DEWASA ini kalau orang bicara tentang masa-masa penuh tantangan, yang segera tercitra adalah berbagai ketidakpastian. Dan itu berkait erat dengan masalah ekonomi yang tengah dihadapi Indonesia kini - seperti disinggung Presiden Soeharto dalam pidato pertanggungjawabannya sebagai Mandataris MPR RI yakni jatuhnya harga minyak dan menguatnya nilai yen. Menguatnya nilai yen - diperkirakan akan berlangsung terus sepanjang Tahun Naga 1988 - akan sangat membatasi gerak ekonomi kita. Gara-gara menguatnya yen, beban utang Indonesia bertambah US$ 1,1 milyar. Adalah wajar sekali bila sejak dini kita membahasnya dengan pihak Jepang - antara lain lewat dua misi yang dipimpin Prof. Widjojo Nitisastro. "Bukan kesalahan Jepang, tetapi bolanya memang di tangan mereka," kata Prof. Dr. J.B. Sumarlin dalam suatu kesempatan bertemu dengan wartawan TEMPO. di MPR pekan lalu. Seperti diketahui, sumber utama penerimaan negara adalah dari pajak minyak bumi dan gas alam cair. Komoditi ini sebagian besar dijual Pertamina ke Jepang. Harganya yang jatuh kian merosot karena dibayar dalam mata uang dolar yang telah jatuh nilainya. Tahun 1985 minyak masih berharga di atas US$ 25 per barel, sedangkan dewasa ini hanya sekitar US$ 16 per barel. Dihitung dalam dolar, Indonesia hanya rugi sekitar 40%, sedangkan Jepang sebaliknya untung hampir 70%. "Harga minyak pada 1985 bila dihitung dalam uang Jepang, sekitar 6.000 per barel. Tetapi sekarang, mereka hanya membayar 2.000 per barel," kata seorang tokoh ekonomi lain, yang dihubungi TEMPO secara terpisah. Lagi-lagi itu bukan kesalahan Jepang, tetapi akibat menguatnya nilai mata uang mereka sampai dua kali. Pada 1985, kurs 1 yen sama dengan 0,40 dolar, tetapi sekarang kursnya sama dengan 0,80 dolar. "Jelas, 'kan, Jepang menikmati keuntungan sekitar Y 4.000 per barel dari minyak Indonesia. Hitunglah, berapa besar tabungan mereka dalam dua tahun terakhir, dari pembelanjaan minyak saja," kata pakar ekonomi tadi. Menurut buletin dari Federasi Minyak Jepang, minyak dari Indonesia yang diimpor tahun 1986 berjumlah 22.725.713 kiloliter (sekitar 164 juta barel). Tahun silam, berjumlah 25.273.401 kl (sekitar 182 juta barel). Berarti dalam dua tahun terakhir, dengan jatuhnya harga minyak sekitar 9 dolar per barel, Jepang dapat menghemat devisa sekitar US$ 3,1 milyar. Padahal, sementara itu utang Indonesia pada Jepang, sebagaimana diungkapkan Menko Ekuin baru-baru ini, telah menggelembung sekitar US$ 1,1 milyar. Dan ini gara-gara meningkatn nilai yen. Wajarlah kalau Indonesia meminta bantuan Jepang untuk mengatasi dua masalah tersebut di atas. Hal itu memang telah dibicarakan Presiden Soeharto dengan PM Noboru Takeshita pada pertemuan puncak ASEAN di Manila, akhir tahun silam. Lalu masih diteruskan lewat korespondensi. Adalah Prof. Widjojo Nitisastro, bekas Menko Ekuin yang menjadi pembawa surat Presiden. Kabarnya, masalah tersebut agaknya sulit diatasi, bahkan oleh PM Takcshita sendiri. Di samping itu, Presiden Soeharto membuat empat surat, yang ditujukan kepada empat tokoh yang masih berpengaruh di Jepang, masing-masing adalah bekas PM Nakasone, bekas PM Fukuda, bekas PM Suzuki, dan bekas menlu yang masih berpengaruh di LDP (Partai Liberal Demokrat) yang berkuasa di Jepang. Setelah Widjojo, menyusul tim yang terdiri atas Sekjen Departemen Keuangan Soegito Sastromidjojo, beserta pejabat dari Bappenas, Adrianus Moy serta Nurdin Lubis. Selama sepuluh hari tim ini berdialog dengan pejabat-pejabat dari Departemen Keuangan, Luar Negeri, MITI, dan Badan Perencanaan Ekonomi Jepang - empat lembaga tlnggi yang sangat menentukan dalam kebijaksanaan bantuan ekonomi luar negeri Jepang. "Pembicaraan kita belum selesai, tapi mereka memberikan umpan balik yang cukup positif," kata salah satu dari anggota tim tadi. Bagaimana kira-kira bentuk keringanan yang diminta Indonesia? Berhubung yang diminta pada Jepang hanyalah keringanan dalam bentuk keringanan kurs, maka menurut sumber TEMPO ada tiga cara. Pertama: Indonesia mengusulkan, agar beban utang yang timbul akibat kurs sejak i985 dihapus, artinya diubah menjadi semacam hibah (grant). Kemungkinan kedua: meminta supaya Jepang mau mengikuti kebijaksanaan yang sudah dilakukan pemerintah Australia, yang kini dilakukan juga oleh pemerintah Inggris dan Kanada: mengubah sebagian dari utang menjadi hibah. Alternatif ketiga, yakni tambahan beban utang akibat kenaikan nilai yen sejak 1985 itu diubah menjadi semacam pinjaman lunak yang baru, selain bantuan yang diberikan lewat IGGI. Dengan demikian, beban utang US$ 1,1 milyar dapat dimanfaatkan dahulu oleh pemerintah untuk anggaran pembangunan dan belanja negara sekarang. Usul tersebut, kabarnya, masih sulit dilaksanakan Jepang, antara lain karena mereka tidak punya UU tentang hibah. Tapi bagaimanapun mendapat tanggapan positif -- seperti terungkap dari pertemuan Dubes Jepang di Indonesia, Sumio Edamura, dengan Presiden Soeharto, akhir bulan lalu. Ia menyampaikan surat balasan dari PM Takeshita, isinya yang utama, "Jepang mengerti bagaimana sulitnya ekonomi Indonesia dan akan berusaha semaksimal mungkin." Sementara ini Tokyo mempersiapkan sebuah tim untuk datang ke Jakarta April mendatang. "Mereka akan mendengarkan lebih terinci, apa yang diinginkan Indonesia," kata seorang pejabat di Tokyo. Hasil pertemuan itu, katanya, nanti dibahas bersama oleh para pejabat Deplu, MITI, Depkeu, dan Bappenas Jepang, sehingga hasil akhir sudah bisa dibicarakan dalam sidang IGGI Juni depan. Bantuan Jepang kepada Indonesia tahun silam berjumlah 109,5 milyar yen. Rinciannya: 88 milyar untuk pembiayaan proyek baru, dan 21,5 milyar untuk kredit rehabilitasi. Bunganya 3% setahun, jangka pengembalian 30 tahun dengan 10 tahun masa bebas angsuran pokok. "Untuk tahun anggaran 1988-1989, mudah-mudahan kami dapat memberikan kredit lebih besar, dengan bunga lebih rendah," seorang pejabat Deplu Jepang menjanjikan. Max Wangkar, Yopie Hidayat (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini