KORAN dan majalah yang menampung banyak iklan belakangan ini
cenderung dikecam pembaca. Penerbit sering dituduh terlalu rakus
karena berkurang halamannya untuk berita demi kepentingan iklan.
Tapi bisakah hidup tanpa iklan?
Ada majalah seperti Panjebar Semangat (Surabaya) hidup tanpa
iklan. Selama 13 tahun ini bisa bertahan, malah menekan harga
jual hingga Rp 125/eksemplar. PS yang berbahasa Jawa ini
setiap minggu setiap dengan oplah 58.000. "Kita jalan terus
tanpa iklan sekalipun harus nrimo," kata Imam Basoeki, Redaktur
Pelaksananya kepada Slamet Oerip Pribadi dari TEMPO.
Kehidupannya, tentu saja, pas-pasan yang akan sulit untuk
bertumbuh secara mengesankan.
Harian Kedaulatan Rakyat (Yogya) juga mengaku mampu hidup dengan
mengandalkan uang langganan pembaca. Oplahnya 30.000. "Tapi
terus terang rapuh, kami sulit untuk maju," kata Haji Samawi,
Pemimpin Umumnya. Sebab betapapun buruk iklan di mata pembaca,
"kemajuan KR ditunjang iklan 20%," tambahnya kepada Mohamad
Cholid dari TEMPO.
"Kalau iklan tidak ada, pembaca harus membayar koran 200-300%
dari harga jual kami yang sekarang," kata Aristides Katoppo,
anggota direksi P.T. Sinar Kasih, penerbit Sinar Harapan. "Ini
artinya yang bisa baca koran hanya yang mampu saja."
Rismansyah Thaher, manajer bagian iklan majalah wanita Kartini
mengemukakan hal serupa. "Dengan memuat iklan, para pembaca
secara tak Iangsung menerima subsidi," katanya.
Iklan memang pilihan tunggal terbaik untuk mempertahankan
kelangsungan hidup industri pers. Dengan hasil iklan itu pers
membiayai dan mengembangkan dirinya. "Kami tidak mungkin bisa
menugaskan Nasir Tamara ke Iran (koresponden SH di Paris --
red.) kalau tidak ada hasil dari iklan," ungkap Katoppo "Biaya
untuknya per hari hampir sama dengan harga iklan setengah
halaman (sekitar Rp 1,5 juta -- red)."
Majalah TIME mengeluarkan lebih US$100.000 setahun untuk
mengongkos seorang korespondennya di Washington D.C. Untuk
kertas mencetak dan mendistribusikan, majalah itu merogoh US$120
juta setahun. Juga majalah TEMPO untuk memperoleh wawancara
eksklusif dengan Ayatullah Khomeini maupun Norodom Sihanouk --
ketika itu langsung dari Paris -- dan melakukan reportase ke
Teheran (Iran), tak sedikit mengeluarkan dana. Berita yang bagus
seringkali memerlukan biaya besar. Industri pers memang bisnis
yang mahal.
Karena "keuntungan yang mereka peroleh, tidak boleh menyebabkan
pers harus dicurigai," tulis Henry Anatole Grunwald, Pemimpin
Redaksi TIME pada terbitan 16 Juli 1979. "Banyak orang sering
terganggu oleh kenyataan pers sebagai sarana yang melayani
kepentingan umum dan toh mengejar keuntungan. Tapi dalam hal ini
pers tidak perlu sungkan."
Tapi dengan iklan pula, selain tekanan politik pihak luar sering
mencoba menggoyahkan integritas sebuah penerbitan. Garuda
Indonesian Airways belum lama ini, misalnya, mencabut iklannya
secara demonstratif dari TEMPO akibat suatu tulisan yang
dianggap tajam. Memang terlalu riskan aspek komersialnya, namun
kuat secara ekonomis adalah syarat yang tepat bagi pers untuk
merdeka, seperti dinyatakan Grunwald, supaya tidak lemah dan
segera menyerah pada penyuapan maupun tekanan kelompok bisnis
atau politik.
Di bawah Mutu
Kalau iklan dibatasi dan pemerintah memberi kompensasi dengan
subsidi, bersediakah penerbit? "Kami lihat dulu berapa
jumlahnya," jawab Samawi. Ia seperti juga banyak pemimpin koran
dan majalah lainnya tentu tidak ingin subsidi itu kalau akhirnya
membuat kebebasan pers jadi berkurang. Pravda oplah sekitar 12
juta/hari -- dengan subsidi pemerintah Soviet telah menjadi
corong resmi yang sempurna. Sekalipun ia boleh melancarkan
otokritik, kebebasan yang dimilikinya tidak serupa dengan koran
Kompas misalnya.
Katoppo malahan khawatir andaikata ada pembatasan atau
penghapusan iklan justru media cetak luar negeri yang akan
memanfaatkannya. "Masak untuk memasarkan produksi dalam negeri
saja produsen kita sampai harus menggunakan media asing!"
katanya.
Bukan hanya penerbit yang memperoleh keuntungan. Pengusaha
yang memasang iklan sebagai salah satu upaya untuk memasarkan
produknya juga banyak tertolong. "Tanpa promosi lewat iklan,
pengusaha sulit menjual barangnya, dan industri bisa macet, yang
seterusnya pajak akan sulit masuk," kata Baty Subakti, Direktur
Media Biro Iklan P.T. Indo Ad.
Iklan itu sendiri memberi informasi yang dibutuhkan masyarakat.
Misalnya iklan film. "Kalau sebelumnya mereka tidak baca iklan,
kan waktunya bisa habis untuk mencari film yang disukai," sebut
Katoppo.
Namun, seperti diakui Subakti, banyak iklan di Indonesia kini
masih di bawah mutu standar, dan menyesatkan. "Banyak iklan yang
berlebihan dan bohong," kecam Subakti "Pengusaha iklan yang baik
tidak akan membohongi konsumen."
Walaupun tidak menyesatkan, pantaskah bagi penerbit untuk memuat
iklan sesuka hatinya? "Kalau suratkabar itu 12 halaman," kata
Katoppo, "iklannya bisa 40%." Dia menganjurkan supaya dijaga
ratio (perbandingan) yang tepat antara jumlah halaman berita dan
iklan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini