Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan drastis hingga mencapai 5 persen pada 18 Maret. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia (BEI) menerapkan trading halt selama setengah jam sebagai bagian dari sistem circuit breaker guna meredam volatilitas berlebihan dan mencegah kepanikan di pasar modal.
Menurut Dr Rijadh Djatu Winardi, akademisi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), pelemahan IHSG ini merupakan bentuk respons investor asing terhadap ketidakpastian yang melingkupi ekonomi dan politik dalam negeri. Salah satu faktor pemicu utama adalah kebijakan fiskal pemerintah yang tidak jelas, termasuk rencana peningkatan belanja negara tanpa adanya sumber pendanaan yang stabil.
"Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang semakin melebar dalam dua bulan pertama tahun 2025 semakin menambah kekhawatiran di kalangan investor," kata Rijadh dalam keterangannya pada Kamis, 20 Maret 2025, dikutip dari laman UGM.
Selain itu, aksi dalam jual saham-saham berkapitalisasi besar di sektor perbankan milik negara memperparah situasi. Keputusan kontroversial pemerintah seperti penghapusan pencatatan utang Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta regulasi baru terkait Danantara mendapatkan tanggapan negatif dari pasar. Ketidakpastian aturan dan kemungkinan konflik kepentingan menyebabkan banyak investor mengurangi kepemilikan mereka di sektor keuangan.
Salah satu kebijakan lain yang menjadi sorotan adalah program makan bergizi gratis (MBG) senilai 28 miliar dolar per tahun. Meskipun memiliki manfaat sosial yang besar, program ini juga dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan fiskal. "Jika tidak dikelola dengan baik, program tersebut dapat memperbesar defisit anggaran, yang pada akhirnya berimbas pada berkurangnya kepercayaan investor dan mendorong aksi jual saham," ujarnya.
Di sisi lain, pendirian 80.000 koperasi desa dengan dukungan pinjaman dari bank-bank BUMN menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan meningkatnya kredit macet. Dari aspek pergerakan modal, pada 18 Maret tercatat bahwa investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp2,48 triliun, sementara investor domestik membeli saham-saham berkapitalisasi besar senilai Rp2,5 triliun.
"Tren penjualan oleh investor asing telah berlangsung sejak Februari dan semakin diperburuk dengan penurunan peringkat saham Indonesia oleh lembaga keuangan global seperti Morgan Stanley dan Goldman Sachs," ujar Rijadh.
Lebih lanjut, dikutip dari Antara, data menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi sebesar 0,48 persen secara bulanan (month-to-month) dan 0,09 persen secara tahunan (year-on-year) pada Februari 2025.
Kondisi ini mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat, yang berisiko menekan sektor riil, termasuk industri properti, otomotif, dan perbankan. Namun, Rijadh menegaskan bahwa deflasi bukanlah faktor utama yang menyebabkan penurunan IHSG pada 18 Maret, meskipun dalam jangka panjang dapat berdampak pada emiten-emiten yang bergantung pada konsumsi domestik.
Mekanisme trading halt memiliki fungsi penting dalam menjaga stabilitas pasar. Rijadh menjelaskan bahwa penghentian perdagangan sementara memberikan waktu bagi investor untuk mencerna informasi dan menghindari keputusan emosional.
"Di setiap krisis, pasar akan mengalami rebound. Ini bisa menjadi peluang, tetapi harus disikapi dengan kehati-hatian karena tidak ada yang tahu kapan titik terendah dari penurunan akan terjadi," ujarnya. Ia pun menyarankan agar investor melakukan diversifikasi investasi guna meminimalkan risiko, serta menerapkan strategi cut loss secara disiplin untuk melindungi modal mereka.
Pilihan Editor: Ketika IHSG Anjlok dan BEI Lakukan Trading Halt Guna cegah Kerugian Investor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini