasilkan kosmetika untuk kaum pria, seperti deodorant,
after shave penyegar setelah cukur) di samping minyak rambut.
Serta wewangian seperti eau de cologne dan eau de toilette
aneka merk.
Tak jauh berbeda dengan pengadaan obat-obatan, bahan baku
kosmetika 95 sampai 98% masih impor. "Bukan hanya bahan baku,"
kata Yos Hudyono "bahkan wadah pun masih diimpor. Terutama
wadah-wadah gelas dan plastik yang menuntut kualitas yang baik."
Wadah khusus itu diperlukan produsen dalam negeri sebagai bahan
pembungkus untuk produksi mereka yang akan dilempar ke luar
negeri. Mustika Ratu misalnya, sekalipun dia menyebutkan dirinya
sebagai penghasil kosmetika tradisional, harus menggunakan bahan
baku impor 40%. "Tapi kalau untuk ramuan lulur 100% bahan
bakunya lokal," 'kata Nyonya Mooryati Soedibyo Hadiningrat,
Dirut PT Mustika Ratu yang sering muncul dalam acara obat
tradisional di TVRI.
Omset Mustika Ratu setahun mencapai Rp 600 juta. Variasi
produksinya 150 macam. Sejak 1980 malahan sudah ekspor ke
Singapura dan Malaysia sebesar Rp 10 juta/bulan.
Menurut berbagai sumber, tata niaga kosmetika sendiri belum rapi
benar. Di antara produsen yang berjumlah 300 itu ada yang
mengikuti pola pedagang besar farmasi. Sebagian lagi mengikuti
pasar grosir yang menyalurkannya kepala grosir lain yang
wilayahnya lebih kecil. Barang-barang kosmetika itu
kadang-kadang bercampur dengan barang-barang kelontong. "Jalur
yang bermacam-macam ini merupakan ciri dari tata niaga
barang-barang konsumsi yang memungkinkan barang gelap menyusup,"
ulas para pengusaha yang berkumpul di Perkosmi. Sedangkan
importir lebih senan menjual kepada agen yang punya kios di
pusat-pusat perdagangan. Malahan mereka sediakan pula penasihat
kecantikan untuk mendampingi si pemilik kios.
Menurut Dirjen POM, Dr. Midian sekarang ini sudah diperlukan
peraturan untuk mengatur expire date (batas waktu pemakaian)
dan pencantuman keterangan cara memakai untuk melindungi
konsumen. itu dikemukakana menjelang lokakarya tentang
Perlindungan Kesehatan Terhadap Kesehatan yang dilakukan POM
8-10 September di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini