Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Hilirisasi Nikel di Era Jokowi Membuat Warga Lokal Menjerit

Hilirisasi nikel merupakan salah satu prioritas pemerintah Jokowi. Mengapa warga sekitar industri pengolahan nikel menjerit?

31 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto udara aktivitas pengolahan nikel (smelter) di Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 7 Juli 2024. ANTARA/Andri Saputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejak tambang nikel beroperasi, kehidupan warga lokal di Weda Tengah, Halmahera Tengah, makin sulit.

  • Rusaknya lingkungan akibat pertambangan nikel di Weda Tengah, Halmahera Tengah, juga yang paling dirasakan masyarakat.

  • Penelitian yang dilakukan Celios dan CREA menunjukkan industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan produk domestik bruto positif pada tahun kelima atau tahap konstruksi, yaitu sebesar US$ 4 miliar.

ABDUL Karim, 53 tahun, menatap laut dengan tatapan kosong. Warga Desa Lelilef Itepo, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, itu terlihat tak begitu senang saat menceritakan kerasnya mencari uang setelah aktivitas tambang nikel beroperasi.

Sebelum ada tambang, Abdul bekerja sebagai petani pala dan cengkih. Namun sekarang lahan pertaniannya sudah berubah menjadi kawasan pabrik smelter PT Indonesia Weda Bay Industrial Park atau IWIP. Kini dia bekerja sebagai pedagang makanan untuk pekerja tambang.

IWIP adalah kawasan industri terpadu untuk pengolahan logam berat yang berlokasi di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Berdiri pada 30 Agustus 2018, IWIP merupakan salah satu proyek strategis nasional Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Abdul bercerita, pada 2014, Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah berjanji kepada warga desa bahwa ekonomi masyarakat lokal akan melonjak apabila investasi nikel masuk ke wilayahnya. Pemerintah menyatakan industri penghiliran atau hilirisasi akan menyerap sedikitnya 60 ribu karyawan lokal dan bisa mendorong ekonomi masyarakat lokal.



Semua anak muda di Halmahera Tengah dijanjikan pemerintah bisa bekerja di kawasan tambang. “Penjelasan waktu itu menggiurkan sekali. Semua orang setuju. Tapi sekarang torang hidup biasa-biasa saja. Justru kalau musim hujan jadi khawatir banjir,” ujar Abdul kepada Tempo, Kamis, 25 Juli 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Abdul, sejak tambang nikel beroperasi, kehidupan di Weda Tengah, Halmahera Tengah, makin sulit. Derasnya arus migrasi tenaga kerja asing yang masuk ke Halmahera Tengah membuat kompetisi mencari uang makin ketat. Banyak warga Weda Tengah yang tidak bisa beradaptasi dan terpaksa bekerja di luar pabrik. Pilihan terakhir, berjualan makanan. Sebab, bertani dan melaut sudah tidak mungkin. 

Mereka yang sebelumnya bekerja sebagai petani kini tidak lagi memiliki lahan. Kebanyakan mereka bekerja sebagai buruh lepas pabrik. Sebagian dari mereka ada yang memilih bekerja di area pertambangan. Sementara itu, mayoritas yang usianya lebih tua memilih berdagang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rusaknya lingkungan akibat pertambangan nikel di Weda Tengah juga yang paling dirasakan masyarakat. Abdul menuturkan sampah dan limbah di mana-mana membuat air sungai tak lagi bisa dikonsumsi. Laut tercemar sedimentasi tambang. Hutan habis dibabat dan berubah menjadi bangunan pabrik. 

Pekerja melintas di depan PLTU di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 7 Juli 2024. ANTARA/Andri Saputra



Adlun Fiqri, pemuda Desa Sagea, Weda Utara, mengungkapkan aktivitas pertambangan nikel di Halmahera Tengah kerap memunculkan beberapa masalah, seperti deforestasi, konflik sosial, serta kerusakan lingkungan. Perubahan ekosistem lingkungan di Weda Tengah dan Weda Utara bahkan membuat ratusan keluarga kesulitan mendapatkan air bersih. “Obyek wisata Gua Batu Boki Maruru sempat ditutup karena air keruh. Bukit dan hutan di belakang desa hingga saat ini masih dikeruk,” kata Adlun.

Sepuluh tahun berlalu, dampak ekonomi penghiliran nikel di Halmahera masih jauh dari harapan. Data Badan Pusat Statistik pada awal 2023 bahkan menempatkan Halmahera Tengah sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan paling tinggi di Maluku Utara, dengan persentase penduduk miskin mencapai 12 persen.

Jumlah penduduk miskin di Halmahera Tengah hingga Maret 2023 mencapai 6.739 jiwa dari sebelumnya 6.932 jiwa pada 2022. Meski turun, tingkat kemiskinan di Halmahera Tengah merupakan yang tertinggi. Di Maluku Utara, jumlah penduduk miskin hingga Maret 2023 mencapai 83 ribu orang atau naik 1.600 orang pada September 2022 dan naik 3,930 orang pada Maret 2022.

Menurut pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate, Aziz Hasyim, kemiskinan di wilayah tambang Halmahera Tengah merupakan efek dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang belum berkualitas. Aktivitas tambang nikel belum mampu mendorong masyarakat lokal mengakses sumber-sumber ekonomi. Ekonomi tumbuh, tapi tidak memberikan efek bagi kesejahteraan masyarakat sekitar. “Padahal seharusnya, dengan tumbuhnya industri, masyarakat lokal makin sejahtera karena memiliki akses terhadap sumber ekonomi baru. Tapi ini justru berbeda. Karena itu, ada yang salah,” katanya.

Efek-Hilirisasi-Nikel



Adapun IWIP mengklaim telah menyerap lebih dari 75 ribu tenaga kerja lokal melalui rekrutmen langsung dan menargetkan 100 ribu tenaga kerja pada 2027. Hingga Juni 2024, IWIP mencatat lebih dari 47 ribu tenaga kerja telah mengikuti pelatihan di berbagai bidang untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja lokal.

Perusahaan merujuk pada pertumbuhan ekonomi Provinsi Maluku Utara triwulan I 2024 yang mencapai 11,88 persen. Menurut manajemen IWIP, pertumbuhan ini didorong oleh penghiliran industri pengolahan dan pertambangan nikel. "IWIP berperan penting dalam meningkatkan produksi dan ekspor komoditas hilirisasi nikel, yang berdampak langsung pada peningkatan mobilitas dan konsumsi masyarakat setempat," ujar manajemen PT IWIP dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Senin, 29 Juli 2024. 

Efek-Hilirisasi-Nikel

Ihwal kerusakan lingkungan yang menjadi beban bagi masyarakat sekitar kawasan industri, IWIP menyatakan pihaknya berkomitmen terus berpartisipasi dalam inisiatif pelestarian lingkungan hidup. Perusahaan juga menyatakan akan terus berkolaborasi dengan masyarakat dan berkoordinasi dengan pemerintah setempat. 

Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Terjangan penghiliran telah mengubah total wajah Kabupaten Morowali yang tadinya hutan menjadi kawasan industri raksasa nikel di Asia Tenggara. Kawasan tersebut kelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang berdiri sejak 2013. 

Efek-Hilirisasi-Nikel



Kawasan industri IMIP seluas 5.000 hektare itu berada di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, tepat di depan Laut Banda. Program penghiliran yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Presiden Jokowi ini diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat. Namun proyek ini pun membawa setumpuk masalah. 

Arman, 36 tahun, tokoh pemuda di Morowali, mengungkapkan bahwa banjir bandang hampir terjadi setiap tahun sejak kawasan industri ini beroperasi walaupun curah hujan sedang. Anggota Komunitas Pencinta Alam Morowali itu mengatakan banjir merendam rumah, sekolah, masjid, dan memutus jembatan, bahkan sampai memakan korban jiwa. 

“Hutan sudah habis. Sungai dan laut juga sudah tercemar. Sungai yang ada di Bahodopi berwarna merah semua. Laut juga begitu,” ujar Arman kepada Tempo, Kamis, 26 Juli 2024. Ada 12 desa yang berada di lingkar kawasan tambang yang terkena dampak langsung dari beroperasinya IMIP. Desa-desa itu adalah Desa Lele, Desa Bahodopi, Desa Kurisa, Desa Dampala, Desa Siambutu, Desa Mekartijaya, Desa Padabahoa, Desa Betebete, Desa Keurea, Desa Bahomakmur, Desa Lalampu, dan Desa Fatufia.

Persoalan debu batu bara menjadi kekhawatiran warga desa karena menyebabkan polusi dan gangguan kesehatan. Warga mengeluhkan debu yang menempel di dinding rumah hingga menyebabkan tenggorokan sakit dan mata perih. Sepekan lalu, warga Morowali berdemo menentang pelebaran kawasan pelabuhan untuk bongkar-muat batu bara dan conveyor di Jetty yang ada di Labota. Warga berharap pemerintah mengevaluasi persoalan lingkungan yang menimpa warga sekitar kawasan industri IMIP. 

Menanggapi hal tersebut, Direktur Komunikasi IMIP Emilia Bassar mengaku telah membuka ruang dialog dengan masyarakat sekitar untuk mendengarkan masukan dan bersama-sama menjaga lingkungan. Ia menyatakan perusahaan berkomitmen penuh mematuhi peraturan tentang lingkungan. "Kami telah dan terus menjalankan operasi dengan mengacu pada standar lingkungan yang paling ketat," katanya kepada Tempo, Sabtu, 27 Juli 2024. 

IMIP juga mengaku telah memprioritaskan lapangan kerja lokal dengan mempekerjakan 23 ribu warga lokal Sulawesi Tengah. Serta bermitra dengan lebih dari 700 usaha mikro, kecil, dan menengah untuk meningkatkan ekonomi lokal dalam bidang pertanian, perdagangan, serta sektor lainnya. 

Pekerja tambang berada di dekat tumpukan nikel di kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef, Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 1 September 2023. ANTARA/Andri Saputra

Minim Dampak Ekonomi

Ketimpangan di wilayah pertambangan menjadi sorotan sejumlah pengamat ekonomi. Di Morowali, angka kemiskinan mencapai 12,58 persen pada 2022. Angka ini lebih tinggi dibanding daerah lain yang tidak memiliki smelter. Misalnya di Kabupaten Sigi, angka kemiskinan sebesar 12,30 persen. Bahkan angka kemiskinan di Morowali lebih tinggi dibanding rata-rata provinsi. 

Penelitian yang dilakukan Celios dan CREA dengan skenario saat ini atau business-as-usual menunjukkan industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara hanya menghasilkan produk domestik bruto positif pada tahun kelima atau tahap konstruksi, yaitu sebesar US$ 4 miliar atau sekitar Rp 62,8 triliun. Kemudian menurun setelah dampak lingkungan hidup dan kesehatan mulai memperlihatkan efek negatif terhadap total output perekonomian. 

Proyeksi upah pekerja dalam jangka panjang juga cenderung turun karena pendapatan pekerja di sektor pertanian dan perikanan amat terkena dampak oleh aktivitas industri pengolahan nikel. Skenario beroperasinya industri nikel saat ini dapat menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan sebesar US$ 234,84 juta atau sekitar Rp 3,64 triliun dalam 15 tahun ke depan. Kerugian nilai tambah ekonomi dari program hilirisasi nikel pun diperkirakan lebih dari US$ 387,10 juta atau sekitar Rp 6 triliun dalam 15 tahun untuk sektor pertanian dan perikanan.

Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengatakan kondisi ini terjadi karena berbagai faktor. Pelarangan ekspor bijih nikel membuat harga nikel di pasar domestik berlebih dan jauh di bawah harga internasional. Harga bijih nikel yang jatuh kemudian membuat penerimaan royalti jauh menurun. Dengan sebagian besar investasi di penghiliran ini mendapatkan tax holiday, penerimaan pajak perusahaan juga cenderung minim. 

Sebagian besar produk smelter pun diekspor dan tidak dikenai pungutan sehingga pendapatan negara dari pajak pertambahan nilai dan pajak ekspor juga minim. Karena itu, Yusuf menekankan sudah selayaknya pemerintah mengevaluasi kebijakan penghiliran nikel. Industri penghiliran perlu didorong oleh birokrasi yang bersih, tenaga kerja terlatih, serta dukungan riset yang kuat. Dengan demikian, hilirisasi dapat meningkatkan kapasitas industri nasional, menyerap tenaga kerja lokal, dan menjaga kelestarian alam. 

Tanpa rencana transfer teknologi, penguasaan industri oleh entitas domestik, perlindungan lingkungan hidup yang ketat, serta pengembangan industri hilir secara simultan, Yusuf menilai, kebijakan penghiliran hanya akan menjadi instrumen industrialisasi negara lain. Sementara itu, Indonesia sekadar menjadi tempat relokasi industri yang tidak ramah lingkungan sekaligus menjadi pemasok barang setengah jadi yang murah ke kapitalis global.

Senada dengan Yusuf, pengamat energi dari Universitas Gadjah mada, Fahmy Radhi, mengungkapkan, penghiliran yang dilakukan di Indonesia selama ini justru lebih menguntungkan Cina. Pasalnya, kepemilikan smelter nikel di dalam negeri didominasi oleh investor dari Negeri Tirai Bambu itu. Fahmy memperkirakan hanya 30 persen keuntungan yang dinikmati Indonesia sehingga target nilai tambah ekonomi tidak tercapai. 

Ihwal dominasi kerja sama investasi dengan Cina, menurut Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto, penyebabnya Cina memiliki teknologi yang paling efisien. Khususnya dalam ekstraksi mineral kritis dan komponen baterai. 

"Cina memproses banyak mineral kritis dari luar negaranya," kata Seto kepada Tempo, 19 Juli 2024. Contohnya konsentrat litium asal Australia yang 95 persennya dikirim ke Cina untuk diproses lebih lanjut. Sebelum dilarang, kata dia, hampir semua nikel ore Indonesia diekspor ke Cina. 

Investasi dalam sektor penghiliran nikel di Indonesia terus meningkat. Pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, mengatakan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia telah menarik banyak perhatian investor, terutama dari Cina dan Korea Selatan. Menurut Putu, kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel mentah telah mendorong investor asing untuk berinvestasi membangun smelter dan fasilitas pengolahan lainnya di dalam negeri. 

Kementerian Perindustrian tak menampik pasokan nikel yang berlebih di pasar global telah menyebabkan penurunan harga nikel. Kondisi ini tentu berdampak pada kinerja perusahaan tambang dan minat investasi. Namun, di sisi lain, dia menilai hal ini akan menjadi keuntungan untuk industri yang memiliki komitmen jangka panjang dalam hilirisasi nikel karena perolehan bahan baku menjadi terjangkau.

Putu juga mengakui hasilnya masih belum dianggap sebagai program penghiliran nikel maksimal. Saat ini ekspor produk hilir masih didominasi oleh NPI dan feronikel. Dari 50 industri pengolahan dan/atau pemurnian nikel dengan metode pirometalurgi yang beroperasi, hanya lima yang telah membangun fasilitas pengolahan nikel lanjutan dari NPI dan FENI, yaitu Stainless Steel Slab, dengan kapasitas 11,2 juta ton per tahun. Transfer teknologi dalam program penghiliran nikel juga diakui masih terbatas. 

Kendati demikian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memastikan program penghiliran nikel tidak akan terganggu meskipun menghadapi sejumlah tantangan. Juru bicara Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, mengatakan target pemerintah adalah terbangunnya ekosistem kendaraan listrik nasional, salah satunya industri baterai. Karena itu, industri penghiliran akan terus didorong sebagai kewajiban yang diamanatkan oleh undang-undang guna meningkatkan nilai tambah nasional.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Rosniawanti Fikry dari Kendari dan Budhy Nurgianto dari Halmahera Tengah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Lulusan Antropologi Sosial Universitas Indonesia. Menekuni isu-isu pangan, industri, lingkungan, dan energi di desk ekonomi bisnis Tempo. Menjadi fellow Pulitzer Center Reinforest Journalism Fund Southeast Asia sejak 2023.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus