Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Founder Indonesian Climate Justice Literacy (ICJL) Firdaus Cahyadi mengkritisi kebijakan 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dia menilai kebijakan mulai dari swasembada pangan, energi dan hilirisasi merupakan perwujudan dari tindakan bunuh diri ekologi. “Persoalan lingkungan hidup benar-benar ditempatkan di bawah kepentingan ekonomi jangka pendek,” kata Firdaus dalam keterangan resmi, Jumat, 17 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, pemeirntah lebih merancang tiga program andalan seperti swasembada pangan, energi dan hilirasasi, kata Firdaus untuk melayani pasar internasional. Dalam pelaksanannya, dia juga menilai lebih banyak mengorbankan hak-hak masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. “Swasembada pangan yang digagas Prabowo Subianto, misalnya, bertumpu pada pertanian skala besar atau lebih sering disebut food estate. Program food estate ini membutuhkan banyak lahan yang berpotensi mengalihfungsikan hutan alam dan juga meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat lokal,” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal yang sama juga terjadi pada swasembada energi. Dia menilai program tersebut berbasiskan biofuel (bahan bakar yang berasal dari bahan organik) yang ternyata rakus terhadap lahan. Sehingga berpotensi merusak lingkungan dan juga menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal.
Perluasan lahan untuk proyek energi dan juga pangan pemerintahan Prabowo Subianto itu, rupanya dikonfirmasi oleh pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Ia sempat mengungkapkan Pemerintahan Prabowo Subianto akan membuka lahan hutan cadangan seluas 20 juta hektare atau hampir dua kali lipat Pulau Jawa untuk sumber ketahanan pangan dan energi.
“Pernyataan Menteri Kehutanan itu muncul beberapa hari setelah Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tentang perlunya ekspansi sawit, tanpa takut deforestasi,” kata dia.
Sementara itu, lanjut Firdaus, hilirisasi mineral kritis (nikel) sudah merusak alam sejak dari hulunya, di pertambangan nikel. "Masyarakat di sekitar pertambangan nikel banyak yang mengalami kesulitan memperoleh udara dan air bersih."
Dia menyampaikan publik semestinya segera menghentikan kebijakan pembangunan yang mengarah ke upaya bunuh diri ekologi itu. “Jika publik terus mendiamkan upaya bunuh diri ekologi itu, cepat atau lambat publik sendiri yang akan menjadi korbannya,” kata dia. “Aksi kolektif publik sangat diperlukan untuk menyelamatkan Indonesia dari bunuh diri ekologi ini.”