Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Impor tidak perlu

Insentif KUD ditambah, agar KUD bersemangat menyerap beras dari masyarakat. Demi stok berasnya, Bulog kini mengendurkan patokan kualitas dengan target 2 juta ton, citra swasembada dijamin mantap.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBORONG beras sebelum panen raya tiba, itulah yang kini dilakukan pedagang beras seantero Pulau Jawa. Pedagang asal Jawa Barat, misalnya, tiap hari mengangkut beras Jenis Cisadane ke Jawa Tengah, paling sedikit 120 ton sehari. Sementara itu, beras Demak, Ja-Teng, malah dikerubuti pedagang dari Cirebon dan Madura. Beras Cisadne di pasarkini berharga Rp 580,00 per kg. Harganya masih saja melambung, hingga ibu-ibu yang biasa menyediakan 50 kg beras sebulannya terpaksa "nombok". Itu pun beras yang terbeli tak seenak 5 bulan lalu. Sebab, selama waktu itu, harga beras di tingkat konsumen, misalnya Jakarta, rata-rata naik Rp 106,00 per kg. Malah ada yang meroket sampai Rp 150,00. Kenaikan memang tak terelakkan. Pemerintah sudah menaikkan harga dasar gabah, dan KUD (Koperasi Unit Desa) tentu mesti melaksanakannya. Tapi tengkulak juga sigap. Mereka berani membeli di atas harga dasar itu. Apalagi akhir-akhir ini harga di tingkat konsumen masih tinggi, hingga terkesan seolah stok beras kurang. Tengkulak lantas tergoda untuk memborong beras. Padahal, dalam lima bulan terakhir, Bulog sudah mengedrop beras ke pasar bebas di seluruh Indonesia hampir 600 ribu ton. Stoknya menipis, sekitar 925 ribu ton akhir Maret nanti kira-kira tinggal 800 ribu ton. Sedangkan biasanya - sejak Indonesia mampu berswasembada beras tahun 1984 stok di akhir Maret selalu di atas 1 juta ton. Tahun 1985, stok itu 2,3 juta ton. Operasi pasar oleh Bulog, "dihentikan 15 Maret ini, karena panen raya segera tiba." Ini dikatakan oleh Sukriya Atmaja seusai rakor (rapat koordinasi) pangan di Semarang belum lama berselang. Artinya, saat pengadaan beras Bulog pun sudah dekat, sehingga gudang Bulog bisa bertambah isinya. Yang pertama mengumpulkan beras adalah Dolog NTB - sempat menyerap 304 ton sampai kini. Kesigapan pengadaan itu tak lain karena KUD diberi insentif istimewa, di samping harga gabah memang cenderung turun ketika panen raya. Sebenarnya, Bulog menetapkan harga pembelian beras dari KUD maupun non-KUD, sebesar Rp 354,00. Tapi dalam rakor pangan yang diikuti Bulog, Departemen Koperasi, Departemen Pertanian, dan instansi pusat lainnya muncul insentif Rp 16,00 untuk pembelian Bulog dari KUD, di samping insentif pembelian gabah Rp 5,00. Itu belum angkutan yang tarifnya dinaikkan Rp 0,5 per kg - khusus untuk daerah Yogyakarta Rp 2,00. Semua itu bertujuan agar KUD lebih bersemangat menyerap beras dari masyarakat. Tak heran jika koperasi ini berani bersaing dengan tengkulak, membeli gabah kering giling di atas harga dasar baru, Rp 210,00 per kg, atau beras tak lebih dari Rp 360,00 per kg. Apalagi persyaratan kualitas Bulog dikendurkan sedikit. Derajat sosoh yang standarnya 90 %, kendati kurang 5%, bisa masuk gudang Bulog. Butir kuning/rusak yang standarnya 3% boleh mencapai 4%, malah di Aceh diperbolehkan sampai 5%. Maklum, adalah tugas Bulog juga untuk mengamankan harga di tingkat konsumen, hingga dengan rangsangan insentif itu, diharapkan stok sempat menyerap sekitar 2 juta ton setara beras. Ini untuk mempertahankan citra swasembada beras, "agar kita tidak impor," kata Kabulog Bustanil Arifin dalam pengarahan rakor yang lalu. Kalau saja Indonesia mau impor, Amerika sudah mengiming-imingi beras 100 ribu ton. Tapi Presiden Soeharto - seperti katakan Bustanil - tegas menolak impor itu. Pengamanan stok beras, itulah target yang hendak dicapai lewat insentif istimewa KUD. Hanya saja, di banyak wilayah produsen gabah di Jawa ataupun di Medan, KUD masih belum berani membeli. "Soalnya, harga masih terlalu tinggi," kata Kusnendar, ketua KUD Jatisari di Karawang. Harga itu masih antara Rp 220,00 dan Rp 240,00 per kg gabah kering giling. KUD cuma berani dengan harga Rp 215,00. Namun, KUD Delanggu, Ja-Teng, punya cara lain. Koperasi ini menunjuk empat pedagang untuk melakukan pembelian. Modalnya dari KUD, yang mengambil kredit di BRI setempat. Tak heran jika harga tinggi terjangkau juga, terlebih karena sempat melempar beras itu ke pasaran bebas. Sebaliknya, ketika harga anjlok, beras lantas masuk KUD dan diteruskan ke Bulog. "Tapi pedagang itu harus anggota KUD," tutur Budjo Darsono, ketua KUD Delanggu, yang tahun lalu bisa menyetor beras 1.287 ton ke Bulog. Sementara itu, di Ja-Tim, Dolog sudah berjaga-jaga dengan - antara lain - kursus pascapanen di daerah Jombang, Jember, Malang, dan Magetan. Soalnya, target pengadaan di Ja-Tim tahun ini 700 ribu ton setara beras, meningkat dari 410 ribu ton tahun lalu. Apalagi, seperti dikatakan Kepala Biro Pengadaan Dalam Negeri Bulog, Iing Ibrahim, panen raya yang ditunggu kali ini diperkirakan waktunya relatif singkat: sekitar 3 bulan, dan kira-kira menyerap 1,2 juta ton di seluruh Indonesia. Dana yang disediakan Bulog lalu menggelembung, menjadi Rp 900 milyar. "Mengenai keuangan Bulog, tak ada masalah," kata Irfai, deputi administrasi dan keuangan Bulog, mesklpun piutang membengkak, yakni Rp 462,5 milyar - terbesar selama ini. Bahkan ketika Bulog tak mendapat anggaran yang dijatah dalam RAPBN 1986-87 sebesar Rp 417,4 milyar - karena beras cadangan penyangga mencapai 1 juta ton - ini pun ternyata tak menggoyahkan cash flow Bulog. Sebab, kata Irfai, dari utang Bulog hampir Rp 1,4 trilyun per 1 Februari 1986, Rp 279 milyar di antaranya dibebaskan bunga yang 6% besarnya. Utang itu sekarang menjadi Rp 1,8 triIyun. Apa Bulog tidak kesulitan? "Pada dasarnya, Bulog bekerja tidak untung dan tidak rugi, selalu break even, begitu," ujar Irfai. Walaupun pada panen raya ini akan membeli beras dengan harga di atas harga dasar, Bulog tetap bisa mencapai titik impasnya. "Kalau sudah demikian, 'kan tidak ada problem," ujar Irfai, seperti mau memastikan. Entah, kalau perkiraan produksi tahun ini, 28 juta ton setara beras lebih sedikit, tak tercapai. Yang agak melegakan, Bulog masih punya piutang ekspor di Filipina dan Vietnam, senilai Rp 64,6 milyar atau setara 271 ribu ton. Pengembaliannya bertahap, dalam dua tahun mendatang. Suhardjo Hs., biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus