PERAHU-perahu kayu bermesin tempel itu tertambat sepanjang hari di dermaga. Terik matahari dan embusan angin mengombang-ambingkan para nelayan yang tidur-tiduran di dalamnya. Di Cilincing, Jakarta Utara, pekan lalu, dermaga yang biasanya hiruk-pikuk oleh nelayan yang pergi pulang melaut itu terlihat sangat lengang.
Alat untuk menimbang ikan di bibir dermaga terayun-ayun kosong. Kering, tak ada tanda-tanda bahwa ikan pernah ditimbang di sana. ?Sejak harga solar naik, nelayan banyak yang berhenti melaut,? kata Eko, seorang nelayan berusia 49 tahun.
Tak mengherankan, solar adalah darah bagi urat nadi kehidupan nelayan. Lebih dari tiga perempat komponen biaya melaut digunakan untuk pembelian bahan bakar yang dulu harganya lebih murah dari premium ini. Kini, untuk sekali melaut, Eko harus merogoh koceknya hingga Rp 75 ribu untuk solar semata.
Uang sekian digunakan untuk membeli 20 hingga 30 liter solar. Sedangkan harga solar yang dibelinya dari pengecer, yang menurut keputusan pemerintah berharga Rp 1.890 tiap liter- nya, sudah melonjak hingga Rp 2.500. Biaya ini masih harus ditambah bekal makan dan rokok untuk satu malam. Total sekali melaut untuk sebuah perahu kayu dengan tiga awak perlu sangu Rp 120 ribu.
Sialnya, pengeluaran itu tak tertutup oleh hasil laut yang saat ini rupanya sedang tidak bermurah hati kepada nelayan. ?Tadi malam, saya dapat seekor tenggiri,? kata Eko getir. Padahal biasanya ia bisa membawa setengah kuintal aneka jenis ikan. Ikan tenggiri itu tak jadi uang, hanya pengganjal perut Eko dan dua rekannya.
Nasib serupa tak hanya menimpa nelayan di Teluk Jakarta. Dari pengamatan TEMPO di Bagan Siapi Api (Riau), Belawan (Sumatera Utara), Cirebon (Jawa Barat), Demak (Jawa Tengah), dan Banyuwangi (Jawa Timur), para nelayan mengalami situasi pelik.
Di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, misalnya. Hingga minggu lalu sedikitnya 4.000 dari total 6.000 nelayan di wilayah ini belum juga turun ke laut. Semua satu suara dan menuding naiknya harga solar sebagai penyebab utama ?enggannya? para nelayan melaut. Sudah terpukul oleh naiknya harga solar, para nelayan masih dijungkalkan oleh rendahnya harga jual ikan. Akibatnya, ?Kami rugi terus,? ujar Sukijan, seorang nelayan di Morodemak.
Situasi ini membuat napas para nelayan semakin berat. Untuk menghidupi istri dan empat anaknya, Ahmad Futeh, nelayan berusia 43 tahun di Bagan Siapi Api, memilih menjadi kuli bongkar muat di pasar. Menurut Sudarno Mahyudin, seorang tokoh nelayan di Bagan Siapi Api, nelayan lain banyak yang beralih profesi menjadi penarik becak, kuli bangunan, buruh kebun sawit, serta pekerjaan serabutan lainnya.
Robohnya tiang penyangga ekonomi nelayan di Bagan Siapi Api ini memang mengkhawatirkan. Sebab, menurut kepala dinas Perikanan Rokan Hilir, Amrizal, tak kurang dari 2.400 unit kapal ?mogok? melaut. Terjadilah gelombang pengangguran.
Nelayan lain masih mencoba melaut. Seperti Wahyudi, seorang nelayan di Pantai Muncar, Banyuwangi. Ini tindakan berisiko: dapat uang sedikit atau malah merugi. Kini, kalau sedang mujur dan tak nombok, Wahyudi harus puas dengan Rp 15 ribu. Uang ?sebanyak? ini harus diakalinya agar bisa mencukupi kebutuhan lima mulut di keluarganya.
Agar tetap bisa melaut, Wahyudi dan para nelayan lain berupaya memotong biaya bahan bakar. Jadilah mereka mencampur solar dengan minyak tanah. Seperti juga dilakukan Khairudin, seorang nelayan di Belawan. Dengan strategi ini, biaya melaut bisa dipangkas banyak, namun dengan risiko mesin sering mogok dan kapal disesaki asap hitam.
Bila taktik ini tak cukup untuk menambal biaya hidup, utang pun dijadikan jaring penyelamat selanjutnya. Buku catatan utang nelayan di agen-agen pengecer solar dan warung sekitar kampung nelayan menumpuk. Pilihan lain, menggadaikan atau menjual barang yang ada untuk bekal melaut. Sapuan, nelayan di Banyuwangi, harus rela menggadaikan tiga buah karpet tebal hadiah kerabat yang berhaji, juga cincin dan kalung anak gadisnya.
Toh keadaan ini dijalani oleh para peniti ombak itu dengan kesabaran tinggi. ?Saya tidak putus asa, rezeki itu kan Allah yang memberikan,? ujar Eko. Mereka mau melakukan segala upaya sambil menunggu situasi membaik. Tentu saja, mereka tetap berharap pemerintah mau memberikan kompensasi untuk sekadar meringankan penderitaan dan supaya mereka tetap bisa merajut masa depan dari lautan.
Agus Hidayat, Mahbub Djunaidy (Banyuwangi), Bandelan Amarudin (Demak), Ivansyah (Cirebon), Jupernalis Samosir (Bagan Siapi Api), Bambang Soed (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini