Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Impor Besi dan Baja Tak Terbendung

Pemerintah didesak menerapkan kebijakan non-tarif untuk menekan impor.

11 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat besi baja di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Industri besi dan baja masih terus tergerus oleh produk impor. Badan Pusat Statistik mencatat nilai impor besi dan baja sepanjang Januari-Agustus 2019 mencapai US$ 6,38 miliar. Capaian tersebut tumbuh 5,5 persen dari periode yang sama pada tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Silmy Karim, menuturkan tingginya impor besi dan baja telah berpengaruh pada rendahnya utilisasi produsen baja nasional dari hulu hingga hilir. "Tren impor besi dan baja terus meningkat sebesar 12 persen dalam tiga tahun terakhir hingga tahun lalu. Sementara utilisasi pabrik baja masih di bawah rata-rata 50 persen,” ujarnya, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Silmy, derasnya arus impor barang besi dan baja diperparah oleh perdagangan tidak sehat (unfair trade), misalnya pemberian subsidi dari negara pengekspor, manipulasi dokumen, pengalihan nomor harmonized system atau pos tarif, hingga dumping. Hal tersebut, kata dia, turut berkontribusi terhadap tergerusnya pangsa pasar produsen baja nasional lantaran harga yang dijual lebih rendah.

"Dari 20 pabrik hilir, tersisa tujuh pabrik yang masih beroperasi dalam kurun dua tahun terakhir,” kata Silmy. "Kalau ini (hilir) mati, industri hulu dan intermedia (tengah) juga akan terkena dampak karena menjual kepada mereka.”

Meski pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 110 Tahun 2018 tentang ketentuan impor besi atau baja, baja paduan, dan produk turunannya, Silmy menuturkan implementasinya belum optimal. "Masih ada izin impor yang dikeluarkan sebelum Permendag itu dan baru berakhir pada Januari 2020. Artinya, tekanan industri besi dan baja masih terus berlanjut,” tutur Silmy.

Wakil Kluster Baja Lapis Seng (BjLS) IISIA, Suryo Purnomo, mengatakan banjir impor besi dan baja juga disebabkan oleh kurangnya harmonisasi produk dari hulu ke hilir. Menurut dia, dalam menentukan kebijakan untuk impor, pemerintah juga perlu melihat kapasitas produksi dan pasokan dari dalam negeri. "Kalau saya lihat, apa yang dilakukan importir angkanya sangat jomplang karena tak melihat kapasitas dalam negeri sehingga utilisasi pabrik rendah,” tuturnya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian, Johnny Darmawan, mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan non-tarif measurement (NTM) untuk melindungi industri dalam negeri. Menurut Johnny, cara tersebut lebih efektif lantaran semakin kecilnya tarif bea masuk, sebagai konsekuensi diberlakukannya kesepakatan perjanjian dagang.

"Perlindungan terhadap industri manufaktur dalam negeri pasca-FTA (perjanjian dagang) menjadi suatu tuntutan yang sangat krusial agar persaingan usaha tetap sehat dan industri nasional bisa berkelanjutan,” ujar Johnny.

Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian, Bambang Adi Winarso, mengatakan pemerintah akan mengulas tindakan NTM untuk melindungi industri dalam negeri. Saat ini terdapat sekitar 900 NTM yang terdapat dalam kebijakan Indonesia, tapi kebijakan itu dinilai tidak efektif dan kerap kalah dalam gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

"NTM boleh digunakan, perlu main cantik sehingga mereka tidak tahu itu kalau sedang dipersulit. Jangan sampai NTM itu hanya penghilang rasa sakit, tidak menyembuhkan,” ujar Bambang.

Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menuturkan pemerintah tidak perlu khawatir soal penerapan NTM karena banyak negara yang melakukan tindakan serupa. Namun, kata Enny, belum pernah ada NTM yang digugat oleh WTO sebagaimana yang dialami Indonesia.

Menurut Enny, kekalahan Indonesia dalam gugatan WTO sering terjadi lantaran regulasi satu dengan yang lain tidak konsisten dan perlakuan berbeda kepada beberapa negara. Padahal, di beberapa negara. NTM jelas untuk melindungi industri dalam negeri. "Tidak pernah NTM yang disampaikan Indonesia untuk kepentingan dalam negeri,” ujar Enny. LARISSA HUDA


Impor Besi dan Baja Tak Terbendung

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus