Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Hanya 1 Dari 83 Orang Lulusan Teknik Jadi Insinyur Profesional

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan Indonesia kekurangan insinyur profesional.

4 Juli 2018 | 17.57 WIB

Sakakibara Kikai, seorang insinyur mengendalikan kontrol robot Mononofu buatannya saat demonstrasi di pabriknya di desa Shinto, Gunma, Jepang, 12 April 2018. Kikai menyewakan robotnya sekitar 100.000 yen ($ 930) per jam, untuk pesta ulang tahun anak-anak dan hiburan lainnya, katanya. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Perbesar
Sakakibara Kikai, seorang insinyur mengendalikan kontrol robot Mononofu buatannya saat demonstrasi di pabriknya di desa Shinto, Gunma, Jepang, 12 April 2018. Kikai menyewakan robotnya sekitar 100.000 yen ($ 930) per jam, untuk pesta ulang tahun anak-anak dan hiburan lainnya, katanya. REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan Indonesia kekurangan insinyur profesional sehingga pengembangan teknologi tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. "Kebutuhan sarjana teknik berkualitas sangat dibutuhkan, apalagi ada liberalisasi sektor jasa. Salah satu profesi yang terbuka di Komunitas Ekonomi ASEAN," katanya di kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Kota Bandung, Rabu, 4 Juli 2018.

Baca: Sinyal Darurat Krisis Insinyur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ia mengatakan banyak lulusan teknik atau insinyur yang kemudian tidak menekuni bidangnya dan memilih bekerja di sektor lain. Dalam catatannya, terdapat sekitar 750 ribu lulusan teknik di seluruh Indonesia dan hanya 9.000 orang yang fokus pada profesi insinyurnya. Artinya, hanya 1 dari 83 lulusan teknik yang fokus menjadi insinyur. "Insinyur bukan sekadar gelar akademik. Mereka sarjana, tapi ada profesinya," ujar Bambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat lulusan teknik tidak fokus pada profesinya, yakni seseorang yang kuliah di jurusan teknik hanya mengejar titel. "Mereka mungkin dapat gelar dari ITB. Jadi, setelah lulus, dia ingin bekerja apa saja," ucapnya.

Selain itu, kata dia, iklim perguruan tinggi yang dinilai kurang memberikan wadah atau menciptakan minat mahasiswanya untuk terus berkarier sebagai insinyur. "Atau mungkin dari pemerintah juga kita kurang memperhatikan penghargaan yang cukup untuk profesi insinyur, baik dalam lapangan kerjanya maupun skema remunerasi. Jadi ini hal-hal yang harus diperbaiki kalau kita ingin punya insinyur lebih banyak," tuturnya.

Baca: Rilis Profesi Insinyur Robotika, Barbie Hadir Tanpa Hak Tinggi

Karena itu, ia mendorong agar semua perguruan tinggi di Indonesia, khususnya yang fokus terhadap teknik, terus melahirkan lulusan yang unggul dan berkualitas. Ia optimistis banyaknya insinyur yang tetap bekerja sesuai dengan bidangnya akan membuat Indonesia menjadi negara maju pada 2045. "Tidak lagi semata mata Cina atau India. Sudah saatnya Indonesia menjadi negara ketiga yang terdepan dalam teknologi informatika," katanya.

Semua negara maju di dunia memiliki industri berbasis manufaktur yang didukung subsektor jasa. Untuk bisa sukses mengelola dan memajukan industri berbasis manufaktur, riset dan pengembangan memegang porsi menentukan, serta pengawalnya adalah para insinyur.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus