Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Halo Perumtel, Mau Tinggal Landas

Wawancara tempo dengan dirut cacuk soedaryanto,40, tentang pembenahan dan strategi perumtel. dalam pelita iv pemasangan sst belum mencapai target. perumtel menawarkan kontrak bagi hasil kepada swasta.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON dewasa ini masih terhitung barang mewah. Padahal, di Jakarta misalnya, ada sekitar 30% (65.000) pesawat telepon, yang berfungsi tidak lebih dari sekadar pajangan di rumah-rumah. Menurut data Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel), semua pesawat itu sama sekali tidak pernah dimanfaatkan. Tapi citra telepon sebagai barang mewah akan dihilangkan pemerintah. Kebijaksanaan itu tercermin pada tarif pemasangan telepon yang telah diturunkan Soesilo Soedarman, Menparpostel (Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi) yang baru. Tarif pemasangan di Jakarta diturunkan dari Rp 800.000 menjadi Rp 500.000. Padahal, banyak orang kaya berani bayar Rp 3,5 juta, hanya untuk sebuah sambungan telepon saja. Tugas mengubah citra tentulah dibebankan pada manajemen Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi). Penunjukan Cacuk Soedaryanto sebagai Direktur Utama Perumtel -- menggantikan Willy Munandir -- Juli lalu, tampaknya bukan sekadar pergantian rutin. Cacuk Soedaryanto, 40 tahun, bukan orang dalam Perumtel. Tapi pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, itu diharapkan mampu membenahi Perumtel. Karir Cacuk, insinyur pertambangan lulusan ITB 1973, sebenarnya dimulai dari perusahaan internasional IBM di Jakarta. Dalam tempo enam tahun, ia berhasil mencapai posisi manajer pemasaran. Setahun kemudian (1980) Cacuk melompat ke PT Indosat. perusahaan yang mengelola telepon internasional. Di situ ia menjabat direktur operasi, kemudian direktur pengembangan dan pembangunan PT Indosat. Cacuk telah menempuh pendidikan (tertinggi), Sespa khusus Departemen Perhubungan dengan predikat lulusan terbaik (1982) dan kursus reguler Lemhanas 1986 dengan predikat lulusan terbaik pula. Ketika baru dilantik, Cacuk menolak diwawancarai TEMPO. Baru setelah 43 hari, Direktur Utama Perumtel itu memenuhi janjinya untuk diwawancarai, sekaligus berkunjung ke kantor TEMPO Jakarta. Wawancara kemudian disambung di kantornya, Gedung Sate Bandung. Petikan wawancara itu: Apa sasaran, strategi, dan modal untuk membenahi Perumtel? Gampang diingat karena rumusnya cuma 3-2-1. Tiga sasaran pokok Perumtel yakni mengupayakan pelayanan terbaik. Ini jelas untuk konsumen. Sebab, Perumtel adalah perusahaan jasa. Dari situ, baru menuju sasaran kedua, yakni memberikan hasil terbaik. Hasil terbaik ini diberikan kepada pemilik Perumtel: pemerintah, masyarakat, dan staf Perumtel. Kedua sasaran tadi kami harap akan menghasilkan citra Perumtel yang lebih baik, dan itulah sasaran ketiga. Sedangkan modalnya cuma satu, yakni kerja sama. Kami tak ingin slogan-slogan mistik, dan kami yakin mampu meraihnya. Untuk mencapai tiga sasaran tadi kami telah menyusun dua strategi: pendayagunaan seluruh sistem yang ada, dan pengembangan sumber daya manusia. Sudah jalan? Kami mengusahakan sistem dalam Perumtel sepadan dalam ukuran mikro dan skala Perumtel, juga sejalan dengan lingkangannya. Misalnya, Perumtel harus bisa bekerja sama dengan PT Inti. Selama ini masing-masing menyusun program dan laporan kepada Dirjen (Telekomunikasi). Tapi sekarang, kami telah berhasil mengajak direksi PT Inti untuk duduk semeja, sama-sama menyusun kertas kerja sama. Misalnya, Jakarta membutuhkan sekian ratus ribu sambungan telepon, sentralnya berapa. Nantinya juga akan kami lakukan dengan kontraktor, misalnya dalam membangun sebuah gedung. Pengembangan sumber daya manusia itu yang bagaimana? Begini. Perumtel, dengan 42.000 karyawannya, baru bisa memasang 250.000 satuan sambungan telepon (SST). Sampai akhir Pelita IV, Maret 1989, kami perkirakan hanya akan bertambah 154.000 SST, sehingga total yang bisa dipasang dalam Pelita IV 410.000 SST. Jauh di bawah target, 1.052.000. Jadi, selama Pelita IV, produktivitas satu karyawan hanya sekitar 10 SST? Ya. Sasaran Repelita V adalah memasang 1.400.000 SST. Berarti, produktivitas karyawan Perumtel harus ditingkatkan menjadi tiga kali kemampuan sekarang. Bukan berarti jumlah karyawan ditambah tiga kali lipat. Yang dibutuhkan terutama adalah tenaga pemimpin. Pemimpin adalah manusia yang berpengetahuan banyak (knowled-geable), berbakat (aptitude) baik, jujur (integrity), dan baik kepemimpinannya. Jadi, bukan sekadar manajer. Dalam bahasa saya, haruslah seorang manajer bos. Apakah harus dari luar Perumtel? Saya dan beberapa direktur datang dari luar Perumtel. Tapi, pemimpin yang saya cari nantinya prioritas orang dalam. Kami mempunyai kampus pendidikan yang mewah, luas 9,4 ha di Jalan Geger Kalong (Bandung). Saya ingin lampunya menyala 24 jam untuk pendidikan. Saya mempunyai rekan (pakar manajemen Indonesia) dan mereka mau bicara di situ. Ini masalah kualitas-tenaga kerja, bukan mesin. Perumtel adalah perusahaan jasa teknologi mutakhir. Tenaga kerja sarjana yang dimilikinya hanya 1,5%. Seharusnya, menurut saya, 10% - 15%. Tidak harus semuanya bertitel sarjana lengkap atau insinyur. Juga tidak harus S1. Yang kita perlukan orang-orang yang berpola pikir sebagai manajer, sebagai tenaga ahli, yang mempunyai kualifikasi setingkat S1. Jadi, akan ada pendelegasian wewenang? Ya. Setiap Kawitel (Kepala Wilayah Telekomunikasi) diberi wewenang untuk mengontrol, termasuk mengontrol dirinya sendiri. Itu sudah diatur dengan SK sejak Agustus lalu. Kini, Kawitel harus mampu mengontrol proyek-proyek bernilai sampai Rp 500 juta, dahulu hanya sampai Rp 20 juta. Tingkat Pusat hanya akan mengendalikan proyek-proyek bernilai Rp 500 juta ke atas. Proyek sampai Rp 2 milyar membutuhkan keputusan tingkat direktur atas nama direksi, sedangkan Rp 2 milyar - Rp 3 milyar membutuhkan keputusan direktur utama. Berapa besar anggaran Perumtel? Anggaran yang dijanjikan pemerintah untuk Repelita V sekitar Rp 5 trilyun. Jumlah itu sebenarnya hanya cukup untuk menutup kebutuhan pemasangan sekitar 600.000 SST, sementara target adalah 1,4 juta SST. Karena itu, Perumtel kini mengajak kerja sama dengan swasta. Sistem yang kami tawarkan adalah kontrak bagi hasil (revenue sharing), mirip yang dilakukan PT Jasa Marga di jalan tol. Sudah sekitar 13 perusahaan berminat, lima perusahaan lokal dan delapan perusahaan asing. Apa bedanya sistem revenue sharing itu dengan user credit yang telah dihapuskan Menteri Soesilo Soedarman. Begini. Investasi untuk pemasangan setiap pesawat telepon itu terdiri atas dua rangkaian. Rangkaian pertama, dihitung mulai dari pemasangan pesawat telepon di rumah-rumah sampai ke sentral telepon otomat. Komponen biayanya, sekitar 60% membutuhkan valuta asing, dan 40% dibiayai dengan anggaran rupiah. Biayanya sekitar US$ 2.060. Dalam sistem user eredit itu, swasta hanya mau menanggung investasi di jaringan pertama tadi. Tapi, jaringan telepon tidak cuma sampai di situ. Ada sentral telepon otomat, ada kabel di bawah laut, ada Palapa, dan lain-lain. Ini juga harus dihitung. Inilah yang akan diterapkan dalam sistem revenue sharing. Investor swasta diminta ikut menanggung investasi Perumtel di STO dan jaringan antar-STO. Selain itu, mereka tidak boleh memasang tarif sendiri, tapi harus ikut tarif Perumtel. Kalau biaya untuk investasi bagian pertama tadi saja mencapai US$ 2.060 per SST, apakah tarif pemasangan telepon yang berkisar Rp 200.000 di daerah dan Rp 500.000 di Jakarta tidak merugikan? Itu kata Anda. Beberapa pengusaha juga mengatakan bahwa tarif pemasangan telepon harus dinaikkan. Tapi, ini kebijaksanaan pemerintah. Perumtel 'kan agen pembangunan, yang harus melayani semua golongan masyarakat. Betul bahwa tarif Rp 3,5 juta laris seperti kacang goreng. Tapi, apakah semua orang mampu? Untuk mengimbangi itu, pemerintah menugasi Perumtel membangun telepon umum. Jumlah telepon umum sekarang belum mencapai 1% dari jumlah SST yang terpasang. Tapi dalam Pelita V nanti, Perumtel diharuskan membangun sekitar 2% telepon umum dari total SST. Berapa rata-rata penerimaan dari pulsa setiap SST sekarang? Ini masih harus dihitung. Tapi sekadar bayangan, kantor-kantor di segi tiga emas Jakarta (Jalan Thamrin-Sudirman, Gatot Subroto, dan Kuningan) membayar pulsa rata-rata di atas Rp 200.000 setiap bulan. Di sekitar Kebayoran, misalnya, rata-rata hanya membayar sekitar Rp 20.000 sebulan. Bahkan sekitar 30% pelanggan di Jakarta tak pernah memakai pulsa. Telepon di perumahan kalau begitu kurang produktif. Lalu, apakah ada untung? Oh, ya. Pada tahun buku 1986, Perumtel mencatat laba sekitar Rp 134 milyar. Sekitar 55% harus disetorkan kepada pemerintah sebagai dividen, atau istilahnya dana pembangunan semesta. Sekitar 25% dipakai untuk investasi lagi, dan sisanya untuk pembiayaan karyawan. Keuntungan tadi sudah dipotong pajak. Perumtel juga mendapatkan penghargaan sebagai salah satu perusahaan pembayar pajak terbesar. Kami membayar pajak Rp 53 milyar, ranking pertama di Jawa Barat, ranking kedua nasional. Berapa pendapatan Perumtel? Total penerimaan tahun 1986 sekitar Rp 800 milyar. Target kami tahun 1989 nanti, tembus angka Rp 1 trilyun. Tapi, itu kalau telekomunikasi diberi prioritas tinggal landas lebih dahulu bersama pertanian dan industri. Anda sangat terbuka. Apakah Perumtel mau go public? Saya memang diminta Menteri Soesilo supaya terbuka. Alasannya bukan hanya itu. Kami sebagai pimpinan Perumtel memang sangat ingin go public. Masalahnya masih terbentur pada ini (sambil memperlihatkan buku kuning auditing BPKP). Anda tahu, untuk go public, laporan keuangan harus dalam posisi unqualified. Dan itu adalah target kami juga. Sebenarnya, Perumtel tidak usah menunggu masa tinggal landas. Menurut laporan Bank Dunia 1988, Indonesia sebagai negara yang luas, butuh telekomunikasi yang modern, efisren, dan adekuat. Prioritas investasi pemerintah di bidang telekomunikasi pada tahun 1970-an cukup besar. Tapi dalam penilaian Bank Dunia, investasi pemerintah harus dibendung. Banyak proyek sudah dibangun, ternyata masih perlu diefisienkan. Antara lain memaksimalkan STO-STO serta kapasitas transmisinya. Baru pada periode akhir 1990-an, investasi pemerintah boleh ditambah. Untuk STD (Sentral Telepon Digital), apakah dengan tender? Ya, tentu. Tapi mengapa ada PT Nusamba? Atau yang menang tender akan bekerja sama dengan Nusamba? Saya tidak tahu, saya tidak mendengar soal itu. Yang penting, pemilihan dilakukan oleh para pakar, karena itu BPPT ikut. Lalu dengan digital, untuk mengejar lima tahun pertama saja, masih merupakan pertanyaan. Mungkin bisa 800 sampai 900 ribu. Kekurangannya itulah yang mendorong pemikiran ke arah sistem kedua. Kalau ada sistem kedua, 'kan ada saingan, 'kan ada tender lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus