Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Digebuk Lewat Pintu Belakang

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di luar negeri maupun di dalam negeri, sama saja. Barang-barang produk Indonesia dihambat atau dihajar produk impor yang harganya dibanting (dumping). Menurut Komite Anti-Dum- ping Indonesia (KADI), banyak barang impor yang harganya jauh di bawah harga di negara asalnya, mulai dari tepung terigu, carbon black (bahan baku ban), mangaan, sorbitol, sampai produk baja. Total jenderal ada 17 produk impor yang didumping. Kerugiannya jelas sangat besar. Di samping sejumlah pabrik terpaksa menganggur gara-gara kapasitas terpakainya rendah, banyak devisa dibelanjakan padahal mestinya bisa dipakai untuk membeli produk dalam negeri. Beberapa perusahaan yang terkena dampak produk dumping antara lain Bogasari Flour Mills, Krakatau Steel, dan Cabot Indonesia. Bogasari kini kewalahan bersaing dengan produk terigu dari Uni Eropa, Uni Emirat Arab, dan Australia. Mereka menjual terigu 6-36 persen lebih murah. ”Akibatnya, tahun lalu kita rugi US$ 91 juta, sementara tahun sebelumnya rugi US$ 73 juta,” kata Philip Purnama, Senior Vice President Bogasari Flour Mills, anak perusahaan Indofood Sukses Makmur. Sementara itu, Cabot Indonesia mesti menghadapi produk carbon black dari India, Korea Selatan, dan Thailand yang dijual dengan harga 40-75 persen lebih murah. Mereka menyerbu Indonesia karena kelebihan kapasitas. Thailand, misalnya, dengan kapasitas 200 ribu ton per tahun, kebutuhan dalam negeri cuma 106 ribu ton. Akibatnya, Cabot hanya bisa mengoperasikan satu dari dua pabriknya yang ada di Indonesia selama tiga tahun (1996-1999). ”Kami juga mesti menjual rugi agar bisa bersaing dengan produk impor,” kata Waspada Marbun, Direktur PT Cabot Indonesia. Begitu pula dengan Krakatau Steel dan Seapi. Keduanya mesti menghadapi produk baja impor yang harganya dibanting habis. Seapi (South East Asia Pipe Industry), misalnya, hanya bisa memproduksi dua persen dari kapasitas produksi pipa baja sebesar 100 ribu ton per tahun. Sementara itu, Manajer Penjualan Krakatau Steel, Purwono Widodo, mengungkapkan bahwa produk setengah jadi (slep baja) di pasar internasional dijual US$ 170 per ton, tapi di Indonesia produk jadi seperti baja pelat hitam (hot rolled coil) impor bisa diperoleh dengan harga US$ 180 per ton. Kerugian yang mesti ditanggung produsen memang luar biasa. Sekretaris KADI, Bachrul Chairi, mengatakan bahwa jika produk dumping tadi bisa ditangkal dengan bea masuk antidumping, banyak investasi yang bisa diamankan dan devisa yang dihemat. Dalam hitungan KADI, investasi produk-produk yang dihantui masalah dumping mencapai Rp 6,6 triliun. ”Jika tidak ada gangguan dumping, kita bisa menghemat paling tidak US$ 350 juta dalam lima tahun ini,” katanya. Tapi banyak kalangan mengingatkan bahwa masalah ini harus dilihat dengan hati-hati, terutama untuk perusahaan yang memiliki pangsa pasar yang besar di dalam negeri. Dalam kasus Bogasari, misalnya. Perusahaan milik Grup Salim ini sudah sekitar 30 tahun menguasai 87 persen pasar terigu di Indonesia karena mendapatkan hak monopoli dari Bulog. Kini, dengan masuknya produk terigu dumping, pasar jadi lebih terbuka. Terbukti penguasaan pasar Bogasari turun sampai 67 persen. Dan konsumen diuntungkan oleh pasar yang terbuka itu. Pokoknya, kunci persoalan dumping ini tetap pada kompetisi yang terbuka. Jika pasarnya menawarkan peluang bagi terjadinya kompetisi, produk dumping akan merusak pasar. Produk lokal bakal kalah bersaing dengan barang impor yang jelas-jelas mengabaikan faktor biaya produksi. Sebaliknya, jika pasarnya dimonopoli, konsumen akan sulit mendapatkan harga yang fair. Karena itu, pengenaan bea masuk antidumping untuk menangkal barang impor yang dibanting tidak sepenuhnya tepat. Kasus semen di Filipina bisa menjadi contoh. Di negara itu, produsen semen lokal yang dikuasai pabrik semen dunia seperti Cemex (Meksiko) dan Lafarge (Prancis) menjual semen dengan harga US$ 70-80 per ton. Padahal di pasar internasional harga semen hanya US$ 40-50 per ton. Lalu pasar Filipina dibanjiri produk Taiwan yang dijual 30-40 persen lebih rendah dari harga lokal. Akibatnya, pro-dusen semen setempat ambruk. Tapi konsumen bisa menikmati harga yang pantas. Dalam hal ini konsumen memang diuntungkan, tapi akan lebih baik lagi bila produsen juga bisa diselamatkan. M.T., Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus