Anda yang biasa naik kereta api ke Bandung, dalam beberapa tahun ke depan, akan takjub terkesima. Stasiun Kereta Api Kebon Kawung di Kota Kembang tersebut, yang kondisinya kini agak kumuh, kelak akan berganti wajah. Untuk itu PT Kereta Api Indonesia (KAI) diam-diam sedang menyiapkan rencana besar. Mereka akan merombak Kebon Kawung menjadi stasiun multifungsi yang memadukan konsep transportasi dan aspek komersial.
Kelak di atas lahan seluas hampir 7 hektare itu tak hanya ada stasiun kereta. Di sana juga bakal didirikan hotel, sarana olahraga, mal, restoran, kafe, sarana bermain anak-anak, dan gedung pertemuan. Penumpang kereta api yang penat sehabis menempuh perjalanan panjang bisa langsung masuk hotel untuk beristirahat. Setelah itu, mereka dapat bersantai, makan, minum, atau berbelanja di tempat yang relatif berdekatan.
Anehnya, hanya sedikit orang yang mengetahui ada proyek bernilai hampir setengah triliun rupiah tersebut. Proyek besar itu mirip harta karun yang sengaja dipendam. Anggota parlemen seperti Jaja Amirullah tidak punya informasi secuil pun tentang proyek ini. ?Saya nggak tahu apa-apa, tuh,? kata Wakil Ketua Komisi Perhubungan di DPR itu.
Keberadaan proyek yang dibuat dengan pola bangun, operasi, dan transfer (BOT) itu baru tercium setelah salah satu peserta yang kalah, PT Soegih Inter Jaya (SIJ), angkat suara lantaran merasa dicurangi dalam penyelenggaraan tender. Dalam suratnya tertanggal 22 November 2002, yang ditujukan kepada Direksi KAI, Soegih terang-terangan merasa dikalahkan secara sistematis.
?Sebagai perusahaan pengembang yang telah berpengalaman luas, kami telah dan sering mengikuti tender properti. Kadang kami menang atau kalah,? tulis Soegih Arto, Direktur Utama SIJ. ?Namun,? ujar pensiunan jenderal yang juga bekas Jaksa Agung itu, ?Saat ini kami merasa dikalahkan secara sistematis, dan itu menggugah rasa profesionalisme kami.?
Sikap emosional Soegih bukannya tanpa dasar. Sistem penilaian dalam pemilihan pelaksana proyek ini memang sangat membingungkan. Soalnya, PT KAI tak konsisten dalam menggunakan sistem skor atau peringkat. Hal itu sempat dipertanyakan oleh Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) Institut Teknologi Bandung (ITB). ?Jika menggunakan ranking, mestinya selalu ada ranking 1, 2, 3. Kenyataannya, untuk satu item dapat ditentukan dua peserta yang mendapat ranking pertama,? tulis Direktur Usaha dan Pengembangan LAPI, Indratmo Soekarno.
Kemudian, lazimnya pemeringkatan dilakukan setelah ada keseluruhan penilaian untuk setiap item. Tapi dalam proses seleksi, setiap item langsung dibuat peringkatnya, dan ranking tersebut digunakan sebagai koefisien. Jadi, penilaian yang sesungguhnya atas tiap item untuk tiap mitra kerja tidak dilakukan. Akibatnya, skor yang ada hanya perkalian bobot dan ranking dan angka yang nilainya sama untuk suatu item.
Dokumen-dokumen tender yang diperoleh TEMPO juga menunjukkan adanya ketidak-konsistenan dalam persyaratan mengikuti tender. Lihat saja nota yang ditulis Ketua Panitia Seleksi, Rono Pradipto, kepada Direksi KAI pada 13 Agustus 2002. Di situ Rono menulis bahwa konsep desain semua peserta seleksi tak memenuhi kriteria, khususnya tentang utilisasi lahan. PT Prima Jaya Mandiri (PJM), misalnya, menggunakan lahan untuk ruko sebesar 38,3 persen dari total lahan. Padahal mestinya penggunaannya maksimal 20 persen saja.
Sebaliknya PT Tirta Cipta Selaras (TCS) terlalu pelit menyediakan lahan untuk bangunan stasiun dan parkir. Mereka cuma menggunakan 9,8 persen saja dari total lahan, padahal minimal seharusnya 20 persen. Sementara itu, SIJ terlalu rakus menggunakan lahan untuk ruko hingga memakan 39,4 persen dari total lahan. Padahal mestinya jatah lahan untuk ruko maksimal cuma 20 persen.
Terpenuhinya kriteria dalam aspek desain itu penting, lantaran ia berpengaruh besar terhadap aspek keuangan. Bila desain diubah, berbagai hitungan keuangan, misalnya investasi, biaya, dan pendapatan, juga akan berubah. Akibatnya, perolehan pendapatan kompensasi menjadi lebih kecil dari penawaran semula. Karena itu, Rono mengusulkan agar seleksi diulang. Dan semua peserta diberi kesempatan memperbaiki desain sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Kenyataannya, sesuai dengan matriks penilaian yang diteken oleh Direktur Utama KAI Omar Berto pada 28 Oktober 2002, hanya TCS yang melakukan perubahan desain. Sedangkan PJM dan SIJ tetap hadir dengan desain lama. Toh keduanya tetap diperbolehkan mengikuti seleksi.
Lebih aneh lagi, sebagian nilai dan angka yang tertera dalam matriks tersebut berbeda dengan nilai dan angka yang terdapat dalam notulen rapat panitia seleksi tanggal 30 September 2002. Bahkan beberapa item yang dinilai di kedua dokumen tersebut juga berbeda. Pendeknya, proses pemilihan pelaksana proyek pengembangan stasiun Bandung yang akhirnya dimenangkan PJM itu terkesan sangat amburadul.
Kabar tak sedap itu rupanya berembus sampai ke Jakarta. ?Saya dengar sistem penunjukannya kurang beres,? ucap Haris Fabillah, Direktur Kereta Api di Departemen Perhubungan yang juga Komisaris PT KAI. Karena itu, kata Haris, Dewan Komisaris akan meninjau ulang proses tersebut. ?Dewan Komisaris akan mengevaluasi ulang tiga peserta tender yang lolos sampai tahap akhir,? ujarnya.
Namun Direktur Utama KAI Omar Berto menanggapi dingin suara-suara yang meragukan proses pemilihan calon mitra pengembangan stasiun Bandung tersebut. Dengan tegas Omar juga menyatakan, yang ia lakukan bukanlah menyelenggarakan tender, melainkan hanya mengadakan seleksi mitra kerja.
Menurut Omar, setelah menjadi persero, KAI memiliki kebebasan dalam melakukan pengadaan barang dan jasa. ?Sebetulnya saya bisa langsung melakukan penunjukan, tapi hal itu tak saya perbuat karena ingin mendapat mitra yang terbaik dan optimal,? ujarnya. Direktur Pengembangan Usaha Edward Nababan menambahkan, PT KAI bersyukur masih ada investor yang berminat untuk membenamkan uangnya di proyek pengembangan Stasiun Kebon Kawung. Soalnya, sebagian lahan di sana kini dikuasai masyarakat, preman, dan instansi militer. ?Investor harus menanggung risiko berhadapan dengan mereka,? katanya.
Bagaimana dengan tuduhan adanya kecurangan dalam proses penilaian peserta seleksi? ?Penilaian dilakukan dengan standar yang sudah diberitahukan sebelumnya kepada peserta,? ujar Edward. Bila akhirnya PJM yang terpilih, hal itu lantaran perusahaan itu menawarkan kompensasi terbesar, yang nilainya sekarang setara dengan Rp 117 miliar. Sedangkan SIJ cuma menawarkan Rp 12 miliar. ?Dari situ saja kita tahu mana yang mesti dipilih,? ujar Rono Pradipto.
Begitupun, kata Omar Berto, proses penunjukan pelaksana proyek sebetulnya masih cukup jauh. Hasil seleksi ini, misalnya, masih harus dibawa ke Dewan Komisaris untuk dimintakan persetujuan. Bila sudah ada lampu hijau, barulah dibuat nota kesepahaman (MOU) untuk melakukan studi kelayakan. Pada saat itu KAI masih bisa merundingkan nilai kompensasi yang lebih tinggi, perubahan desain yang lebih baik, dan lain-lain.
PT KAI juga akan melakukan pengawasan yang ketat dalam hal permodalan. Bila calon mitra ketahuan tak punya modal dan memperdagangkan MOU-nya kepada pihak lain, nota kesepahaman itu akan langsung dibatalkan. ?Kami tak mau berurusan dengan calo,? kata Omar.
Yang tak kalah penting adalah meminta agar asuransi dibuat atas nama PT KAI. ?Kalau atas nama mitra, bisa-bisa menjelang akhir masa BOT, dia bakar gedungnya. Dia dapat uangnya, kita bakal dapat gedung hangus,? ujar Omar panjang lebar. Setelah kesepakatan tercapai, barulah KAI minta persetujuan dari pemilik, yaitu Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN). ?Kata akhirnya ada di sana,? ucap Omar. Bila kementerian negara itu tak setuju, perjanjian masih bisa dibatalkan. Ini berarti, kalau ada yang masih belum puas, mungkin ada baiknya juga membuat laporan ke kantor Laksamana Sukardi di Jakarta.
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini