Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Dibiarkan Sekarat

Boma Bisma Indra dan Barata Indonesia secara teknis sudah bangkrut. Mengapa kedua BUMN strategis ini kalah dari para pemain baru?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya sama-sama gagah, Bisma dan Barata. Tapi kinerjanya jangan tanya. Boma Bisma Indra dan Barata Indonesia mirip kerakap tumbuh di batu, hidup payah, mati pun susah. Situasi yang dihadapinya kian runyam karena kedua badan usaha milik negara (BUMN) yang bernaung di bawah holding PT Bahana Pakarya Industri Strategis (BPIS) itu masih belum menemukan cara yang pas untuk bertahan hidup. Sebelumnya, memang ada rencana untuk penggabungan usaha (merger), tapi jalan itu kini tertutup karena banyak soal. Pekan-pekan ini manajemen Boma dan Barata malah sibuk mencari duit untuk membayar pesangon bagi ribuan karyawannya yang dirumahkan. Dua produsen mesin dan alat berat itu memang nyaris tak punya pilihan. Kinerjanya—terutama Barata Indonesia yang memproduksi alat berat—kian buruk gara-gara krisis ekonomi. Sejak 1990, Barata cuma mampu meraih laba pada 1990, 1997, dan 1999. Pada tahun-tahun lain, Barata terus merugi. Kondisi Boma Bisma Indra lebih bagus, tapi tetap saja tidak mampu bertahan hidup. Pilihan bagi BPIS memang tidak banyak. Jika mau gampang, keduanya bisa dilikuidasi. Tapi keputusan ini hanya akan membuat duit pemerintah yang ditanamkan di kedua BUMN ini—Rp 184 miliar—bakal hangus. Tapi, jika bertahan, ada banyak langkah yang harus segera dilakukan, mulai dari penciutan pegawai sampai penjualan aset. Nah, menjelang tutup tahun 2001 ini pun, belum jelas bagaimana nasib Boma dan Barata. Sekretaris Perusahaan BPIS, Nugroho Ananto, mengatakan bahwa berdasarkan kajian perusahaan konsultan AT-Kerney, ada tiga pilihan yang bisa diambil untuk menyelamatkan dua BUMN itu, yakni menggabungkannya secara langsung, menggabungkannya secara bertahap, dan peleburan. Juni lalu, pemerintah sudah memilih alternatif ketiga karena 70 persen pasar Barata dan Boma Bisma berimpitan. Tapi, menurut Nugroho, ada masalah teknis dalam penggajian yang membuat upaya penggabungan itu tidak layak. "Setelah merger, biaya gaji naik sampai 300 persen. Ya, merger jadi tidak feasible lagi," katanya. Menurut Direktur Utama Boma Bisma Indra, Tjokro Suprijadi, merger memang sulit dilakukan karena kondisinya sama-sama berat. "Bagaimana mungkin orang yang sakit digabung dengan orang yang sekarat, obatnya ya pasti mahal," katanya. Satu-satunya cara adalah dengan menyehatkan diri sendiri lebih dulu. Karena itu, dia menerima saja ketika pemerintah membatalkan rencana merger. Apalagi upaya lain juga gagal, termasuk mencari mitra, baik Indonesia maupun asing. Dengan pahit, Tjokro mengatakan bahwa tak ada perusahaan asing yang bersedia masuk ke Boma karena kondisinya yang buruk. "Mana ada perusahaan yang masuk ketika kita sakit begini," ujarnya prihatin. Keadaan yang serba tak pasti itu memang merepotkan. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengurangi karyawan. Boma, yang bergerak dalam usaha pembuatan mesin pabrik dan pembangkit listrik, misalnya, harus mengurangi karyawan 700 orang—dari 1.100 pegawai yang bekerja di sana. "Kita butuh dana Rp 25 miliar untuk membayar pesangon," kata Tjokro. Celakanya, duit untuk membayar pesangon itu belum pula tersedia. Nasib yang sama juga dialami karyawan Barata. Perusahaan ini mesti memberhentikan 90 persen karyawannya yang berjumlah 2.000 orang. Untuk itu, biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 107 miliar. Seperti Boma, duit untuk membayar PHK juga belum ada. Sejauh ini Barata baru berhasil menjual salah satu unit pabriknya di Pulogadung, Jakarta Timur, dengan harga Rp 20 miliar. Akibatnya, sebagian kecil karyawan belum bisa diberhentikan dan hanya dirumahkan dengan gaji 75 persen. Tentang ini, Direktur Utama Barata, Harsusanto, menolak diwawancarai. Semula, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan dilakukan Juli lalu, setelah proses merger selesai dengan biaya ditanggung BPIS. Tapi, setelah merger gagal, BPIS membatalkan janjinya. Boma kemudian mengundurkan jadwal pengurangan karyawan menjadi Oktober lalu. Kemudian, mundur lagi ke bulan Desember ini. "Sepertinya akan gagal lagi dan kami tak bisa menentukan kapan ini akan dilakukan," kata Tjokro. Boma memang tidak berdiam diri. BUMN hasil rasionalisasi perusahaan Belanda itu kini mencoba menjual aset-asetnya, satu di antaranya adalah gedung perkantoran lima lantai di Surabaya. Tapi, dalam kondisi perekonomian seperti sekarang, jelas tak mudah menjual aset. Nasib Boma dan Barata agaknya sudah ditentukan. Dengan tidak adanya perencanaan yang jelas, kedua BUMN ini pasti hancur. Bahana, seperti dikatakan oleh Nugroho, memang yakin bahwa kedua perusahaan ini masih bisa disehatkan secara mandiri. Tapi kondisi pasar tampaknya akan menyulitkan proses penyehatan kedua BUMN tersebut. Pasar industri alat berat kini makin dikuasai tiga besar, yakni Komatsu Indonesia (Komatsu), Natra Raya (Caterpillar), dan Hitachi Construction Machinary Indonesia (Hitachi). Sebelum krisis, ketiganya baru menguasai 87 persen pasar mesin dan alat berat di Indonesia, tapi kini sudah 94 persen. Barata dan sejumlah perusahaan lain hanya memperebutkan pasar yang tinggal 6 persen itu. Apalagi pasar industri mesin dan alat berat makin menciut sejak krisis menghantam Indonesia pada pertengahan 1997. Pada 1996 pasar industri alat berat masih bisa mencatat penjualan sampai 4.875 unit, tapi tahun lalu tinggal 1.643 atau turun hampir 70 persen. Penurunan ini terutama dipicu oleh ambruknya sektor konstruksi. Sejak krisis praktis tidak ada pem-bangunan gedung atau jalan baru. Pada 1996 sektor konstruksi mampu menyerap 55 persen pasar industri alat berat, tapi tahun lalu tinggal 11 persen. "Sektor konstruksi kini sedang tidur. Akibatnya, industri alat berat juga ikut jatuh," kata Budiarjo Sosrosukarto, Direktur Utama Komatsu Indonesia. Posisi sektor konstruksi kini digantikan oleh sektor kehutanan dan pertambangan. Inilah yang kemudian membuat Barata tumbang. Maklumlah, konsentrasi Barata memang di sektor konstruksi. Semula, BUMN ini memproduksi buldoser, road roller (mesin tumbuk), dan wheel loader, tapi kini tinggal mesin tumbuk saja. Malangnya lagi, pangsa pasar Barata juga digerogoti swasta. Pada 1999 Barata masih menguasai 55 persen pasar mesin tumbuk, sedangkan kini tinggal 25 persen. Dengan kondisi seperti itu, jelas berat bagi Barata untuk bersaing dengan pemain swasta yang langsung banting setir ke sektor kehutanan dan pertambangan, begitu krisis datang. Lain halnya Barata, yang bagaikan raksasa tambun, kurang lincah bergerak. Akibatnya, tergilas oleh yang lain. Pasar yang dimasuki Boma Bisma sama saja. Industri komponen otomotif dan mesin pabrik sama remuknya dengan industri otomotif. Begitu pula dengan industri minyak sawit dan kelistrikan. Bisa dibilang, tak ada pabrik atau pembangkit baru yang dibangun setelah krisis. Seorang pegawai Boma dengan kesal mengatakan bahwa yang membuat Boma hancur adalah karena terlalu mengandalkan proyek pemerintah seperti Semen Gresik, pembangkit listrik tenaga uap Paiton, dan sejenisnya. Sehingga, begitu pemerintah tak punya duit untuk membangun pabrik atau pembangkit baru, Boma juga ikut kolaps. "Mental manajemennya masih mental proyek," kata pegawai itu. Hal itu diperparah oleh kebijakan pemerintah yang menurunkan bea masuk untuk peralatan berat. Pada 1994, bea masuk masih 30 persen, sedangkan kini cuma 10 persen. Akibatnya, pangsa pasar produk lokal terus menurun. Pada 1994 produk lokal masih menguasai 70 persen pasar alat berat Indonesia, tapi kini tinggal 44 persen. Begitu pula kapasitas terpakai industri alat berat Indonesia yang langsung jatuh, yang pada 1994 masih sekitar 50 persen dan kini tinggal 12 persen. "Prospek industri alat berat Indonesia masih berat. Penurunan pasar kemungkinan masih akan terjadi sampai tahun depan," kata Irfin Effendi, juru bicara PT Hexindo Adiperkasa, distributor Hitachi. Direktur Utama Komatsu Indonesia, Budiarjo Sosrosukarto, juga mengemukakan hal yang sama. Menurut Budiarjo, pasar alat berat memang berkurang drastis sejak terjadi krisis. Sejumlah produsen atau perakit alat berat memang berhasil banting setir, tak hanya ke sektor yang masih punya permintaan tinggi, tapi juga ke pasar ekspor. Pada 1998 ekspor alat berat dan komponennya masih US$ 42 juta, tapi tahun lalu sudah US$ 54 juta. Bahkan pada 1999 sempat menembus angka US$ 60 juta. "Sekarang kondisinya makin berat karena permintaan dunia juga turun, termasuk Malaysia, yang menjadi pasar utama kita," kata Budiarjo. Agaknya, kelincahan itu yang tak dimiliki, baik oleh Barata maupun Boma Bisma Indra. Ketika perusahaan swasta mampu berkelit dari krisis, meski tak sepenuhnya berhasil, kedua BUMN itu malah tidak melakukan apa-apa. Akibatnya, kini keduanya juga tak mampu menyelamatkan diri. Inilah nasib fatal yang khas BUMN di Indonesia. Di pihak lain, induk perusahaan kedua BUMN ini, Bahana Pakarti, juga tidak mengulurkan bantuan. "Mereka seperti membiarkan kita sekarat menunggu ajal," kata pegawai Boma. Yang celaka siapa lagi kalau bukan 3.000 pegawai Barata dan Boma. Mereka tak ubahnya orang yang jatuh dari ketinggian dan disambut dengan batu-batu yang tajam manakala terempas di tanah. M.T., Endah W.S., Wahyu Dhyatmika (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus