Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melambungnya Harga Minyak Tanah

Panjangnya rantai distribusi menyebabkan harga minyak tanah melebihi yang ditetapkan pemerintah.

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas kertas, harga bahan bakar untuk rumah tangga yang satu ini tak banyak berubah. Mulai awal tahun ini, harga minyak tanah menjadi Rp 700 setiap liternya, naik Rp 100 dari harga tahun lalu. Pemerintah menaikkan harganya secara perlahan, agaknya agar masyarakat kelas bawah sebagai konsumen minyak tanah ini tak terguncang. Pada tahun 2004 direncanakan harga minyak pengisi kompor ini mencapai Rp 1.000. Itulah saatnya ketika bahan bakar itu sudah mencapai harga riilnya, tak lagi disubsidi. Tapi itu hitungan di atas kertas. Faktanya, tak usah menunggu hingga tahun 2004, harga minyak tanah saat ini sudah melejit di atas harga nonsubsidi. Saat ini konsumen minyak tanah di Jakarta dan sekitarnya harus membayar Rp 1.200 untuk tiap liternya. Adapun di daerah pedesaan bisa mencapai Rp 2.000. Harga itu besar kemungkinan akan terus terkerek karena naiknya permintaan masyarakat. Rupanya, "Banyak yang kembali menggunakan kompor minyak tanah karena harga gas elpiji naik," kata Ketua Hiswana Migas Bandung, Dadang Amir Hamzah. Sejak akhir tahun lalu, konsumen harus mengeluarkan uang Rp 32.400?kadang sampai di pelanggan sudah dinaikkan jadi Rp 35 ribu?untuk elpiji tabung isi 12 kilogram. Tak ada pilihan lain bagi mereka yang berduit cekak. Mau ganti ke kompor gas yang api birunya tidak bikin gosong pantat penggorengan jelas tak mungkin. Perlu modal untuk beli tabung dan kompor?total bisa 500 ribu perak?ditambah lagi gas tidak bisa dibeli secara eceran. Jadi, meski harga minyak tanah naik, mereka terus mengejarnya. "Mahal nggak apa-apa, asal ada barangnya," kata Ny. Ali, yang tinggal di daerah perbatasan Depok dan Bogor. Ia sempat kelimpungan ketika bulan Puasa lalu minyak tanah, yang saat itu dijual Rp 1.500 per liter, sulit ditemukan di wilayahnya. Masalahnya, kenapa harga minyak melejit dari yang ditetapkan pemerintah. Rupanya, panjangnya rantai distribusilah penyebabnya. Mula-mula agen yang mengantongi delivery order (DO) menciduk minyak dari Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri III Plumpang, Jakarta Utara. Saat itu harga masih "asli"?Rp 700 per liternya atau Rp 3,5 juta tiap tanki berkapasitas 5.000 liter. Ketika pemilik DO mengirim bahan bakar itu ke pangkalan minyak, tentu ia mengambil untung. Dijuallah Rp 4,075 juta per tanki sesuai dengan aturan Pemda DKI Jakarta, atau Rp 815 per liter. Setelah dikurangi pajak dan uang sopir Rp 55 ribu, agen mendapat untung Rp 100 per liternya. Sesampai di pangkalan, harga minyak bergerak jadi Rp 825 per liternya. Sebab, pemilik pangkalan harus memberi uang cor Rp 50 ribu kepada sopir dan kenek mobil tanki untuk biaya memindahkan minyak dari tanki ke drum. "Padahal, uang cor itu dilarang, tapi mereka berdalih sudah tradisi," tutur satu pemilik agen. Keuntungan pemilik pangkalan hanya Rp 60 per liter karena harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan Pemda DKI Jakarta sebesar Rp 885. Lagi-lagi itu aturan di atas kertas. Nyatanya, HET selalu dilewati. Sebuah pangkalan di Matraman, Jakarta Pusat, misalnya, menjual langsung kepada konsumen Rp 1.200 per liter. Namun Tata, seorang pedagang minyak keliling, bisa mendapat harga Rp 900, yang kemudian dijualnya Rp 1.200 ke konsumen. Hal sama dilakukan Ayip Rispiana, pemilik pangkalan di Cicaheum, Bandung. Ia menjual minyak Rp 1.200 per liter, padahal HET di Bandung Rp 875 per liter. "Asal pandai membuat alasan. Tapi kalau menjual ke industri sanksinya tegas, izinnya dicabut," kata Ayip. Jelaslah bahwa HET itu macan ompong belaka. Pertamina tidak punya jurus ampuh untuk menekan harga hingga mendekati harga yang ditetapkan tersebut. Akhirnya mereka mengambil cara lain. "Untuk menjaga agar harga tetap stabil, salah satu langkah yang ditempuh Pertamina adalah dengan melakukan operasi pasar," kata Manajer Humas Pertamina, M. Harun, kepada Dewi R. Cahyani dari TEMPO. Cuma, namanya operasi, kadang ada, lebih kerap lagi tidak ada. Agus S. Riyanto, Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus