Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tingkat Pengangguran Tinggi, Karyawan Sulit Dicari

Riset mendapati 46 persen perusahaan kesulitan mendapatkan calon karyawan. Ironisnya, ada 7,2 juta orang yang mencari kerja.

26 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Riset Populix mendapati 46 persen perusahaan kesulitan mendapatkan calon karyawan.

  • Fakta itu menjadi ironi di tengah tingginya angka pengangguran di Indonesia yang mencapai 7,2 juta orang.

  • Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyebutkan pendidikan vokasi menjadi penyumbang tingginya angka pengangguran. 

INI adalah ironi dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia: di tengah angka pengangguran yang tinggi, perusahaan justru sulit mendapatkan pegawai baru. Riset Populix mendapati 46 persen perusahaan kesulitan mendapatkan calon karyawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data itu didapat dari survei terhadap 100 perusahaan, lebih dari 1.000 pencari kerja, dan analisis 1 juta data situs web pencari kerja KitaLulus pada Juni 2024. Hasil riset ini disampaikan pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Padahal data Badan Pusat Statistik atau BPS menunjukkan ada 7,2 juta orang Indonesia yang menganggur per Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka itu, menurut Populix, menunjukkan banyak pencari kerja di Indonesia yang belum memiliki pengalaman, keterampilan, dan tingkat pendidikan yang dianggap cukup bagi pemberi kerja. Sebanyak 50 persen perusahaan menyebutkan keterampilan teknis pelamar tergolong rendah. Adapun 35 persen perusahaan menyebutkan keterampilan lunak atau soft skill pelamar belum cukup baik. Tingkat pendidikan pelamar juga tidak seperti yang diharapkan perusahaan.

Warga berjalan di trotoar saat berangkat kerja di kawasan Sudirman, Jakarta, November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Kepala Riset Sosial Populix Vivi Zabkie mengatakan analisis terhadap 1 juta data pelamar kerja dan permintaan tenaga kerja di KitaLulus menunjukkan makin tinggi tingkat pendidikan yang dibutuhkan perusahaan, makin besar pula kesenjangan dengan ketersediaan tenaga kerjanya. Hal yang sama juga berlaku pada kebutuhan akan pengalaman kerja.

Di sisi lain, para pencari mengeluhkan sulitnya mendapatkan pekerjaan. Mereka rata-rata memberi skor 5,02 dari rentang 1 sampai 10 atau cukup sulit. Mereka mengaku terhambat persyaratan pengalaman (63 persen), tingkat pendidikan (58 persen), dan batasan usia (53 persen). “Jika dilihat lebih dalam ihwal pendidikan, terjadi mismatch antara jumlah pencari kerja dan jumlah lowongan yang tersedia,” kata Vivi.

Ketersediaan jumlah lowongan untuk lulusan sekolah menengah pertama (13 persen), S-1 (16 persen), dan S-2 (19 persen) masih sedikit dibanding jumlah pencari kerja. Di samping itu, secara rasio jumlah pencari kerja, pencari kerja lulusan ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam cukup banyak, tapi jumlah lowongan kerja yang tersedia sedikit.

Kondisi ketimpangan ini membuat pencari kerja yang masih menganggur merasa lebih tidak percaya diri. “Responden pencari kerja yang belum memiliki pekerjaan lebih banyak yang merasa insecure karena lebih banyak mengungkapkan kesulitannya, seperti pengalaman yang dibutuhkan terlalu tinggi (68 persen), tingkat pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi (59 persen), serta khawatir akan banyaknya pesaing (53 persen),” kata Vivi.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan pendidikan vokasi menjadi salah satu penyumbang angka pengangguran. Menurut dia, pendidikan vokasi seharusnya menjadi jalan pintas agar anak muda bisa lebih cepat masuk ke pasar kerja. "Tapi memang ada problem karena pendidikan vokasi justru menjadi penyumbang angka pengangguran karena output-nya belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan dunia kerja," kata Ida dalam wawancara khusus yang dimuat di majalah Tempo edisi 19 Agustus 2024.

Kementerian Ketenagakerjaan akan menyiapkan pasar kerja yang nantinya menjadi acuan pelaku usaha dan institusi pendidikan. Pelaku usaha menyampaikan apa kebutuhan mereka untuk lima tahun ke depan, lalu sektor pendidikan merespons agar tidak ketinggalan. "Kalau sekarang kan banyak sekali sekolah kejuruan yang tidak relevan dengan kebutuhan industri," ujar Ida. "Maka malah menimbulkan pengangguran."

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. TEMPO/M Taufan Rengganis

Kementerian juga menyiapkan sistem informasi pasar kerja sebagai ekosistem ketenagakerjaan. Di sana, para pencari kerja bisa dipertemukan dengan pemberi kerja. "Para pencari kerja juga bisa melihat tren kebutuhan tenaga kerja seperti apa," kata Ida.

Indriastuti Kusumawardhani, konsultan senior Daya Talenta Indonesia, mengatakan ilmu vokasi tetap akan dibutuhkan. Apalagi saat ini industri kian beragam sehingga bisa menyerap tenaga kerja yang tersedia. "Masalahnya, banyak perusahaan yang enggan memberikan training kepada calon karyawan dengan alasan enggan mengeluarkan biaya tambahan," ujarnya. "Sehingga perusahaan lebih suka merekrut pekerja yang sudah berpengalaman sekian tahun."

Ada lagi faktor ketidakcocokan budaya dengan komunikasi. Indriastuti mengatakan saat ini pencari kerja didominasi oleh kelompok generasi Z—kelahiran 1997-2012. Di lain pihak, pemberi kerja kebanyakan generasi X (lahir antara 1965 dan 1980) dan milenial (lahir pada 1981-1996).

Dari klien perusahaannya, Indriastuti kerap mendengar tuntutan para pekerja gen Z untuk bisa bekerja dari luar kantor seperti saat masa pandemi Covid-19. "Gen Z cenderung ingin lebih memiliki keleluasaan dalam bekerja. Padahal tidak semua pekerjaan bisa dilakukan dari rumah," katanya.

Indriastuti menyarankan gen Z menambah ilmu dan wawasan dengan mengikuti berbagai kursus online ataupun offline untuk menambah keahlian. Sebaliknya, dia melanjutkan, para perusahaan perlu memberikan layanan kelas online ataupun pelatihan offline bagi karyawan baru yang kebanyakan gen Z. Layanan tersebut harus digelar dengan harga terjangkau agar bisa diakses oleh lebih banyak pencari kerja yang baru menamatkan sekolah atau perguruan tinggi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus