Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat melemah menjelang akhir tahun.
The Fed tak punya cukup ruang untuk menurunkan suku bunga.
Bank Indonesia membeli surat utang pemerintah Rp 150 triliun.
SEPEKAN terakhir, alarm bahaya menyala. Rupiah kian terancam. Dengan cepat kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot ke kisaran 16.300 per dolar, jauh melampaui batas psikologis 16 ribu yang dianggap sebagai ambang bahaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penurunan itu patut menjadi perhatian serius karena, selain berlangsung relatif cepat, justru terjadi ketika The Federal Reserve mengumumkan pemangkasan bunga sebesar 0,25 persen, Kamis, 19 Desember 2024. Biasanya penurunan bunga The Fed membawa nilai rupiah dan mata uang negara berkembang lain melonjak. Kali ini yang terjadi justru sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa demikian? Ketika menurunkan bunga, The Fed juga memberi sinyal pembalikan arah kebijakan. Tahun depan, The Fed akan lebih mengutamakan upaya menjaga inflasi. Sinyal itu muncul karena tingkat inflasi di Amerika Serikat ternyata masih bertahan cukup jauh di atas 2 persen yang merupakan target The Fed. Per November 2024, angka inflasi tahunan di Amerika sebesar 2,7 persen—malah naik ketimbang pada bulan sebelumnya yang cuma 2,6 persen.
The Fed tak bisa berharap tingkat inflasi di Amerika Serikat akan menurun tahun depan. Pangkal soalnya: Presiden Amerika terpilih, Donald Trump, sudah menegaskan akan mengibarkan perang dagang dengan menaikkan tarif impor produk yang tak hanya berasal dari Cina, tapi juga dari negara tetangga seperti Kanada dan Meksiko. Harga berbagai barang, baik untuk konsumsi maupun kebutuhan industri di Amerika, akan naik.
Kebijakan itu membuat The Fed tak punya cukup ruang untuk menurunkan bunga. Bahkan, sebaliknya, bukan tak mungkin pada tahun depan tren pergerakan bunga di Amerika Serikat berbalik naik lagi jika tingkat inflasi benar-benar melonjak tinggi akibat perang dagang yang dikobarkan Trump.
Bunga tinggi The Fed sudah pasti akan merambat ke seluruh dunia. Beban ini akan menyulitkan banyak pihak, termasuk pemerintah Indonesia yang punya utang besar kepada pasar lewat penjualan obligasi. Bunga utang pemerintah akan ikut terkerek naik. Jika hendak berutang pada tahun depan, pemerintah harus mengeluarkan ongkos bunga lebih besar.
Pada gilirannya, segala macam bunga di dalam negeri pun akan mengikuti, naik bersama-sama. Ekonomi Indonesia yang kini sedang melambat bakal makin terbebani. Berbagai bisnis makin sulit mencari profit karena ongkos modal makin mahal. Daya beli konsumen terhadap barang-barang bernilai tinggi yang penjualannya bergantung pada kredit, seperti mobil dan rumah, bakal tertekan. Akumulasi semua faktor itu membuat nilai rupiah merosot.
Masih ada lagi satu hal yang bisa membuat nilai rupiah makin luruh. Pekan lalu, Bank Indonesia mengumumkan rencana pembelian obligasi pemerintah yang jatuh tempo senilai Rp 150 triliun. Kebijakan serupa pernah berlangsung pada masa pandemi Covid-19 dengan bungkus berbagi beban alias burden sharing. BI turun tangan mendanai pemerintah yang sedang mengalami kesulitan keuangan.
Kini, ketika pandemi sudah lama lewat dan kondisi keuangan pemerintah relatif baik-baik saja tanpa ancaman krisis, kebijakan ini malah muncul kembali. Ini jelas pertanda buruk: Indonesia makin gampang memilih jalan pintas yang berbahaya. Bagi pasar, ini sebuah sinyal terang benderang bahwa Indonesia makin jauh meninggalkan praktik manajemen makroekonomi yang pruden.
Ekonom menyebut kebijakan itu sebagai monetisasi utang pemerintah alias debt monetization. Bank sentral yang seharusnya selalu bertindak independen menjaga nilai mata uang malah “mencetak uang” untuk membantu pemerintah mengongkosi anggaran. Risiko kebijakan ini sungguh besar.
Banyak contoh negara yang mengalami nasib buruk karena mengambil pilihan itu. Krisis yang terjadi di Argentina pada 1980-an bisa menjadi pelajaran. Serentetan konsekuensi buruk bermula dari runtuhnya keyakinan pasar kepada bank sentral. Berikutnya, nilai mata uangnya terus merosot. Lalu muncul hiperinflasi. Dan akhirnya seluruh ekonomi jatuh terjerembap terbelit krisis.
Di pengujung 2024 ini, pemerintah dan BI malah mengambil opsi kebijakan yang sungguh berisiko itu. Maka ada satu doa amat penting di malam tahun baru nanti: semoga keberuntungan Indonesia masih berlanjut pada 2025. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo