Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menyongsong Perkawinan BCA-Universal

Menurut Boston Consulting Group, BCA dan Universal merupakan dua bank yang paling memikat. Keduanya mungkin akan bergabung, tapi BCA tetap akan melakukan divestasi terlebih dahulu.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


BANK jawara. Begitulah jadinya bila bank yang andal dalam mengumpulkan dana nasabah bergabung dengan bank yang jago melempar kredit. Impian itu, kabarnya, ingin digapai Bank Central Asia (BCA) bersama Bank Universal. BCA, menurut data keuangan per Desember 2000, sukses mengumpulkan dana pihak ketiga hingga Rp 86,1 triliun, tapi yang bisa disalurkan sebagai kredit hanya Rp 4,1 triliun. Sedangkan Universal, menurut data keuangan per akhir Januari 2001, hanya bisa mengumpulkan Rp 11,4 triliun, tetapi yang bisa disalurkan mencapai Rp 5,9 triliun. Benarkah mereka akan kawin? Selama dua pekan terakhir, hal itu menjadi pembicaraan ramai di kalangan para bankir. Terlebih ada semacam pertanda: Jerry Ng—bekas Deputi Bank Restructuring Unit BPPN sekaligus mantan direksi Bank Universal—kini adalah Wakil Presiden Direktur BCA.

Masuknya Jerry ke BCA dianggap sebagai pembuka jalan ke arah merger kedua bank. Tapi ada juga suara sumbang. Seorang sumber TEMPO di pemerintahan menyebut rencana merger keduanya merupakan rekayasa kelompok alumni Citibank yang kini mendominasi BPPN. Tujuannya? Menguasai manajemen bank gemuk itu. Mula-mula dengan memasukkan Jerry, selanjutnya menempatkan Stephen Satyahadi—yang kini masih Direktur Utama Bank Universal—menjadi pemimpin puncak bank hasil merger itu.

Para perancang gagasan itu, menurut sumber TEMPO, sudah menghitung, manajemen bank hasil merger itu kelak akan menjadi solid dan tak mudah diubah. Soalnya, setelah BPPN melakukan divestasi, tak ada lagi pemilik saham mayoritas di sana. Padahal, menurut dia, Universal tak cocok digabungkan dengan BCA. "Masa, duit yang dikumpulkan dari pedagang Pasar Pagi dipakai untuk mendanai pengusaha perkebunan," ujarnya. Ketimbang dengan BCA, katanya, Universal lebih pas bergabung dengan Lippo sebagai sesama bank korporat.

Pejabat pemerintah tadi boleh melakukan kalkulasi. Tapi hasil kajian Boston Consulting Group (BCG)—konsultan yang disewa BPPN—menunjukkan BCA dan Bank Universal merupakan dua bank yang paling memikat secara bisnis. Kesimpulan tersebut muncul dengan menimbang kemampuan BPPN melakukan kontrol, serta kelebihan produk dan sistem yang dimiliki kedua bank itu. Menurut BCG, berdasar posisi keuangan, BCA adalah satu-satunya bank yang bisa dijual. Tapi, bila bank bekas milik Salim ini dijual sendirian, hal itu hanya akan menguntungkan pihak asing. Bank nasional lain yang tersisa akan kehilangan nasabah dan keuntungan, sehingga mereka menjadi makin lemah.

Untuk mendapat hasil yang optimal, BPPN mestinya melakukan konsolidasi sebelum menjual bank. Caranya, dengan menjadikan BCA dan Danamon menjadi bank induk (mother bank). Bank lain bergabung dengan keduanya. Kemudian Lippo dan Bukopin dibiarkan sendiri. Pola ini akan melahirkan bank yang kuat dengan peran yang jelas serta keuntungan lebih besar buat BPPN. Sayangnya, Indonesia sudah terikat kesepakatan letter of intent dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Sehingga, pilihan yang terpaksa diambil adalah BCA, Niaga, Lippo, dan Bukopin dibiarkan sendiri, dan sisa bank lainnya digabungkan. Selanjutnya BCA dan Niaga akan melakukan divestasi.

Bagaimana menurut BCA sendiri? Menurut Jerry Ng, fokus BCA saat ini adalah untuk memprioritaskan penjualan sahamnya. Pelepasan saham pemerintah sebanyak 40 persen itu akan segera dilakukan pada Juli 2001. Namun, Jerry menambahkan, tak tertutup kemungkinan, setelah menjual saham, BCA akan melakukan merger dengan bank lain. Adapun kriteria merger dan siapa bank yang akan diajak bergabung, "Tergantung persetujuan pemegang sahamnya kelak," katanya.

Yang menarik, Pejabat Hubungan Media Bank Universal, Albertus Pratomo, mengaku, "Saat ini ada komunikasi di antara bank-bank yang akan merger." Toh, Tommy, begitu sapaan akrabnya, berpendapat terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa BCA akan merger dengan Bank Universal. Begitu pula dengan dugaan bahwa Stephen Satyahadi akan menjadi bos di bank hasil merger itu. Yang pasti, ia optimistis, bila BCA dan Universal jadi bergabung, akan terjadi sinergi yang positif.

Bagi Universal, penggabungan memang merupakan pilihan yang paling memungkinkan untuk memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal (CAR) 8 persen. Sebetulnya, untuk menambal kekurangan modalnya, Universal hanya butuh tambahan Rp 400 miliar. Tapi duit sebesar itu ternyata sulit dicari di zaman sulit seperti sekarang.

Mau mengandalkan perolehan laba? Situasinya tak memungkinkan lantaran meroketnya suku bunga dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Mengharapkan injeksi modal dari luar dengan melakukan penawaran saham terbatas (right issue) atau mengundang mitra strategis juga sulit dilakukan. Soalnya, kondisi perbankan Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Nilai bukunya, menurut Tommy, lebih mahal ketimbang di Korea.

Nugroho Dewanto, Dewi Rina Cahyani, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus