Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Panggung budaya tahun 30-an

Sutan takdir alisyahbana pada th 30-an menyatakan bahwa masa depan budaya kita harus terarah ke barat. menurut syahrir bangsa kita pikirannya terlalu barat, kaum intelek lebih dekat ke as dan eropa.

19 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Februari 1934 ketika "triumvirate" Sukarno-Hatta-Syahrir dibuang Belanda, suasana perjuangan politik menjadi kerut kalau bukan kecut. Gubernur Jenderal De Jonge mau secepatnya melumpuhkan sayap radikal nonkooperatif dari para pejuang kemerdekaan. 'Alasan di atas segala alasan kita adalah perlunya menegakkan keamanan dan ketertiban ....,' katanya. Setelah itu ia pun mendendangkan 'lagu biasa' dari setiap penguasa, yaitu memperketat penjagaan terhadap semua gerakan politik yang dicurigai, dengan penyusupan polisi rahasia ke mana-mana. Gebrakan De Jonge, yang pada mulanya ragu itu temyata hasilnya amat efektif. Dalam tekanan yang bertubi-tubi itu partai-partai radikal ambruk. Partindo, partainya Sukarno secara resmi dibubarkan oleh Sartono tahun 1936. PNI-Barunya Syahrir-Hatta pun susut lalu mati sejak saat para penganjur mereka ditangkap, meskipun tak pernah secara formal dibubarkan. Termasuk koran mereka Daulat Rakyat. Di penjara Glodok Hatta sempat heran apa sebab Daulat Rakyat tak bisa terbit lagi .... Ditantang oleh kiprah De Jonge, pada akhirnya gerakan politik nasional mengembangkan sikap dan warna perjuangan yang agak lain. Perubahan warna tersebut nampak dalam pembentukan Parindra tahun 1935 yang diketuai Raden Sutomo. Parindra dan Gerindo kemudian merupakan dua partai terkemuka yang penampilannya dapat dikatakan kooperatif, santun, hati-hati serta pendiam. Ancaman pembuangan tetap membayangi setiap kelompok yang berani terang-terangan menentang pemerintah. Satu-satunya lembaga yang bebas dari sensor pemerintah, yaitu sisa tempat untuk berpolitik tinggal Dewan Rakyat (Volksraad). Simbolik dari perubahan warna perjuangan politik nampak dalam apa yang terkenal dengan 'Petisi Sutarjo' yang disampaikan pada tanggal 15 Juli 1936. Petisi tersebut dengan lembut memohon kepada pemerintah agar 'diselenggarakan pertemuan yang setara antara pihak Belanda dengan wakil Indonesia, untuk membicarakan bersama rencana terperinci tentang otonomi Indonesia.' Toh, usul yang disorongkan oleh enam orang penanda-tangan petisi tersebut yang dengan hormat mengajukan permohonan pada Pemerintah Tinggi dan Staten General 'Soepaja soekalah menolong', pada akhirnya ditolak. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar di kalangan para pejuang kemerdekaan. Kekecewaan demi kekecewaan menumpuk. Tuntutan kemerdekaan dengan halus atau kasar ternyata tak 'menginsyafkan' Belanda. Dalam keadaan putus-asa semacam ini maka salah satu hiburan di kalangan para pejuang adalah pada meletusnya Perang Pasifik. Di kalangan rakyat kebanyakan semakin santer bertiup nubuatan 'nabi Jawa' Joyoboyo yang sejak lama mereka tunggu kebenarannya. Yaitu bakal datangnya bangsa kuning dari arah utara yang akan mengusir Belanda dari bumi Nusantara. Sementara itu 'tiga serangkai' bersunyi-sunyi di pengasingan. Sukarno di Flores kemudian pindah ke Bengkulu. Dalam kesunyiannya ia banyak mengisi waktu mempelajari soal keagamaan. Khususnya sejarah dan aliran dalam pemikiran theologi Islam. Demi mencari kecocokan pandangan. Sedangkan Hatta sibuk antara lain dengan sistematik filsafat Yunani. Syahrir yang bersama Hatta dapat bagian Digul dan Banda Neira lebih tertarik pada renungan kebudayaan. Lewat refleksi personalnya ia menyelami masalah hubungan antara vitalitas kebudayaan Barat dan kelambanan kebudayaan Timur. Suasana retraite yang reflektif semacam ini memberikan kesempatan untuk merenungi aspek spiritual-kultural yang dalam keadaan biasa mungkin tak tersentuh. Dalam suasana vacum, kecewa dan sunyi seperti itulah berlangsung 'Polemik Kebudayaan' yang terkenal (1935, 1936 dan 1939). Masalah kebudayaan dilontarkan jauh melintasi jangkauan politik saat itu. Apabila perjuangan politik kandas, 'polemik' menembusnya dan menempatkan perjuangan di seberang penjajahan. Pada saat para pejuang politik terkurung tanpa daya, muncul isyarat lain yang dilontarkan dalam polemik berupa semangat yang tegar dan optimisme yang tak tertahankan. Pendekar muda usia (27 tahun) asal Sumatera yang bergelar Sutan Takdir Alisyahbana menggebrak panggung budaya dengan pilihan yang tegas-lugas. "Perantauannya" ke Barat menyentakkan kesadarannya ke masa depan. Masa depan budaya Indonesia harus terarah ke Barat. Unsur-unsur dinamis budaya Barat khususnya ilmu dan teknik harus dikejar. Kesatuan budaya nasional adalah ciptaan khas abad 20, milik semangat waja generasi muda. Provinsialisme adalah jahiliah. Budaya Timur yang mementingkan harmoni alam adalah lemah dan statis. Pendidikan hendaknya menyadarkan generasi muda pada nilai-nilai individualisme, intelektualisme, egoisme dan materialisme. 'Dengar, dengarlah tempik kegirangan memenuhi udara! Itulah generasi baru yang tiada tertahan menuju ke puncak.. dan seterusnya. Gaung suara Takdir beserta dengan segala soal yang ditimbulkannya terus bergema di sepanjang tahun kehidupan republik ini. Adapun Syahrir di Banda Neira yang sepi, mengeluh: 'Aku, boleh jadi terlalu abstrak bagi bangsaku. Teramat jauh dari alam pikir mereka, terlalu 'Barat'. Dan mereka juga bagiku terlampau lamban .... kaum intelektual kita lebih dekat ke Amerika, Eropa daripada Borobudur atau Mahabarata. Keluhan ini boleh jadi merupakan simbolik frustrasi intelektual tahun 30-an. Dan sebagaimana gaung suara Takdir yang masih dapat kita dengar hari ini, begitu pula keluhan Syahrir. Simbolik frustrasi kaum intelektual kita hari ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus