Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR buruk itu dikirim dari kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Taman Suropati, Jakarta Pusat. Dalam rapat koordinasi antara tim ekonomi pemerintah dan Dewan Gubernur Bank Indonesia di Bappenas Jumat pekan lalu, diputuskan: kebijakan uang ketat (tight money policy/TMP) akan dilanjutkan. Deputi Gubernur BI Miranda Goeltom mengisyaratkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang kini sudah 15,93 persen bakal naik lagi.
Pemerintah dan BI agaknya sudah mati akal untuk mengatasi anjloknya nilai tukar rupiah. BI terus melakukan intervensi, bank pemerintah dan BUMN juga membantu dengan menjual dolarnya. Namun, penurunan nilai tukar rupiah tetap tidak tertahan. Pada perdagangan di pasar spot Jumat pekan lalu, rupiah ditutup pada posisi 11.800-11.900 per dolar AS. Dibandingkan dengan posisi awal tahun ini, rupiah sudah terdepresiasi sekitar 26 persen. Ini merupakan kurs terendah sejak September 1998.
Gubernur BI Syahril Sabirin menegaskan bahwa apa yang bisa dilakukan BI hanyalah menahan fluktuasi. Tapi bank sentral tak mungkin menganulir faktor-faktor yang menjadi penyebab utama melemahnya rupiah seperti keamanan dan kondisi politik yang makin panas. Sejumlah kalangan sangat khawatir terjadinya bentrok di kalangan akar rumput pascamemorandum kedua, yang akan dibahas DPR pada 30 April mendatang. "Rupiah bisa menembus Rp 15.000," kata bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Jusuf Kalla.
Karena itu, kebijakan uang ketat menjadi tak terelakkan lagi. BI memang tak punya pilihan lain kecuali mengombinasikan intervensi dengan pengetatan likuiditas untuk menahan rupiah. Repotnya, kebijakan ini akan menjadi mimpi buruk bagi dunia usaha dan masyarakat. Mereka punya pengalaman buruk ketika pemerintah menerapkan kebijakan ini pada awal 1990-an, yang dikenal sebagai Gebrakan Sumarlin, dan juga kebijakan moneter ekstraketat pada 1998. Ketika itu, dunia usaha bertumbangan, puluhan ribu perusahaan jadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) gara-gara tak mampu membayar utang, dan 65 bank gulung tikar.
Umar Juoro dari Cides dan Pande Radja Silalahi dari CSIS tidak setuju jika pemerintah dan BI menerapkan kebijakan moneter yang ketat. "Percuma saja menaikkan SBI jika kondisi politiknya tidak berubah," kata Umar. Dunia usaha pasti akan kesulitan membayar utang (default) jika bunganya melambung di atas 16 persen. Ini bak pukulan beruntun, terutama bagi perusahaan yang punya pasar dalam negeri, setelah kurs rupiah juga melemah di atas Rp 12.000. Umar mencontohkan Astra International dan Indofood. Jikapun belum mengalami kesulitan, keuntungan kedua perusahaan pasti akan mengecil.
Sinyal ke arah itu sudah diungkapkan sejumlah kalangan. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sudah merevisi target penjualan mobil tahun ini dari semula 300 ribu menjadi sekitar 225 ribu unit saja. Begitu pula penjualan elektronik. Sampai Maret lalu, Gabungan Elektronika Indonesia memperkirakan penjualan elektronik sudah turun 5 persen, sementara penjualan komputer diduga akan turun 20 persen pada tahun ini.
Yang lebih mengkhawatirkan, kata Umar, adalah perbankan dalam negeri. Jika banyak debitor gagal membayar utang, posisi kredit bermasalah bank-bank dalam negeri pasti akan meningkat. Saat ini, rata-rata kredit bermasalah perbankan nasional masih 18 persen. Padahal, akhir tahun ini mesti di bawah 5 persen. Kalau kondisi sekarang tidak berubah, kredit bermasalah itu bukannya turun melainkan akan semakin besar. Bukan hanya itu. Permodalan bank juga bisa tergerus jika bunga terus menanjak.
Hasil kajian The Boston Consulting Group jelas menggambarkan kekhawatiran itu. Dari kelompok bank rekap, kajian itu menunjukkan bahwa empat bank tidak akan mampu mencetak laba jika SBI di atas 17 persen. Empat bank itu adalah Bank Bali, Lippo, Danamon, Niaga, dan BII. Sementara itu, tiga bankBII, Bali, dan Universalbahkan bakal mengalami erosi modal jika SBI terus naik seperti sekarang. Semua itu terjadi karena 43 persen dari dana rekap sebesar Rp 430 triliun berbunga tetap (fixed rate) 12 persen.
Pendek kata, tak ada yang diuntungkan dengan melemahnya rupiah dan kebijakan uang ketat. Masyarakat pun akan terkena karena harga barang terus melambung gara-gara melemahnya rupiah. Menurut Pande, semua itu bisa diatasi jika kondisi politik membaik, sehingga kepercayaan masyarakat dan investor bisa pulih. Sayangnya, Presiden Abdurrahman Wahid dan parlemen seperti hidup dalam sebuah ruang kedap suara: tak mendengar suara siapa pun.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Tomi Lebang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo