Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hubert Neiss: "IMF Mestinya Bisa Segera Mengucurkan Pinjaman"

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) agaknya punya ciri khas: kaku, dingin, dan tak suka kompromi. Lihat saja mantan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, yang dengan tatapan dinginnya menyaksikan bekas presiden Soeharto meneken letter of intent (LoI) pada Januari 1998. Tangannya bersedekap dan matanya tak berkedip sama sekali, sementara Soeharto seperti murid yang sedang dihukum. Direktur IMF untuk kawasan Asia-Pasifik yang pensiun sejak akhir Januari 2000, Hubert Neiss, pun tak jauh berbeda dengan Camdessus. Sikapnya keras dan tak pernah berkompromi untuk hal apa pun.

Pada Oktober 1999, misalnya, Neiss menolak memproses pencairan pinjaman senilai US$ 600 juta gara-gara kasus Bank Bali. Ayah tiga anak itu berkukuh tak mau mencairkan pinjaman tersebut, kendati pemerintahan sudah berganti. Maka, presiden baru, Abdurrahman Wahid, harus menambal anggaran negara yang cekak. Doktor ekonomi dan bisnis lulusan Hochschule für Welthandel, Wina, Austria, ini baru memberikan lampu hijau ketika pemerintah membuka penyelidikan atas kasus yang diduga merugikan negara lebih dari Rp 500 miliar itu.

Setelah tidak lagi di IMF, sikap Neiss, kini berusia 66 tahun, seperti berubah 180 derajat. Ketika IMF terus menunda-nunda pencairan pinjaman senilai US$ 400 juta yang mestinya sudah turun sejak Desember tahun lalu, Chairman Deutsche Bank untuk Asia-Pasifik itu meminta IMF segera mengucurkannya. Selain itu, Neiss, yang sudah mengabdi di IMF selama 33 tahun ini, juga terlihat jauh lebih santai dan terkesan bisa berbicara lebih bebas ketimbang dulu. Ia berbicara tentang apa saja, tak seperti dulu ketika wartawan harus mengejar-ngejarnya untuk ditanyai urusan LoI.

Maklumlah, dulu Neiss memang menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas proses pemulihan ekonomi tiga negara yang mengalami krisis ekonomi terparah: Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Neiss, menjadi Direktur IMF untuk Asia-Pasifik sejak 1997, mesti mengawasi program pemulihan ekonomi yang melibatkan dana IMF lebih dari US$ 35 miliar dan dana tambahan dari sejumlah negara senilai US$ 77 miliar. Tak mengherankan jika majalah Asiaweek sampai menobatkan pria ini sebagai orang ke-10 yang paling berpengaruh di Asia pada 1999.

Setelah pensiun dari IMF, sekarang Neiss "hanya" mengurus operasi bank terbesar di Jerman di kawasan Asia-Pasifik. Sementara dulu sibuk mengurus letter of intent, sekarang Neiss banyak menghabiskan waktunya di berbagai seminar di kawasan ini. Kebanyakan ia berbicara tentang krisis ekonomi Asia dan cara-cara penanggulangannya. Kepada wartawan TEMPO I G.G. Maha Adi, Neiss memaparkan bagaimana Indonesia bisa keluar dari krisis. Laki-laki necis yang lahir di Taiskirchen, Austria, ini juga berbicara tentang mengapa banyak kebijakan IMF tidak bisa berjalan sebagaimana direncanakan. Berikut ini petikannya.

Apa yang dibutuhkan Indonesia saat ini agar cepat keluar dari krisis?

Kepercayaan. Seluruh rakyat Indonesia dan terutama investor asing harus percaya bahwa semua dapat dikembalikan seperti keadaan semula.

Itu justru yang tersulit. Anda punya saran bagaimana caranya?

Saya mengusulkan beberapa langkah. Pertama, pemerintah Indonesia mesti berusaha memperkecil ketidakpastian politik yang akhir-akhir ini justru makin meningkat, dan memberikan jaminan keamanan dalam negeri. Kedua, melakukan implementasi dari program perbaikan kebijakan ekonomi makro bersama IMF, yang tentu saja harus disesuaikan dengan kehendak pasar. Ketiga, menambahkan para-meter keberhasilan yang dapat dihitung (tangible) dalam melakukan restrukturisasi perusahaan, perbankan, dan utang. Yang terakhir adalah adanya jaminan reformasi perangkat hukum secara menyeluruh.

Bukankah Indonesia sudah melakukan semua itu, bahkan di bawah arahan Anda sebagai Direktur IMF Asia-Pasifik? Lalu, apa yang kurang?

Tentu saja Indonesia sudah melakukannya sejak Januari 1998, ketika bersama IMF menyepakati letter of intent yang pertama. Dan Indonesia sudah berjalan dalam alur yang benar sejak itu. Cuma, beberapa bulan terakhir, momentumnya melambat karena ada kenaikan suhu politik dalam negeri berupa berbagai perdebatan-perdebatan politik yang dipahami sebagai negara demokrasi baru.

Lalu, apa saran Anda agar momentumnya bisa dipercepat?

Ha-ha-ha, saya ini ahli ekonomi lo, bukan politisi.

Maksudnya, politik dengan ekonomi kan begitu dekat. Jadi, bagaimana saran lewat pendekatan ekonomi?

Tidak ada saran yang khusus karena masalahnya begitu kompleks. Apalagi di sini banyak sekali kelompok politik yang ambil bagian. Saya berpikir, kan mereka semua sebetulnya dapat bertemu dan mencari cara pemecahan masalah yang terbaik.

Tapi beberapa program di bawah saran IMF, seperti penutupan bank pada 1997, malah menurunkan kepercayaan terhadap bank lokal, dan penghapusan bea masuk untuk beras dan gula terbukti menyulitkan petani?

Penutupan 16 bank saat itu harus dilakukan karena jika tidak, akan menimbulkan masalah-masalah ekonomi jangka panjang. Kenapa lantas dianggap gagal, karena penanganannya tidak bagus sehingga terjadi kepanikan dan rush terhadap bank lokal. Coba Anda lihat saat penutupan periode kedua dan seterusnya, saat IMF ikut menangani, kan tidak ada masalah.

Lalu, soal pembebasan bea masuk, prinsipnya kita kan tidak bisa terus memberikan proteksi terhadap industri dalam negeri, karena tidak sesuai dengan kehendak pasar. Hal ini harus dilihat dari sisi produsen dan konsumen. Perlindungan berlebihan pada petani akan menyebabkan penderitaan konsumen. Yang kita lakukan adalah petani bisa memproduksi secara tetap dengan keuntungan yang cukup, sedangkan pembeli membayar harga secukupnya saja, bukan harga proteksi. Saat itu, ketika harga beras dan gula naik, yang artinya harga pasar juga naik, bea harus dibebaskan agar harganya bersaing.

Lantas, mengapa program restrukturisasi perbankan dan korporat yang dicanangkan di bawah supervisi IMF berjalan lebih lambat dari yang diharapkan?

Dalam restrukturisasi perbankan, masalah terbesarnya adalah keputusan terlalu lambat dan ditunda-tunda sehingga rencana penjualan aset-asetnya juga tertunda terus. Lalu, ada juga kekurangan pada aset-aset kolateral perbankan yang diserahkan ke BPPN. Akibatnya, kita terlambat menjualnya ke pasar saat harga sedang bagus-bagusnya.

Ini kesalahan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional)?

BPPN tentu saja tahu persis apa yang mestinya mereka lakukan, tapi mereka butuh dukungan politik dari pemerintah, parlemen, dan presiden agar bisa menghindar dari tekanan pihak lain dan sentimen nasionalisme yang sempit dalam penjualan aset-asetnya.

Anda yakin mereka bisa dapat dukungan?

Secara prinsip, mestinya ya. Kalau tidak, saya tidak tahu lagi harus bicara apa.

Apakah menurut Anda kondisi ekstrem itu memerlukan perlakuan khusus IMF?

Sedapat mungkin semua perlakuan IMF seragam, betapapun besarnya perbedaan tiap negara. Jadi, tidak ada negara kreditor IMF yang mendapat perlakuan khusus. Indonesia saya pikir tidak perlu perlakuan khusus karena bisa mencapai target yang ditetapkan IMF.

Karena itu pula Anda menyarankan IMF segera mengucurkan pinjamannya saat ini?

Saya kira jika negosiasi bisa dipercepat dan jika review-nya juga cepat, dewan direksi IMF bisa bersidang untuk mengucurkan pinjaman pada program-program itu. Diperlukan tiga langkah untuk mengucurkan pinjaman, yakni IMF di Jakarta dan pemerintah berunding, lalu proposal diserahkan ke manajemen IMF untuk dibahas, dan terakhir ke dewan direksi yang memutuskan apakah pinjaman diberikan atau tidak. Itu makan waktu. Jadi, makin cepat makin baik.

Apa akibatnya jika ditunda lagi?

Penundaan pinjaman saat ini berdampak tidak baik untuk pasar karena kepercayaan investor akan jatuh terhadap Indonesia. Sekali lagi, semua itu butuh persetujuan dari pemerintah, parlemen, serta pihak lain yang dianggap mewakili.

Saat Anda di IMF, pinjaman juga sempat tertunda. Apa bedanya dengan penundaan kali ini?

Oh, waktu itu ada kasus Bank Bali yang sedang diinvestigasi, dan saya pikir penundaan itu dilakukan untuk menunggu kejelasan kasusnya. Saat itu semua pihak saya pikir bisa memahami keputusan IMF.

Seperti apa kebijakan dasar yang perlu dimiliki IMF dalam hubungannya dengan pemerintah Indonesia sekarang?

Saya semestinya tidak menjawab karena tidak lagi di IMF. Tapi saya pikir keduanya punya kepentingan untuk menjalin kerja sama yang lebih baik. Sebagai supervisor, IMF mestinya bisa segera mengucurkan pinjaman untuk mempercepat kestabilan ekonomi Indonesia. Kita semua berkepentingan dengan pemulihan ekonomi Indonesia.

Kabarnya IMF juga sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga penundaan pinjaman ini cuma alasan saja?

Wah, soal itu saya tidak tahu sama sekali karena, sekali lagi, saya tak lagi menangani IMF.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus