Kebon Kawung, Bandung. Lahan milik PT KAI yang membentang hampir 7 hektare itu tampak tidak tertata dengan baik. Memanjang berseberangan dengan rumah dinas gubernur di sebelah timur hingga Jalan Pasir Kaliki di sebelah barat, kawasan itu padat dengan aneka kegiatan. Di bagian utara berjajar deretan pedagang kaki lima, bengkel, pool bus Damri, pom bensin, hingga kantor militer tingkat kabupaten.
Mengarah ke selatan, gubuk-gubuk liar tumbuh bak cendawan di musim hujan. Penghuninya? Manusia golongan bawah seperti gelandangan, pengemis, preman, dan kaum tunasusila. Kemacetan lalu-lintas menjadi pemandangan biasa setiap hari di sana. Maklum, hampir 60 persen angkutan umum Kota Bandung dari segala jurusan melewati jalan itu.
Kebon Kawung merupakan cerminan aset-aset milik PT KAI: terbengkalai dan ?dikuasai? pihak lain zonder bayar. Hal itu terasa sangat ironis di tengah tekad menggebu-gebu direksi perusahaan negara itu untuk menggenjot laba, yang tak bisa lagi diharapkan semata-mata dari penjualan tiket. ?Dari sana pemasukan kecil dan pertumbuhannya lambat,? kata Direktur Utama PT KAI, Omar Berto.
Tak bisa tidak, aset properti PT KAI yang tersebar di berbagai penjuru kini harus benar-benar dimanfaatkan. Lagi pula potensinya sungguh dahsyat. Total luas tanah milik PT KAI diperkirakan mencapai 250 juta hektare. Dan nilainya, sesuai dengan taksiran konsultan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), sekitar Rp 3 triliun-5 triliun. Usaha di luar bisnis inti ini, idealnya, diharapkan mampu menyumbang 15 persen dari total pendapatan. ?Namun kini jumlahnya masih kecil sekali,? tutur Komisaris PT KAI, Haris Fabillah.
Karena itu, belakangan PT KAI khusus membentuk divisi properti. Tapi Omar mengakui, bidang ini relatif baru untuk karyawannya. ?Mereka belum punya pengalaman,? tuturnya. Di tahap awal, sambil belajar ia berencana menggandeng sejumlah perusahaan swasta untuk mengelola properti-properti tersebut.
Di samping kerja sama dengan pihak swasta, PT KAI juga berencana memanfaatkan sumber daya manusianya yang melimpah untuk mengelola berbagai properti itu. ?Kami tak perlu melakukan rasionalisasi dengan cara pemecatan karyawan,? ujar Direktur Pengembangan Usaha PT KAI, Edward Nababan. Bila bisnis sampingan ini berjalan lancar, karyawan yang berlebih bisa disalurkan ke sana.
Kendati tertatih-tatih, divisi properti ini mulai bergerak. Mereka berupaya menghidupkan lahan-lahan tidur agar menjadi lebih produktif. Sejumlah rencana sudah disiapkan. Beberapa stasiun kereta, antara lain di Bogor, Depok, Cilembut, dan Bojong Gede, akan dikembangkan dalam hal aspek komersialnya. Untuk itu, kabarnya PT KAI sudah siap meneken nota kesepahaman (MoU) dengan sejumlah pengusaha swasta.
Kawasan ?tak bertuan? di Tanah Abang seluas 7 hektare juga sedang disiapkan untuk diubah menjadi mal, pertokoan, dan gudang untuk disewakan. Hal yang sama akan dilakukan di atas lahan seluas 13,5 hektare di Bandung Gudang. Berikutnya, lahan di Kiara Condong, Bandung, mendapat giliran. Di sana akan dibangun arena wisata dan permainan untuk anak-anak.
Untuk proyek yang tergolong besar, setelah Kebon Kawung, berikutnya menyusul pembenahan Stasiun Manggarai di Jakarta. Stasiun ini kelak akan difungsikan sebagai stasiun luar kota. Di sana akan dibangun jalur empat trek yang memungkinkan kereta rel listrik (KRL) yang melintasi Jakarta punya jalur sendiri dan tidak harus menumpang ke lintasan untuk kereta luar kota. Sedangkan Gambir akan menjadi stasiun dalam kota yang melayani berbagai rute di seputar Jakarta saja.
Sesuai dengan rencana, pembangunan Stasiun Manggarai akan dibiayai dari pinjaman Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar US$ 400 juta dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Tapi, hingga hari ini yang dilakukan baru pembebasan lahan. Belum ada kontraktor yang ditunjuk untuk menjalankan proyek. ?Tendernya hingga saat ini belum dibuka,? ujar Haris Fabillah.
Rencana pengembangan Stasiun Manggarai mendapat pujian praktisi properti Panangian Simanungkalit. Kawasan ini diperkirakannya akan cepat berkembang karena, selain lahannya luas, lokasinya strategis serta dekat dengan kawasan segi tiga emas: Kuningan, Gatot Subroto, dan Sudirman. Namun, dalam pengelolaan properti, Panangian menyindir PT KAI kalah cepat ketimbang PT Angkasa Pura, yang lebih dulu mengembangkan bandar udara menjadi kawasan komersial. Mereka bahkan sudah mendirikan hotel, toko-toko eceran, money changer, biro perjalanan wisata, dan lain-lain.
Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini