SIAPA sangka, ketentuan pemerintah untuk tidak memeriksa ulang barang impor yang bernilai di bawah 5.000 dolar AS telah secara tak langsung merugikan seorang kuli tinta. Bibir wartawan itu sampai pecah dan matanya bengkak. Ini terjadi Jumat pekan lalu, ketika wartawan Berita Buana, H. Robert Garty dihajar oleh seorang calo ekspedisi di Bandara Soekarno-Hatta. Pasalnya, selama tiga pekan berturut-turut (dari tanggal 7 hingga 21 Mei 1989), Buana Minggu (BM) menurunkan tulisan tentang kegiatan penyelundupan di Bandara Soekarno Hatta. Di bawah judul-judul "yang cukup berani", BM membeberkan pelaku, dan teknik penyelundupan yang berlangsung selama ini. Sebuah artikel BM dua pekan lalu berjudul "B si 'raja' penyelundup diduga lari ke LN", telah membeberkan seluk-beluk penyelundupan komponen mobil Mercy. Disebutkan nama S dan W (entah siapa) adalah dua raja penyelundup barang-barang bernilai di bawah 5.000 dolar. Kenapa di bawah 5.000 dolar? Sesuai dengan ketentuan pemerintah, barang-barang impor senilai itu tak perlu lagi diperiksa Bea & Cukai. Tapi peluang "bebas periksa" itulah yang dimanfaatkan para penyelundup. Seperti bisa dibaca dalam tulisan tersebut, ada seorang pengusaha (H), yang mengimpor komponen Mercy secara terpisah, untuk kemudian dirakit menjadi mobil utuh. Berita penyelundupan dalam BM edisi 21 Mei menampilkan pengusaha AP. Dengan tajam, tulisan yang berjudul "97 penyelundup dicabut paspornya" itu menuduh AP sebagai "raja" penyelundup di bandar udara, sejak tahun 1969. Juga disebutkan, bahwa si AP ini warga negara RRC yang belum jadi WNI. Anehnya, ia punya paspor RI. Terlepas dari siapa yang jadi "raja" akibat tulisan tersebut, Robert dianiaya. Celakanya, mereka salah gebuk. Robert mengaku tidak pernah menulis berita-berita itu. Dan ia bukan wartawan BM alias Buana Minggu. "Jelas salah alamat," kata wartawan Berita Buana ini. Tapi Chairul, calo yang memukul Robert, tak peduli. "Pokoknya, dia dari Buana. Dan dia pula yang kami kenal di sini," ujarnya. Chairul berang, sebab sejak tiga tulisan itu terbit, penjagaan di Bandara semakin ketat. Ini mempersempit ruang gerak penjual jasa seperti Chairul, yang jumlahnya sampai ratusan. Sebelumnya, hanya dengan pas harian, seorang penjual jasa bisa masuk ke gudang, untuk mengurus barang-barang milik perusahaan atau orang yang menyuruhnya. Kini, yang bisa masuk hanyalah pemilik kartu pegawai perusahaan pemilik barang. Sedangkan surat kuasa (seperti yang selama ini digunakan Chairul dan rekan-rekannya) tidak berlaku lagi. Sebagai kuli tinta yang banyak meliput kegiatan di Bandara, Robert pun menilai, ketiga berita yang dimuat BM itu sangat tidak akurat. "Penulisnya hanya mengarang, tanpa didukung data dan sumber yang jelas," ujarnya. Pendapatnya diperkuat oleh AP -- nama singkat dari A Piau alias Haji Abdulah Muchtar -- pemilik PT Cipluk Indah. "Berita itu tidak benar," katanya. Menurut dia, sejak kecil -- ketika diangkat anak oleh Mayjen. Purn. Sabirin Muchtar -- ia sudah WNI. AP juga mengaku hanya sebagai perantara, dalam mengurus pengeluanan barang dari pelabuhan. "Mana bisa barang keluar begitu saja, sebab di sana aparatnya lengkap," tangkisnya. Tak jelas mana yang benar. Lagi pula, sejak insiden penganiayaan atas Robert, penulis yang sebenarnya -- konon wartawan BM yang bernama JH -- menghilang entah ke mana. Robert sendiri akan menuntut Chairul ke meja hijau.Budi Kusumah, Diah Purnomowati, Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini