Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Orang-Orang Sial Dan Ilmu Sosial

Organisasi ilmiawan sosial hipis, menyelenggarakan seminar tentang jalur pemerataan dan kemiskinan struktural. tidak mampu menunjukkan jalan keluar bagi kemiskinan struktural di negara-negara berkembang.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUAT keluarga buruh-petani yang mengandalkan pembagian ikatan panenan, bawon, pada waktu musim menuai, keputusan sang pemilik sawah pada satu hari untuk menebaskan saja panenan sawahnya merupakan hari yang gelap gulita. Bagi mereka, dengan sekali renggut rezeki makan mereka begitu saja lenyap. Bagi keluarga petani gurem yang mengandalkan hidupnya yang serba kekurangan itu dari hasil tanahnya yang cuma sebesar beberapa kedok itu, keputusan sang penguasa untuk menggusur mereka karena mereka mengerjakan tanah perkebunan secara tidak sah merupakan hari kiamat. Bagi mereka, dengan sekali tebas putuslah sudah kepala. Bagi keluarga nelayan tradisional kecil yang mengandalkan rezekinya pada hasil tangkapan mereka yang sporadis itu, hadirnya armada pukat harimau yang mendapat berbagai dekking itu merupakan pukulan gelombang yang tak tertanggulangi lagi. Bagi mereka, dengan sekali sempyokan ombak rezeki mereka telah lenyap ke dasar lautan. Bagi, bagi, bagi .... seakan tak ada habisnya duka cerita jutaan keluarga rakyat-kecil sejak berabad-abad. Buat jutaan orang yang mengalami kesialan seperti itu dapatlah dibayangkan mereka masih akan sempat bertemu dan berurusan dengan lembaga-lembaga di masyarakat beserta segala perangkat hierarki birokrasinya? Untuk mendengarkan penjelasan tentang bimas, kredit bank rakyat, pembatasan kelahiran, gunanya Puskesmas, pentingnya koran masuk desa dan seribu satu penerangan lainnya lagi? Mereka yang mesti menjawab pertanyaan-pertanyaan elementer tetapi gawat yang mesti mereka jawab pada hari itu juga, bahkan menit itu juga. Pertanyaan seperti ke mana mesti mencari panenan, ke mana mesti mengerjakan tanah, ke mana mesti mencari ikan dan udang. Dan bila untuk membayangkan bertemu dengan orangorang yang menghiasi perangkat birokrasi pelembagaan desa mereka saja sudah susah, bagaimana mesti dibayangkan daya jangkau "orang-orang sial" itu dengan orang-orang yang terletak dalam radius jangkauan yang lebih jauh atau tinggi lagi. Bagi rakyat banyak yang miskin itu mungkin sekali orang-orang yang berada di balik atau di atas desa mereka mereka taruh saja dalam satu kategori: orang gede. Barangkali bukan kebetulan bila orang desa Jawa menyebut siapa saja itu priyantun -- bentuk halus dari kata priyayi .... Dari sudut posisi rakyat kecil yang miskin yang terjepit itu, yang cakrawalanya hanya sejauh periuk nasi mereka yang kosong yang bertengger di atas tungku yang tidak berasap, juga para ahli ilmu-sosial adalah "orang-orang gede", priyantun-priyantun, yang tempatnya adalah nun jauh di sana di balik cakrawala. Bagi orang yang hidup dalam kemiskinan "struktural" itu, mereka sudah lama menyesuaikan dengan apa yang disebut oleh Oscar Lewis (Five Families La Vida, The Children of Sanchez) the culture of poverty budaya kemelaratan. Dalam keadaan begitu mereka telah lama menyesuaikan dengan orientasi nilai kemelaratan yang mempunyai aturan dan dinamika sendiri. Maka bagi mereka, apa yang terjadi di balik cakrawala mereka -- termasuk apa yang diomongkan orang-orang di balik cakrawala itu -- adalah hal-hal yang pantas dikhayalkan saja -- saking jauhnya letak itu semua dari mereka. Mengingat itu semua alangkah kikuk posisi organisasi ilmiawan sosial seperti HIPIS menyelenggarakan satu seminar ilmiah tentang jalur pemerataan dan kemiskinan struktural. Kikuk karena tema seperti ini adalah satu tema yang "panas" dan peka. Tema seperti ini akan bisa sekaligus membangkitkan tuntutan dan tuduhan. Tuntutan akan kualitas compassion atau simpati para pujangga ilmu-sosial itu terhadap persoalan dan "aktor pendukung" kemiskinan stuktural itu. Ini adalah tuntutan yang pagi-pagi sudah berbau kecurigaan terhadap kemampuan para pujangga ilmu-sosial yang klas-menengah itu untuk menanggapi kemiskinan dengan simpati yang murni. Kecurigaan ini kemudian bisa meningkat pada keputusan bahwa para pujangga itu, sebagai layaknya anggota klas menengah kota, yang terpeluk ketat oleh gaya hidup kota, tidak akan mungkin mampu peka terhadap persoalan kemiskinan. Ini akan bisa membawa kepada tuduhan bahwa kalau toh para warga klas-menengah kota yang berpredikat ahli ilmu-sosial itu mulai menaruh perhatian pada soal-soal kemiskinan maka itu adalah sekedar basa-basi, lip-service atau suatu pic-nic ke dunia miskin. Dan lebih berat lagi bila tuduhan itu meningkat sebagai tuduhan yang membayangkan seminar seperti ini adalah keinginan warga klas-menengah kota itu untuk menjadikan kemiskinan sebagai satu commodity, satu barang dagangan untuk dijajakan pada forum pembiayaan internasional. Jadi semacam "paket pengemisan" untuk dijual berkeliling pada suatu konsorsium penelitian ilmiah. Tuntutan yang berikut adalah tuntutan terhadap kualitas kemampuan para pujangga ilmu-sosial kita secara profesional menghayati kemiskinan struktural itu. Sudahkah para pujangga itu menguasai metodologi dan mengembangkan teori yang cukup jitu, halus dan tepat untuk dapat menggarap kemiskinan struktural kita? Dan bukan sekedar pengetrapan secara membabi-buta metodologi dan teori para superstar ilmu-sosial asing? .... Tuntutan dan bahkan tuduhan seperti tersebut di atas adalah sah meskipun mungkin tidak selalu adil, fair. Kesahan itu terletak pada kenyataan kemiskinan struktural itu yang sudah ada selama berabad dan tak kunjung teratasi. Serta juga pada kenyataan bahwa posisi para ilmiawan, para pujangga kita, adalah posisi elite dalam masyarakat kita yang berpretensi Pancasila ini. Mungkin ini jauh hari sudah disadari oleh para anggota HIPIS. Sebab bila tidak, bagaimana menjelaskan sikap keterbukaan HIPIS untuk merangkul sebanyak mungkin unsur non-HIPIS dan non-akademik dalam pembahasan-pembahasan itu? Dari sudut ini keputusan HIPIS untuk memilih tema yang begitu "panas" dan peka adalah satu keberanian yang patut dihargai. Tapi sembari menghargai itu baiklah peringatan Soedjatmoko bahwa agaknya banyak dari teori ilmu-sosial, teori ekonomi dan ideologi politik yang dianggap mapan, established, dewasa ini terbukti tidak mampu menunjukkan jalan keluar bagi kemiskinan struktural di negara-negara berkembang, direnungkan ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus