Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Iklan, Jangan Malu

Iklan bagi majalah dan koran merupakan pilihan terbaik untuk mempertahankan kelangsungan hidup pers & pengembangannya, seperti diungkapkan oleh haji samawi dari k.r & aristides katoppo dari s.h. (md)

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORAN dan majalah yang menampung banyak iklan belakangan ini cenderung dikecam pembaca. Penerbit sering dituduh terlalu rakus karena berkurang halamannya untuk berita demi kepentingan iklan. Tapi bisakah hidup tanpa iklan? Ada majalah seperti Panjebar Semangat (Surabaya) hidup tanpa iklan. Selama 13 tahun ini bisa bertahan, malah menekan harga jual hingga Rp 125/eksemplar. PS yang berbahasa Jawa ini setiap minggu setiap dengan oplah 58.000. "Kita jalan terus tanpa iklan sekalipun harus nrimo," kata Imam Basoeki, Redaktur Pelaksananya kepada Slamet Oerip Pribadi dari TEMPO. Kehidupannya, tentu saja, pas-pasan yang akan sulit untuk bertumbuh secara mengesankan. Harian Kedaulatan Rakyat (Yogya) juga mengaku mampu hidup dengan mengandalkan uang langganan pembaca. Oplahnya 30.000. "Tapi terus terang rapuh, kami sulit untuk maju," kata Haji Samawi, Pemimpin Umumnya. Sebab betapapun buruk iklan di mata pembaca, "kemajuan KR ditunjang iklan 20%," tambahnya kepada Mohamad Cholid dari TEMPO. "Kalau iklan tidak ada, pembaca harus membayar koran 200-300% dari harga jual kami yang sekarang," kata Aristides Katoppo, anggota direksi P.T. Sinar Kasih, penerbit Sinar Harapan. "Ini artinya yang bisa baca koran hanya yang mampu saja." Rismansyah Thaher, manajer bagian iklan majalah wanita Kartini mengemukakan hal serupa. "Dengan memuat iklan, para pembaca secara tak Iangsung menerima subsidi," katanya. Iklan memang pilihan tunggal terbaik untuk mempertahankan kelangsungan hidup industri pers. Dengan hasil iklan itu pers membiayai dan mengembangkan dirinya. "Kami tidak mungkin bisa menugaskan Nasir Tamara ke Iran (koresponden SH di Paris -- red.) kalau tidak ada hasil dari iklan," ungkap Katoppo "Biaya untuknya per hari hampir sama dengan harga iklan setengah halaman (sekitar Rp 1,5 juta -- red)." Majalah TIME mengeluarkan lebih US$100.000 setahun untuk mengongkos seorang korespondennya di Washington D.C. Untuk kertas mencetak dan mendistribusikan, majalah itu merogoh US$120 juta setahun. Juga majalah TEMPO untuk memperoleh wawancara eksklusif dengan Ayatullah Khomeini maupun Norodom Sihanouk -- ketika itu langsung dari Paris -- dan melakukan reportase ke Teheran (Iran), tak sedikit mengeluarkan dana. Berita yang bagus seringkali memerlukan biaya besar. Industri pers memang bisnis yang mahal. Karena "keuntungan yang mereka peroleh, tidak boleh menyebabkan pers harus dicurigai," tulis Henry Anatole Grunwald, Pemimpin Redaksi TIME pada terbitan 16 Juli 1979. "Banyak orang sering terganggu oleh kenyataan pers sebagai sarana yang melayani kepentingan umum dan toh mengejar keuntungan. Tapi dalam hal ini pers tidak perlu sungkan." Tapi dengan iklan pula, selain tekanan politik pihak luar sering mencoba menggoyahkan integritas sebuah penerbitan. Garuda Indonesian Airways belum lama ini, misalnya, mencabut iklannya secara demonstratif dari TEMPO akibat suatu tulisan yang dianggap tajam. Memang terlalu riskan aspek komersialnya, namun kuat secara ekonomis adalah syarat yang tepat bagi pers untuk merdeka, seperti dinyatakan Grunwald, supaya tidak lemah dan segera menyerah pada penyuapan maupun tekanan kelompok bisnis atau politik. Di bawah Mutu Kalau iklan dibatasi dan pemerintah memberi kompensasi dengan subsidi, bersediakah penerbit? "Kami lihat dulu berapa jumlahnya," jawab Samawi. Ia seperti juga banyak pemimpin koran dan majalah lainnya tentu tidak ingin subsidi itu kalau akhirnya membuat kebebasan pers jadi berkurang. Pravda oplah sekitar 12 juta/hari -- dengan subsidi pemerintah Soviet telah menjadi corong resmi yang sempurna. Sekalipun ia boleh melancarkan otokritik, kebebasan yang dimilikinya tidak serupa dengan koran Kompas misalnya. Katoppo malahan khawatir andaikata ada pembatasan atau penghapusan iklan justru media cetak luar negeri yang akan memanfaatkannya. "Masak untuk memasarkan produksi dalam negeri saja produsen kita sampai harus menggunakan media asing!" katanya. Bukan hanya penerbit yang memperoleh keuntungan. Pengusaha yang memasang iklan sebagai salah satu upaya untuk memasarkan produknya juga banyak tertolong. "Tanpa promosi lewat iklan, pengusaha sulit menjual barangnya, dan industri bisa macet, yang seterusnya pajak akan sulit masuk," kata Baty Subakti, Direktur Media Biro Iklan P.T. Indo Ad. Iklan itu sendiri memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya iklan film. "Kalau sebelumnya mereka tidak baca iklan, kan waktunya bisa habis untuk mencari film yang disukai," sebut Katoppo. Namun, seperti diakui Subakti, banyak iklan di Indonesia kini masih di bawah mutu standar, dan menyesatkan. "Banyak iklan yang berlebihan dan bohong," kecam Subakti "Pengusaha iklan yang baik tidak akan membohongi konsumen." Walaupun tidak menyesatkan, pantaskah bagi penerbit untuk memuat iklan sesuka hatinya? "Kalau suratkabar itu 12 halaman," kata Katoppo, "iklannya bisa 40%." Dia menganjurkan supaya dijaga ratio (perbandingan) yang tepat antara jumlah halaman berita dan iklan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus