Kehadiran Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ternyata tidak mengurangi sengitnya persaingan perdagangan antarbangsa di atas muka bumi ini. Perang dagang, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan, tetap berkobar di berbagai kawasan. Praktek dumping—yang merupakan bentuk sederhana dari perang dagang—banyak dilakukan dengan menjual barang di pasar ekspor pada harga lebih murah daripada harga domestik. Akibatnya, negara yang terkena membalasnya dengan menerapkan bea masuk antidumping, demi menghambat kehadiran produk impor tersebut. Jika itu tidak dilakukan, produk dalam negeri bakal tidak laku dan banyak pabrik ditutup serta ribuan karyawan menganggur. Rentetan dampaknya sangat panjang, mulai dari kehilangan devisa sampai meningkatnya pengangguran.
Sejauh yang menyangkut dumping, tak semua tuduhan mengenai dumping itu benar. Dalam banyak hal, negara yang terkena krisis ekonomi seperti Indonesia juga secara tidak fair dituduh melakukan dumping. Hal itu terjadi karena nilai tukar yang melemah sehingga produk Indonesia menjadi sangat murah. Tak mengherankan jika selama lima tahun terakhir Indonesia mendapatkan 92 tuduhan dumping dari berbagai negara.
Dari negara-negara pesaing, Uni Eropa menjadi salah satu kawasan paling protektif. Bahkan Uni Eropa menuduh Indonesia melakukan dumping untuk produk sepeda, padahal ekspor sepeda Indonesia ke Eropa hanya US$ 11 juta atau 1 persen dari pasar sepeda di sana. Dengan ekspor sekecil itu, produk Indonesia sebenarnya tak akan bisa membangkrutkan industri lokal.
Walaupun dalam kasus sepeda tuduhan dumping tidak beralasan sama sekali, Indonesia terus dilabrak bertubi-tubi. Sekretaris Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI), Bachrul Chairi, mengungkapkan bahwa dari 92 kasus itu, 36 kasus dihentikan, 27 dalam proses tuduhan, 27 terkena bea masuk antidumping, dan 2 kasus tuduhan dumping mungkin akan segera diajukan ke Indonesia. Sepanjang tahun ini saja Indonesia menerima tuduhan dumping, subsidi, dan bea masuk yang terlalu tinggi dari 13 negara tujuan ekspor. Beberapa produk yang terkena tuduhan dumping antara lain produk baja, sepeda, bahan baku tekstil seperti polyester dan purified terephtalic acid (PTA), polyester staple fibre (PSF), po-lyester film, dan juga bahan baku ban (nylon tyre cord fabric) serta lampu (filament).
Dampak tuduhan dumping ini juga sangat berat. Paling tidak, ekspor Indonesia bakal terhambat, dan nilai eksporya juga tidak kecil. Salah satu dari produk ekspor itu adalah pelat baja hitam (hot rolled carbon steel/HRC) dengan total ekspor HRC ke Amerika Serikat setiap tahunnya mencapai US$ 52 juta. Nah, begitu dikenai bea masuk antidumping 47,86 persen, produk Indonesia jadi sulit bersaing. Contoh lain adalah polyester. Setiap tahun Indonesia mengekspor paling tidak US$ 2,7 miliar. Tapi devisa sebesar itu tak bisa dinikmati lagi gara-gara pasarnya dihambat. ”Akibat tuduhan dumping ini sangat besar. Indonesia bakal kehilangan devisa hasil ekspor senilai US$ 7,7 miliar (Rp 77,5 triliun),” katanya.
Besarnya kehilangan devisa itu terjadi karena begitu ada produk Indonesia yang dinyatakan melakukan dumping, bea masuk antidumping langsung dikenakan terhadap seluruh produk sejenis. Padahal, di luar produsen yang dituduh melakukan dumping, tak ada perusahaan lain yang melakukan dum-ping. Akibatnya, yang terganggu ekspornya bukan saja perusahaan tertentu, melainkan seluruh sektor usaha tersebut. Inilah yang sangat memberatkan Indonesia. ”Tapi, itulah yang terjadi,” kata Bachrul yang juga Direktur Pengamanan Pasar Direktorat Jenderal Kerja Sama Lembaga Internasional dan Perdagangan Internasional Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Bagaimanapun, potensi kehilangan devisa sampai US$ 7,7 miliar jelas tak bisa dianggap enteng. Devisa sebesar itu kira-kira setara dengan ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia selama setahun. Karena itu, kalangan pengusaha dan pemerintah harus bekerja sama melawan berbagai tuduhan dumping ini. Bachrul mengakui bahwa tidak mudah menangkal tuduhan itu. Tapi itu harus dilakukan. Sejauh ini, hasilnya memang lumayan. Paling tidak, lebih dari sepertiga kasus tuduhan dumping akhirnya dibatalkan. Sepertiga lagi sedang dalam proses. Salah satu contoh perlawanan Indonesia adalah dalam produk HRC. Pihak petitioner (yang mengajukan tuduhan dumping) menghitung margin dumping 59,25 persen, dan subsidi 31,12 persen. Tapi, setelah ada klarifikasi dari pihak Indonesia, margin dumping yang disepakati hanya 10,21 persen.
Indonesia memang harus bekerja keras mengatasi tuduhan dumping ini. Apalagi beberapa dari tuduhan dumping tersebut ditujukan kepada produk andalan ekspor Indonesia seperti bahan baku tekstil, yang selama ini menjadi pengekspor terbesar. Jika tidak melakukan apa-apa, Indonesia akan dijadikan mainan oleh negara lain. Lagi-lagi, industri baja menjadi contohnya. Sudah dihambat di Amerika Serikat, produk baja Indonesia juga gagal bersaing di negaranya sendiri gara-gara produk baja impor yang harganya murah. Akibatnya, kapasitas terpakai industri baja nasional kini cuma 20 persen dari kapasitas produksi 1,8 juta ton per tahun. Dampak ikutannya adalah pengurangan karyawan besar-besaran. Nah, malapetaka seperti ini tentu perlu dihindarkan, bukan?
M. Taufiqurohman, Rommy Fibri, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini